Tuesday, March 18, 2025

Memahami Teori Tentang Perubahan: Tenang Saja, Tidak Seserius yang Dibayangkan.

Tentang Perubahan

Hidup itu penuh perubahan. Mulai yang besar seperti perubahan tempat tinggal atau pekerjaan, hingga yang sepele seperti perubahan jadwal tayang sinetron kesayangan atau kemasan snack kesukaan. 

Seperti kata agama: “manusia boleh berencana tapi Tuhan jualah yang menentukan”, seringkali terjadinya perubahan sifatnya mendadak, seperti anak yang tiba-tiba sakit saat sudah berencana berpergian keluar kota. 

Tapi tak jarang juga, perubahan seperti seperti batu yang retak karena ditetesi air terus menerus. Tidak terjadi secara serta merta melainkan bertahap. Seperti angka viceral fat di timbangan: pelan-pelan jadi buncit atau keriput di muka: pelan-pelan jadi tua. 

Apapun jenis perubahannya, biasanya perubahan memantik emosi. Bisa emosi negatif tapi tak jarang positif. Kebijakan efisiensi oleh pemerintah memantik emosi khawatir dan kesal, sementara perubahan kebijakan THR untuk para Ojek Online membuat penerimanya bersukacita. 

Begitupun dengan perubahan jam deadline tantangan Mamah Gajah Ngeblog yang membuat banyak pesertanya nestapa. 

Walaupun cukup terlambat, memahami emosi menjadi salah satu tujuan saya di tahun ini. Karena emosi sangat terkait dengan hormon yang berpengaruh pada upaya saya untuk punya badan yang lebih sehat. 

Kenapa saya bilang terlambat? Karena memahami emosi seharusnya menjadi basic skill yang harus dimiliki setiap individu dan harus dilatih semenjak kecil. 

Supaya waktu besar sudah tidak kaget dan gampang emosian. 

Semakin tua, banyak perubahan yang terjadi di sekeliling saya. Daripada emosi sendiri, lebih baik saya mencoba memahami pengaruhnya pada diri sendiri. Supaya lebih kalem dan tidak gradakan. Lebih slay kalau kata anak sekarang.

Untungnya karena perubahan sudah terjadi semenjak Adam dan Hawa diturunkan ke Bumi, sudah ada banyak orang yang mempelajarinya. Tapi dari sekian banyak teori mengenai perubahan, ada satu yang menurut saya cukup menarik untuk diketahui karena sifatnya individual. 

Teori lainnya bukannya tidak menarik juga untuk dipelajari, tapi karena kebanyakan lebih mengarah pada manajemen perubahan organisasi, rasanya terlalu grande untuk diterapkan sehari-hari. 

Dengan belajar sedikit mengenai teori ini, paling tidak kalau sedang menghadapi suatu perubahan, kita bisa sedikit paham hal yang kita rasakan. Apalagi jika perubahan yang terjadi menyebabkan rollercoaster emosi.

Agar kita lebih percaya diri berkata, habis gelap terbitlah terang. Karena literally di teori ini digambarkan setelah turunan ada kenaikan. 

Kurva Perubahan 

Dicetuskan oleh seorang psikiater bernama Dr. Elisabeth Kübler-Ross, The Change Curve atau Kurva Perubahan menggambarkan reaksi manusia terhadap perubahan. 

Teori ini merupakan pengembangan dari teori Dr. Elisabeth Kübler-Ross lainnya: “5 Stages of Grief” atau lima tahapan kedukaan yang dirumuskan untuk memahami tahapan emosi dalam menghadapi kehilangan/kedukaan. 

Seiring berjalannya penelitian yang dilakukan, Dr. Elisabeth Kübler-Ross memutuskan jika teori 5 Stages of Grief bisa digunakan untuk memahami reaksi individu terhadap berbagai macam perubahan, bukan hanya saat merasa kehilangan. Perubahan apapun, bahkan sesederhana warung langganan yang tutup ketika kita kehabisan gula. 

Berbeda dengan teori lainnya, kurva perubahan tidak memberikan saran atau cara menghadapi perubahan, melainkan memberikan penjelasan terkait tahapan reaksi individu dalam menghadapi perubahan tersebut. 

Dengan memahami tahapan reaksi, diharapkan individu bisa memilih cara yang baik untuk menghadapi emosi yang muncul dari reaksi tersebut. Tujuan akhirnya tentu saja mengelola perubahan dengan lebih sehat. 

Serius amat ya, kayak silabus kuliah.

Untuk menambah keseriusan mari kita tampilkan grafik kurva perubahan yang saya maksud. Siapa tau ada yang berminat mengingat-ngingat cara menghitung volumenya menggunakan rumus-rumus integral.

Kurva perubahan terdiri atas 4 tahap besar: 1. Shock dan Denial, 2. Frustation, 3. Depression, 4. Exploration, 5. Decision dan Integration

Perlu diingat bahwa kurva perubahan ini tidak bersifat linear. Setiap tahap bisa berulang, tidak dilewati, atau bahkan berubah urutan. Semuanya sangat tergantung dari sifat individu yang mengalaminya. 

Contoh Cerita Kurva Perubahan

Supaya lebih mudah memahami teori ini mari kita gunakan cerita: 

Suatu pagi ketika akan berangkat menjemput anak-anak ke sekolah, mobil Rita mogok. Saat itu Rita tidak bisa menelepon siapa-siapa karena smartphone-nya mati kehabisan baterai. Kebetulan di rumah mati lampu sehingga Rita berencana mengisi daya baterai smartphone-nya di mobil. 

1. Shock dan Denial (Terkejut dan Penolakan) 

Dengan panik Rita berkali kali mencoba menyalakan mobilnya tanpa hasil. Dia juga mencoba menyalakan smartphone-nya. Siapa tau ada setitik daya yang masih bisa digunakan. Smartphone-nya bergeming. Rita kembali mencoba menyalakan mobilnya hingga akhirnya menerima kenyataan bahwa mobilnya tidak bisa dinyalakan. 

Kebanyakan individu akan terkejut saat menghadapi perubahan. Seberapa kecil maupun besar perubahan tersebut. Setelah hilang keterkejutannya, biasanya secara refleks individu akan berusaha keras mencari cara yang bisa membuktikan bahwa perubahan tersebut tidak terjadi atau tidak diperlukan.

Sampai kenyataan yang baru menghampiri. 

2. Frustration (Frustasi) 

Mungkin kuncinya yang rusak, mungkin akinya habis. Berbagai kemungkinan berseliweran di kepala Rita membuatnya menyalahkan semua hal di sekitarnya. Kenapa mobilnya harus mati ketika suaminya sedang pergi keluar kota, kenapa PLN harus melakukan pemadaman listrik hari ini, kenapa rumahnya tidak punya fix line. Kenapa dan kenapa lainnya membuatnya semakin marah dan frustasi. 

Di tahap ini individu akan berjuang untuk menerima informasi dan kenyataan baru akibat perubahan. Rasa bersalah, kemarahan, dan penyesalan menumpuk menjadi satu.

3. Depression (Kesedihan dan Keputusasaan)

Rita perlahan menjadi putus asa. Perasaan depresi menyelimuti otak dan hatinya. Bagaimana kalau begini, bagaimana kalau begitu. Belum lagi kalau mengingat anak bungsunya yang mungkin kebingungan dan menangis mencari-cari dirinya yang belum menjemput. Rita merasa pening.

Kewalahan dengan perubahan yang terjadi membuat individu tidak bisa memahami bagaimana cara menghadapinya. Hal-hal buruk membayangi. Tahap ini adalah yang paling sulit dilewati. Banyak yang terpuruk dan tidak bisa bangkit melewati tahap ini. Disini kepercayaan bahwa di balik kesulitan ada kemudahan sangat diperlukan. 

4. Exploration (Eksplorasi)

Waktu berlalu, setelah minum dan menenangkan diri sejenak, Rita berhasil memikirkan beberapa opsi yang bisa dilakukan: (1). Menembus hujan menggunakan payung dan pergi ke pangkalan ojek dekat rumahnya. (2). Mengetuk pintu rumah tetangganya dan meminjam telepon untuk menelepon taxi. (3). Pergi ke minimarket di seberang gang untuk menumpang mengisi daya baterai. 

Mulai terbiasa dengan situasi yang dihadapinya, individu mulai mencoba mencari alternatif solusi dari permasalahan yang ada. Perlu latihan untuk bisa meninggalkan tahap depresi dan masuk ke eksplorasi secara cepat. 

5. Decision dan Integration (Keputusan dan Penerimaan)

Rita menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Setelahnya dia mengambil payung kemudian memutuskan langkah selanjutnya. Walaupun berbagai hal masih perlu dia lewati, paling tidak Rita menjalaninya dengan lebih optimis. Meskipun sudah pasti dia akan terlambat menjemput anaknya, paling tidak dia sudah punya berbagai rencana yang bisa dicoba. Lain kali dia tidak akan lupa meminta suaminya, memeriksa kondisi mobilnya sebelum pergi ke luar kota. 

Individu mulai menerima perubahan. Pikirannya sudah mulai beradaptasi dengan kenyataan baru dan sudah memiliki cara untuk meghadapinya. Bahkan jika beruntung malah bisa berpikir perubahan tersebut membawa hikmah atau kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. 

Penutup 

Kebanyakan individu melewati hal yang sama ketika menghadapi perubahan seperti yang ditunjukkan oleh Kurva Perubahan Kübler-Ross. Melalui contoh kasus Rita yang menghadapi mobil mogok, dapat dilihat bagaimana seseorang merespons perubahan secara emosional dan mental. Pemahaman terhadap tahapan ini membantu individu mengenali emosinya, beradaptasi lebih baik, serta mencari solusi dengan lebih cepat dan efektif.

Kesadaran akan reaksi terhadap perubahan dapat membuat seseorang lebih tenang dan tidak mudah terpancing emosi. Dengan memahami cara merespon reaksi, seseorang bisa lebih cepat beralih dari keterpurukan menuju penerimaan dan solusi. Pada akhirnya, pemahaman terhadap perubahan membantu kita menjalani hidup dengan lebih stabil dan percaya diri.

Paling tidak kita paham kenapa kita suka ngamuk-ngamuk kalau ada perubahan yang terjadi. Termasuk saat harga cabai merangkak naik. It's okay, ternyata amukannya masih manusiawi. 


4 comments:

  1. Bisa jadi bahan kuliah Budaya Organisasi teh Restu.

    ReplyDelete
  2. Latihan seperti apa ya yang harus dilakukan supaya cepat berpindah dari fase depresi ke eksplorasi? Di mata suamiku, aku cuma mentok di fase depresi kalau ada hal genting. Di mataku, suamiku kayak gak keliatan mengalami fase depresi!

    Apakah aku harus lebih banyak terpapar perubahan cepat? 🤔

    ReplyDelete
  3. Siapa ya, yang mengubah jam (dan bahkan bulan ini tanggal) deadline tantangan? Tapi aku ga ngamuk2 kok! Hahaha ✌️

    ReplyDelete
  4. Ahh Mamah Restu, tulisannya... S.L.A.Y as always. Kalau memakai bahasa anak jaman now, "Isinya daging semua nih", ehehe. Isinya berbobot tapi dibawakan dengan Restu's sense of humor.

    Kisah Rita dan mobil mogok membantu sekali dalam mencerna kurva perubahan-nya Kubler Ross.

    ReplyDelete