Bahkan orang yang digambarkan sangat miskinpun masih bisa makan pakai nasi dan lauk pauk. Walaupun lauknya cuma telur, kimchi, atau bahkan ramyeon. Ingin daging juga tidak susah. Daging Babi murah harganya. Sepertinya segaja diregulasi agar harganya tidak sama-sama tinggi.
Harga bahan makanan sepertinya sangat terjangkau sehingga semua penduduk bisa membelinya tanpa masalah. Pantas saja, tinggi tubuh orang Korea sekarang hampir mirip orang kaukasia. Buat penduduk di negara-negara tersebut, perihal gizi sudah tidak menjadi suatu kekhawatiran.
Makanya presiden saja bisa mereka gulingkan.
Dengan kebutuhan dasar yang sudah sangat terpenuhi, permasalahan di negara-negara makmur sudah bergeser menjadi masalah sosial yang lebih asbtrak. Kriminalitas terjadi bukan lagi melulu mengenai masalah perut tapi sudah naik ke kepala.
Tentu bukan berarti lebih baik, karena kasus yang terjadi seringkali jauh lebih mengerikan.
Di Indonesia masalah pangan masih menjadi permasalahan utama. Orang-orang kelaparan ada dimana-mana. Kriminalitas terjadi utamanya karena permasalahan uang. Uang yang diperlukan untuk membeli makanan. Di sini masalah perut mendorong orang melakukan kejahatan.
Sepertinya harga bahan makanan utama memang semakin tak terjangkau untuk masyarakat. Terutama masyarakat di kota besar. Tak mengherankan semakin banyak orang yang memilih mie instant dan jajanan warung sebagai diet utama.
Harga yang murah dan rasa yang membuat ketagihan membuat makanan-makanan Ultra Processed Food (UPF) murah tersebut cukup memuaskan lidah dan perut.
Sebenarnya masyarakat kelas menengah keatas juga banyak yang beralih ke UPF. Tapi lebih karena alasan kepraktisan atau malah kesehatan.
Tren kesehatan membuat dunia barat mulai tidak ramah dengan UPF. Hal ini membuat Big Food Company semakin gencar merongrong negara dunia ketiga. Negara-negara yang tidak mampu menyediakan real food untuk penduduknya.
Tapi setelah saya pikir-pikir jangan-jangan permasalahan pangan ini kesalahan kita sendiri sebagai penduduk suatu negeri yang dulunya terkenal loh jinawi. Bangsa ini terbiasa makan lengkap 3 kali sehari. Pagi-pagi cari nasi rendang atau pecel kikil adalah suatu hal yang lumrah. Makan nugget sebelum sekolah adalah suatu simbol kemapanan.
Bandingkan dengan orang-orang di Eropa Barat. Roti dingin dengan selapis daging atau kentang disiram saos sudah cukup untuk mengganjal perut. Harga roti, daging lapis, dan kentang cenderung stabil karena produksinya cukup di negara sendiri. Kalaupun harus impor, pemerintahnya hadir sehingga memang hanya yang tidak bisa diproduksi yang diimpor.
Rasanya tak pernah ada cerita orang-orang di Eropa Barat yang pusing karena harga makanan tiba-tiba meroket tinggi. Ngomel-ngomel sih iya, tapi tidak sanggup beli sepertinya tidak pernah terjadi.
Begitupun dengan bangsa Korea dan Jepang yang mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dengan tradisi makan yang juga sederhana. Tidak banyak bumbu. Tidak banyak ubo rampe. Di negara-negara tersebut hasil laut, ternak, pertanian, perkebunan semua berkualitas baik dengan kemampuan produksi yang tinggi.
Di Indonesia yang penduduknya sudah terbiasa dengan makanan kaya rasa. Makanya ketika harga bawang, cabai, bahkan sayur, melonjak tinggi semua orang pusing.
Coba dari dulu kita sudah puas, katakanlah dengan makan nasi dan sayur bayam saja. Dimana makan dengan nasi dan lauk sayur thok bukanlah suatu pertanda kekurangan melainkan hal yang normal dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu mungkin ketika harga cabai untuk sambal dan daging untuk gulai mahal kita tidak akan terlalu pusing.
Sebetulnya tak ada salahnya punya tradisi kaya rasa asal tidak kelabakan sendiri untuk memenuhinya. Contoh saja Thailand dengan tradisi makanan yang juga penuh rempah. Tak jadi masalah bagi warganya karena pemerintahnya eling. Revolusi agrikultur di negara Gajah Putih tersebut sudah berlangsung semenjak lama, sehingga swasembada pangan sudah bukan lagi impian.
Permasalahan pangan ini sebetulnya berpengaruh ke hal lainnya.
Sudah selesai dengan dirinya sendiri, Thailand mampu promosi ke negara-negara lain. Membuka keran pendapatan tambahan yang mengucur deras. Makanan Thailand terkenal di seantero dunia dengan bumbu-bumbu yang mudah didapatkan. Bahkan bumbu halal yang beredar di luaran biasanya asalnya dari Thailand.
Sudah selesai dengan dirinya sendiri, Thailand mampu promosi ke negara-negara lain. Membuka keran pendapatan tambahan yang mengucur deras. Makanan Thailand terkenal di seantero dunia dengan bumbu-bumbu yang mudah didapatkan. Bahkan bumbu halal yang beredar di luaran biasanya asalnya dari Thailand.
Industri pangan Thailand memang mengagumkan. Import buahnya menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Bahkan orang taunya Durian itu buah asli dari Thailand!
Kebalikan dari Thailand, dengan permasalahan pangan yang belum rampung dan semakin ruwet, Indonesia tidak bisa move on ke permasalahan lain yang lebih genting.
Masalahnya menunggu pemerintah Indonesia jadi eling untuk mengelola agrikultur dan kebijakan impor kan hanya mimpi belaka. Pemerintahnya juga masih punya masalah perut, jadi siapa yang bisa kasih makan akan lebih diutamakan.
Tidak ada yang tahu kan kalau bawang putih di Indonesia itu harus impor dan selama ini importirnya hanya ada satu orang saja? Sus banget kalau kata anak Gen Alpha.
Tapi bangsa Indonesia kan definisi nyata dari When Life Gives You Tangerine. Alias bisa mengambil hikmah yang baik dari segala kejadian. Makanya tidak ada yang ngamuk kalau tidak bisa makan. Kalau tidak terbeli itu protein dan lemak, paling tidak ada karbohidrat yang bisa diandalkan.
Menurut salah satu penelitian yang saya baca, diet seseorang mempengaruhi status mentalnya. Mungkin diet orang Indonesia tanpa sadar membuat orang-orangnya jadi cuek saja!
***
***
Ditulis sebagai tulisan pertama Tantangan Blogging Level Up Mamah Gajah Ngeblog Periode Satu.
No comments:
Post a Comment