Saturday, February 15, 2025

Kebiasaan-Kebiasaan yang Bikin Senewen

Semua orang pastinya punya kebiasaan. Entah disadari atau tidak. Seperti menggumamkan lagu sedih saat memotong bawang, tidur dengan posisi split, atau menyisakan kulit fried chicken untuk dimakan paling akhir. 

Tak jarang kebiasaan-kebiasaan yang kita punya membuat orang sekitar senewen. Apalagi kalau orang tersebut punya kebiasaan yang bertolak belakang dengan kebiasaan kita. 

Misalnya orang sat set pasti akan senewen kalau pergi dengan temannya yang alon-alon asal kelakon. Orang yang terbiasa mandiri pasti akan senewen dengan orang lain yang kemana-mana minta ditemani, dan sebagainya. 

Saya sendiri (rasanya) tidak punya kebiasaan yang aneh-aneh. Cuma beberapa kebiasaan saya sering bikin orang rumah, terutama suami saya, senewen. Padahal saya bukan Gen Z. Tulisan ini tentang kebiasaan-kebiasaan itu. 

1- Impulsif

Impulsive is my middle name. Waktu masih belum nikah parah banget. Saya bisa tiba-tiba pulang kerja beli tiket pesawat ke Kamboja atau lagi ke Mall tiba-tiba beli laptop baru. 

Sekarang setelah menikah dan tidak bisa terlalu impulsif perihal konsumtif, keimpulsifan saya masih ada tapi dalam bentuk berbeda. Lebih emak-emak. Lebih minta ditoyor

Seperti tiba-tiba inisiatif membersihkan bagian atas semua lemari di jam 8 malam atau membeli barbel 5 Kg untuk angkat beban yang berakhir hanya jadi pengganjal pintu. 

Tapi yang paling bikin suami senewen adalah ke supermarket bilangnya cuma mau beli sabun cuci piring satu sachet dan buah, pulangnya malah bawa panci satu set dan ayam. Sabun cuci dan buahnya malah lupa dibeli.

2- Gampang Terdistraksi

Seperti layaknya sebagian besar emak-emak di dunia, pikiran saya seringkali bercabang. Sedang gosok gigi ingat baju bocah yang harus disiapkan. Sedang makan ingat tagihan yang belum dibayar. Sedang olahraga ingat talang air yang bocor dan perlu dibetulkan. Pokoknya kalau sedang perlu konsentrasi di A, otak nih bisa tiba tiba berpikir X, Y, bahkan Z. 

Orang rumah paling senewen sama kebiasaan saya yang ini. Habis mandi, masih pakai handuk, malah bales chat di WA. Mau nyuapin anak, anaknya udah mangap, bukannya ambil nasi malah ambil gunting kuku lalu motong kuku anaknya. Mumpung keingetan ya kan? Alhasil anaknya teriak-teriak protes.

3- Kurang Tuntas 

I’m a quitter. Jarang sekali konsisten melakukan sesuatu. Suami sebetulnya tidak pernah melarang saya untuk melakukan hal-hal yang saya inginkan. Tapi menurut suami, saya suka terlalu berlebihan.

Misalnya sedang ingin diet, segala buku dibeli, segala video ditonton, segala peralatan disiapkan. Dietnya paling mentok bertahan 2 minggu saja. Begitupun dengan “impian-impian” saya yang lainnya yang paling lama bertahan hanya 3 minggu saja. 

Kalau digambarkan dalam grafik, excitement-nya itu naik drastis lalu menukik turun dengan cepat sebelum sempat menjadi garis datar. Jadi sekarang kalau saya bilang ingin ini itu, suami hanya mendengarkan saja tanpa komentar apa-apa. Kumaha urang bae lah.

4- Suka Bicara Random Tanpa Konteks

Saya paling sering diprotes suami gara-gara ini. Kalau ngomong suka random atau tetiba belok tanpa kasih aba-aba. 

Misalnya suami sedang cerita tentang kelakukan mahasiswa, tiba-tiba saya memotong untuk ngomongin gajah Sumatera. Karena si mahasiswa asalnya dari Sumatera. Nyambung kan? Nyambung dong. Walaupun jelas si mahasiswa dan gajah nggak ada hubungannya dan jelas nggak saling kenal walaupun sama-sama dari Jambi. 

Sering juga sedang asyik diam di mobil sambil menikmati perjalanan tiba-tiba saya ngomong hal random seperti, “Kayaknya kita mendingan liburan ke Kutub Utara daripada Kutub Selatan deh” atau “Kenapa ya nama kue dagangan Pak Samsul 'Nenek Uti'? Kenapa bukan 'Ibu Uti?". 

Respon suami bergantung kerandoman dari topik yang saya angkat. Kalau dia bisa paham arah dan tujuannya kadang dia tanggapi. Kalau sudah random banget biasanya saya dicuekkin. 

Kalau omongan saya dicurigai mengandung bakwan dibaliknya, dia akan menganalisis dengan cepat di kepalanya motif apa yang ada di balik ucapan saya. Jika dianggap tidak worth it dia biasanya akan memperingatkan "aku cuma dengerin aja ya". 

Sampai sekarang suami saya tidak paham Pak Samsul itu siapa dan kenapa saya harus protes mengenai merk dagangnya. 

5- Sering Lupa

Mobil sudah sampai ujung gang, harus balik lagi karena lupa sudah kunci pintu atau belum. Mau gorengin nugget buat anak malah bikin telur dadar. Niat ngasih barang ke orang yang perlu, malah lupa bawa barangnya dan sebagainya dan sebagainya. 

Lupa ini kayaknya makin menjadi akhir-akhir ini. Mana saya nggak hobi mencatat apa yang harus dilakukan. Terlalu percaya diri dengan kemampuan mental notes yang (zaman baheula) masih mumpuni untuk mengingat semua tugas dengan baik. 

6- Suka Menunda-Nunda

Sebagai orang yang sangat terorganisir dan punya perencanaan kegiatan yang baik, suami saya selalu bingung kenapa saya selalu stress dan kelimpungan karena deadline

Sebetulnya dia nggak perlu bingung sih. Memang hobi saya menunda-nunda sampai akhir. Just in time kalau kata orang manufaktur. 

Bedanya kalau di lini produksi just in time dilakukan untuk berhemat, kalau di saya just in time malah bikin energi habis lebih banyak. Begadang, nyuekin anak, atau lupa makan dan mandi. Semua karena saya menunda-nunda apa yang harus saya selesaikan berminggu-minggu sebelumnya. 

7- Mengeluh Tanpa Solusi

Satu lagi kebiasaan saya yang sering bikin suami senewen adalah mengeluh tanpa solusi. Mulai dari mengeluhkan panasnya kota Bandung sampai susah cari baju karena tidak ada ukurannya (bersamaan dengan mengeluh mengenai muka yang semakin terlihat tua). 

Masalahnya setiap kali suami memberikan usulan solusi atau hal-hal yang bisa saya lakukan, selalu saya tampik dengan segala alasan. Gimana suami nggak kesel ya? Haha. 

Mengeluh tanpa solusi ini untungnya paling jarang saya lakukan. Paling sebulan sekali saat PMS dan self esteem lagi rendah, baru deh segala keluhan membludak tanpa bisa dibendung. 

***

Ngomong-ngomong, beberapa bulan ini saya menyadari kebiasaan-kebiasaan saya yang bikin senewen ini mulai mengganggu diri sendiri. Rasanya hidup jadi tidak produktif karena makin jarang pekerjaan yang bisa secara tuntas saya bereskan. 

Akibatnya saya jadi stress sendiri karena merasa tidak perform. Belum lagi terbebani karena merasa punya banyak kewajiban yang harus diselesaikan sementara waktu yang dipunya ya itu-itu saja. Saya jadi makin rajin ngomel dan crancky. Belum lagi diselimuti perasaan bersalah dan penyesalan diri. 

Akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke psikolog. 

Satu jam di psikolog, saya diberitahu bahwa masalah hidup saya kemungkinan karena saya tidak melatih fungsi eksekutif di otak saya dengan baik, sehingga ketika bertambah tua dan secara natural fungsi tersebut menurun, dampaknya jadi besar untuk diri saya.


Apa sih fungsi eksekutif otak? Jadi menurut teori, fungsi eksekutif otak adalah pusat kendali utama yang mengatur pengambilan keputusan, pemecahan masalah, serta pengendalian emosi dan perilaku. 

Dikendalikan oleh korteks prefrontal, fungsi ini memastikan berbagai aspek kognitif bekerja secara terkoordinasi. Beberapa aspek pentingnya meliputi perencanaan dan pengambilan keputusan, pengendalian diri, fleksibilitas kognitif, memori kerja, serta fokus dan pengalihan perhatian.

Fungsi ini membantu seseorang berpikir strategis, mengelola emosi, beradaptasi dengan perubahan, serta menyelesaikan tugas secara efisien. 

Gangguan pada fungsi eksekutif dapat menyebabkan kesulitan dalam mengatur waktu, mengendalikan emosi, dan membuat keputusan yang rasional. Oleh karena itu fungsi eksekutif perlu tetap dilatih dengan stimulasi kognitif dan gaya hidup sehat, agar otak tetap tajam dan berfungsi optimal dalam berbagai situasi kehidupan. 

Lalu bagaimana cara melatih fungsi eksekutif otak? Kalau menurut psikolog yang saya temui, hal paling utama yang perlu saya lakukan adalah manajemen stress dan praktik mindfullness. Terdengar rumit bukan? Haha. 

Tapi tugas latihan yang diberikan jauh lebih sederhana daripada terdengarnya kok.

1. Merubah “harus” menjadi “mau”. 

“Saya mau olah raga agar badan sehat” terasa lebih ringan daripada “saya harus olahraga supaya kurus”. Harus membuat otak merasa terbebani dan mengeluarkan hormon-hormon stress. 

Sementara kata mau, berkonotasi lebih positif, memberikan motivasi dan mendorong otak untuk mengeluarkan hormon-hormon bahagia. 

2. Merubah mindset terhadap masalah. 

Setiap menghadapi masalah, tanyakan apa hal paling buruk yang bisa terjadi? Lalu pikirkan fakta-fakta yang mengurangi risiko terjadinya hal paling buruk tersebut. Setelahnya baru secara sistematis menyusun solusi untuk menghadapi masalah yang terjadi. 

Hal ini menghindarkan otak untuk kehilangan fokus pada masalah yang harus dihadapi dan malah bertindak impulsif atau malah ngehang karena kewalahan. 

3. Menuliskan daftar kegiatan yang harus dilakukan dan menentukan prioritas. 

Daftar kegiatan dan prioritas harus fleksibel. Bisa berubah tergantung kondisi. Fokus pada tugas yang berhasil diselesaikan bukan pada tugas yang belum selesai. 

4. Ganti Solusi Menjadi Keputusan

Ubah kegiatan rutin menjadi suatu bentuk keputusan dan bukan solusi permasalahan. “Saya akan menggoreng telur untuk sarapan anak” lebih positif daripada “anak saya perlu makan, maka saya harus menggoreng telur”. Kebanyakan masalah tidak baik untuk otak. 

5. Menyebutkan Tahap Kegiatan Rutin

Biasakan menyebutkan tahap dari setiap kegiatan rutin yang dilakukan sehingga terbentuk sinapsis yang kuat di otak. Gunanya agar otak tidak mudah terdistraksi ketika ada gangguan saat mengerjakan kegiatan rutin tersebut. 

Misal mau makan sebutkan (bisa dalam hati atau diucapkan) sembari melakukan kegiatannya: “Saya mau makan”. “Saya ambil piring di lemari”. “Saya ambil nasi di magic jar”. “Saya pilih lauk” dan seterusnya sampai kegiatan makan tersebut selesai.

Jika di tengah makan ada gangguan. Sebutkan “saya hentikan makan dulu untuk membantu adik mengambil minum” dan seterusnya. 

6. Beri Penghargaan Pada Diri Sendiri

Di akhir hari, appreciate diri sendiri karena sudah berhasil menyelesaikan berbagai tugas, sebagaimanapun remehnya. Biarkan otak dipenuhi pikiran positif sehingga dophamine serta oksitosin membanjiri diri dan membuat hati lebih bahagia. 

***

Nah begitulah cerita mengenai kebiasaan-kebiasaan saya yang bikin senewen dan usaha saya untuk merubahnya. Doakan ya, semoga berhasil. 

By the way, kalau ada yang merasa kebiasaan-kebiasaannya juga mulai menganggu seperti saya jangan ragu-ragu curhat ke psikolog. Mereka akan sangat membantu daripada curhat sendiri ke teman yang biasanya sama mumetnya dengan kita.

***

Ditulis untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Februari 2025 dengan topik Kebiasaan/Rutinitas.



6 comments:

  1. Kisahnya bikin senyum-senyum ini Teh Restu. Keren loh mau ke psikolog.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener. Keren teh Restu. Menyadari punya masalah sudah satu proses penyembuhan kan ya katanya!? Apalagi sampe beraksi tuh. Semangaaattt 🔥🤗

      Delete
  2. Restu, koq malah rasa "ngaca" yaaa....
    Aku tuh juga ngerasa sama persis seperti yang kamu tulisin
    Akhirnya bener-bener gak produktif dan semua serba lupa karena dikit-dikit terdistraksi.

    Ini aku udah berupaya untuk meminimalisir gadget dan social media untuk melatih kembali "sense" disiplinnya (ya...sebenarnya bukan tipe orang yang disiplin juga sih dari dulu, makanya sangat menyesal kan...kan...)

    ReplyDelete
  3. Random bnget. Alhamdulillah, suaminya baik banget. Penuh pengertian.
    Syukurlah sudah mendapat solusi dari psikolog.

    ReplyDelete
  4. Semua pointnya aku banget, teh Restu. Aku kaget psikolognya gak menyebutkan soal ADHD, karena semua detailnya mirip banget dengan karakter orang dengan ADHD. Aku gak pernah ketemu psikolog dan dapat diagnosa resmi sih. Tapi baca buku ini eh kok gue banget: https://www.goodreads.com/book/show/43723475-adhd

    ReplyDelete
  5. Akhirnya ketemu juga tulisan yang paling relatable! Makasih banyak solusinya.

    ReplyDelete