Tradisi Petasan
Tradisi petasan di Indonesia disinyalir berasal dari negeri Cina. Bunyi petasan di negeri Cina dianggap sebagai simbol peringatan atau pertanda keberhasilan dalam berbagai acara, seperti pernikahan, upacara kematian, atau perayaan keagamaan.
Menyalakan petasan di Tahun Baru Cina (Imlek) dipercaya oleh masyarakat Cina dapat memberikan keberuntungan sebagai pembuka awal tahun baru.
Entah sejak kapan tradisi menyalakan petasan ini merembet ke perayaan lainnya. Seperti tahun baru masehi, tahun baru hijriah, dan Ramadan.
Sebetulnya tidak masalah kalau petasan dinyalakan hanya pada saat perayaannya saja. Semenit bunyi petasan memang mengganggu, tapi ya sudahlah masih bisa saya tolerir. Menjadi sangat menyebalkan ketika petasan dibunyikan terus menerus sepanjang malam.
Menganggu orang-orang yang perlu istirahat.
Hanya jadi sumber kedzoliman menurut saja.
Tradisi Voorijder dan Sirine Kendaraan
Di perkotaan yang padat lalu lintas, sering terlihat kendaraan dengan voorijder atau sirine kendaraan.
Voorijder adalah istilah yang berasal dari bahasa Belanda yang secara harfiah berarti “pengendara depan”. Di Indonesia, voorijder merujuk pada pengawal jalan atau pembuka jalan. Kalau kata anak saya namanya tetot. Tadinya kebanyakan voorijder menggunakan motor, tapi lama-lama mobil bersirine juga bisa jadi tetot.
Tidak semua tetot membuat saya kesal. Saya tentu saja mentolerir tetot yang dibunyikan oleh ambulans yang membawa orang sakit atau jenazah. Agak sebal dengan tetot yang mengiringi pengantin, tapi ya sudahlah.
Saya paling sebal dengan tetot yang mengiringi pejabat. Terutama pejabat polisi dan militer. Mohon maaf nih. Kenapa harus buru buru banget sih?
Rombongan Moge juga sering membuat senewen. Motornya kan sudah besar-besar, kenapa coba harus dikawal supaya lancar?
Kadang-kadang sudah tau kan ya macet, tetot tetot di belakang sambil menyalakan lampu seperti dikejar alien itu buat apa sih? Habis itu maksa mepet-mepet mobil orang. Kalau perlu sampai ambil jalan ke arah sebaliknya. Membuat jalan yang sudah macet semakin mampet.
Suatu waktu di tengah Bandung yang macet total dan hujan deras ada rombongan bis dengan tetot yang suaranya sudah terdengar 5 km di belakang. Rombongan tersebut mencoba bermanuver di antara kendaraan-kendaraan lain yang juga sudah berjejalan.
Pimpinannya menggunakan motor polisi berseru seru lewat TOA menyuruh mobil-mobil lain memberi jalan. Bukan tidak mau membantu, masalahnya mau minggir kemana lagi?
Akhirnya si pimpinan turun dari motor dan mengetuk kaca satu persatu mobil yang ada di depan rombongan meminta pengertian untuk beringsut sedikit memberi jalan.
Para pengemudi yang sepertinya sudah sama lelahnya balas meneriaki si pimpinan. Di depan ada pohon tumbang, mau ada walikota bahkan Presiden juga tidak akan bisa lewat.
Setelah beberapa lama usahanya tidak membuahkan hasil sepertinya si pimpinan akhirnya menyerah. Suara tetot tetotnya tidak dimatikan, begitupun dengan lampu sirinenya. Menambah kejengkelan semua orang di sepanjang jalan. Isi bis tersebut? Ibu-ibu Bayangkari yang sepertinya sedang berwisata ke Kota Bandung.
Tradisi Tahlilan yang Berlebihan.
Perlu saya tekankan disini pada kata berlebihan. Hal yang perlu dilakukan adalah mendoakan yang sudah berpulang. Tahlilan yang berbentuk kumpul-kumpul itu bukan suatu keharusan.
Tradisi tahlilan awalnya bertujuan untuk menemani keluarga yang baru ditinggalkan. Sedikit menghibur dan mengurangi sedikit rasa kehilangan. Saya sendiri yang sudah mengalami tiga kali ditinggalkan orang tua, merasakan betapa keluarga dan handai taulan yang tidak langsung pulang setelah pemakaman, sangat membantu mengalihkan perhatian agar tidak larut pada kesedihan.
Masalahnya adalah tahlilan yang diadakan sekarang seringkali malah berubah menjadi semacam hajatan. Pengalaman saya sendiri, beberapa jam setelah Ibu saya dimakamkan ada tetangga yang menghampiri dan menyampaikan, “Nanti untuk tujuh harian souvenirnya ini saja ya. Bisa beli di saya”, sambil mengangsurkan sekotak ikan bandeng presto buatan sendiri.
Ketika Bapak saya meninggal, selentingan-selentingan terdengar karena saya dan adik saya menolak mengadakan tahlilan lebih dari 3 hari. Setelah lelah fisik dan mental, hal terakhir yang kami inginkan adalah berbasa basi dengan orang-orang tak dikenal di tengah rasa duka.
Begitupun dengan cerita-cerita yang saya dengar dari para asisten rumah tangga mengenai acara tahlilan di desa. Dipaksa menyembelih sapi dan domba sampai puluhan kilo. Masak dan menyediakan konsumsi untuk ratusan tamu hingga 7 hari lamanya. Sampai harus berhutang kanan dan kiri. Demi menyelenggarakan tahlilan dan akikah bagi orang tua yang sudah meninggal.
Buat apa coba?
Tradisi Lomba Bernuansa Feminin untuk Memperingati Hari Kartini
Seperti kemarin di tanggal 21 April, ketika menemani Ragil berkegiatan di salah satu Mall di Bandung, saya melihat ada lomba peragaan busana tradisional dalam rangka memperingati hari Kartini. Lomba lainnya yang saya lihat adalah lomba merias wajah dan menggulung stagen. Bahkan saya lihat ada lomba vlog tapi temanya Di Rumah Saja.
Karena diselenggarakannya di tahun 2024 saya tahu tema tersebut bukan karena pandemi. Tidak dijelaskan maksudnya, tapi saya tetap suudzon maksudnya perempuan diam di rumah saja.
Saya yakin bahkan Kartini sendiri pasti akan cemberut kalau disuruh ikut lomba-lomba tersebut.
Kenapa ya tidak ada yang bisa membuat lomba yang lebih mewakili Kartini. Lomba-lomba lebih bermutu seperti menulis surat, berpidato, atau beropini?
Padahal Kartini sendiri telah berjuang keras untuk membebaskan para perempuan dari stereotip yang melekat kepada mereka.
Kenapa coba kenapa?
Lomba menggulung stagen.
Ya ampun.
***
Ditulis untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan April dengan Tema Tradisi Lokal yang Masih Dilestarikan.
Ya ampun.
***
Ditulis untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan April dengan Tema Tradisi Lokal yang Masih Dilestarikan.
No comments:
Post a Comment