Keluarga Soekanti dan Mareka dengan Kedelapan Anak Mereka
Masa kecil Soekanti jauh dari kata sengsara. Sebagai anak ambtenaar, Soekanti dan saudara-saudaranya hidup berkecukupan. Paling tidak, mereka tidak pernah kelaparan. Ayah Soekanti adalah seorang pegawai administrasi di kantor wedana. Cukup terpelajar di masanya, pria itu menyekolahkan anak-anak perempuannya hingga lulus volkschool dan anak laki-lakinya hingga lulus MULO. Kedua belas anaknya termasuk 10% rakyat Indonesia di masa kolonial yang beruntung karena tidak buta huruf. Sebetulnya Soekanti masih ingin melanjutkan pendidikannya hingga jenjang yang lebih tinggi. Sayangnya saat itu sekolah tinggi di daerahnya masih terbatas hanya untuk laki-laki.
Soekanti dengan kakak, anak, dan ponakannya
Setahun sebelum Indonesia dijajah oleh Jepang, Soekanti menikah dengan pemuda bernama Mareka. Soekanti memilih Mareka dari beberapa orang yang dijodohkan padanya. Ketika menyampaikan keputusannya, kakak-kakaknya mencibirnya. Keluarga Mareka lebih miskin dari keluarga Soekanti. Walaupun tak ada yang menyangkal kalau pemuda itu memang punya paras paling tampan dari semua pria yang dijodohkan dengan Soekanti. Maklum, kakek Mareka adalah pedagang asal negeri arab yang datang dan menetap setelah menikah dengan nenek Mareka yang asli jawa.
Mareka juga anak ambtenaar, walaupun kedudukan ayahnya lebih rendah dari kedudukan ayah Soekanti. Ketika ayahnya meninggal, Mareka mewarisi jabatannya sebagai petugas pengairan. Saat itu bumiputera di pemerintahan kolonial memang punya keistimewaan untuk mewarisi jabatan orang tuanya. Mareka adalah pegawai yang terkenal jujur. Padahal sebagai pengatur aliran irigasi, mudah baginya menerima suap dari para petani kaya yang ingin mendapatkan aliran air lebih lama.
Sebetulnya bukan moral kejujuran yang utama menghalangi Mareka untuk menerima suap, melainkan rasa malas terhadap kewajiban untuk mematuhi dan melayani orang yang memberikannya. Memang Mareka adalah pria yang praktis, tak banyak bicara dan sangat menjunjung work life balance. Datang ke kantor tepat waktu pukul 08.00 dan pulang pukul 16.00. Segala hal yang terjadi setelahnya bisa menunggu hingga esok hari.
Ketika masa pendudukan Jepang dimulai, posisi Mareka relatif tidak terganggu. Karena keahliannya dan sikapnya yang tidak neko-neko, Mareka tetap diperkenankan melaksanakan tugasnya mengatur aliran air ke sawah-sawah. Hanya saja kepemilikan sawah-sawah tersebut beralih ke pemerintahan militer Jepang. Situasi keuangan menjadi hal yang sulit di masa itu. Gaji Mareka saat itu jadi ada dan tiada. Soekanti yang pada awal pendudukan Jepang sedang hamil anak pertama harus rela menjual sedikit demi sedikit emas dan perhiasan yang diberikan oleh orang tuanya untuk sekedar bertahan hidup. Untungnya rumah keluarganya di Karanggede tidak terlalu terpengaruh oleh perubahan kekuasaan yang terjadi. Ketika kondisi menjadi semakin sulit di masa-masa akhir pendudukan Jepang, Soekanti kembali pulang ke rumah orang tuanya membawa anak pertamanya yang masih bayi dan anak kedua dalam kandungannya.
Ketika masa pendudukan Jepang dimulai, posisi Mareka relatif tidak terganggu. Karena keahliannya dan sikapnya yang tidak neko-neko, Mareka tetap diperkenankan melaksanakan tugasnya mengatur aliran air ke sawah-sawah. Hanya saja kepemilikan sawah-sawah tersebut beralih ke pemerintahan militer Jepang. Situasi keuangan menjadi hal yang sulit di masa itu. Gaji Mareka saat itu jadi ada dan tiada. Soekanti yang pada awal pendudukan Jepang sedang hamil anak pertama harus rela menjual sedikit demi sedikit emas dan perhiasan yang diberikan oleh orang tuanya untuk sekedar bertahan hidup. Untungnya rumah keluarganya di Karanggede tidak terlalu terpengaruh oleh perubahan kekuasaan yang terjadi. Ketika kondisi menjadi semakin sulit di masa-masa akhir pendudukan Jepang, Soekanti kembali pulang ke rumah orang tuanya membawa anak pertamanya yang masih bayi dan anak kedua dalam kandungannya.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Mareka tetap memegang posisi pekerjaan yang sama, hanya saja karena sistem pemerintahan Indonesia yang masih kacau balau, keuangan masih menjadi tantangan untuk Soekanti dan Mareka. Apalagi saat itu anak ketiga juga sudah nampak hilalnya. Soekanti memutuskan untuk membantu ekonomi keluarga dengan berjualan di pasar. Sebetulnya bakat pedagang tidak mengalir dalam darah Soekanti, sehingga dia sangat tidak menikmati profesi barunya. Hanya saja keterpaksaan membuatnya bertahan. Untungnya Soekanti adalah wanita yang keras kepala. Dengan gigih dia berusaha hingga saat Mareka sudah kembali mendapatkan gajinya dengan teratur, baru Soekanti berhenti. Saat itu anak mereka sudah hampir 5.
Sepanjang pernikahannya Soekanti dan Mareka dikaruniai 8 orang anak. Empat anak laki-laki dan empat anak perempuan. Kedelapan anak tersebut tumbuh besar dengan pribadi dan karakteristiknya masing-masing. Di keluarga sebesar itu, dinamikanya sangat beragam. Tapi yang pasti didikan Soekanti dan Mareka berhasil mengantarkan kakak beradik tersebut menjadi orang-orang yang cukup sukses dan terpenting rukun satu sama lain.
Anak pertama Soekanti dan Mareka di beri nama Kukuh, seorang anak laki-laki yang tegap dan tampan. Mengikuti sifat Bapaknya yang pendiam, Kukuh masuk ke akademi kepolisian dan menjadi perwira. Setelahnya seperti kisah klasik untuk anak pertama, setelah lulus dan menjadi perwira polisi dia membantu biaya pendidikan adik-adiknya hingga menempuh jenjang pendidikan tinggi.
Dua Anak-Anak Laki-Laki Soekanti dan Mareka (Kukuh, dan Wibowo) dengan Kakek dan Sepupu Mereka
Hastuti, anak kedua Soekanti dan Mareka, ingin menjadi dokter. Tapi saat itu pendidikan dokter masih diluar jangkauan mereka. Beasiswa yang ada adalah ikatan dinas untuk menjadi perawat rumah sakit. Setelah berbagai pertimbangan, termasuk enam orang adiknya yang masih perlu biaya, masuklah Hastuti ke akademi perawat. Dengan otak cerdasnya, kemampuan Hastuti mendiagnosis penyakit melebihi teman-temannya yang menjadi dokter.
Seorang dokter muda menaruh hati pada Hastuti. Sayangnya keluarga sang dokter tidak menyetujui hubungan tersebut. Dokter dari keluarga bupati pantang menikah dengan seorang perawat dari keluarga pegawai kelas menengah. Soekanti yang murka melihat anaknya direndahkan mengusir sang dokter muda pergi. Bagaimanapun tidak berpunyanya keluarganya saat itu, Soekanti tetaplah berdarah priyayi. Kedua pasang insan yang sesungguhnya masih saling mencintai tersebut berpisah dan menerima jodoh yang ditetapkan masing-masing keluarganya. Rahayu menikah dengan seorang pemuda parlente, berlatar belakang pendidikan Belanda, menguasai 8 bahasa, dan selanjutnya menjadi petinggi sebuah maskapai penerbangan di Indonesia.
Anak ketiga Soekanti dan Mareka, Ningsih, punya cerita yang berbeda. Soekanti sempat mengirim anak perempuannya tersebut untuk tinggal dengan salah seorang kakaknya yang tidak memiliki anak. Sriati namanya. Menikah dengan seorang tuan tanah, Sriati adalah yang paling berharta diantara kesebelas saudaranya. Sekian tahun tak memiliki keturunan, Sriati terpaksa menelan kenyataan pahit jika dirinya yang tak bisa memiliki anak, ketika isteri muda suaminya melahirkan. Untungnya suami Sriati tidak serta merta meninggalkannya. Berhektar sawah telah diberikan kepada Sriati oleh suaminya sebagai tanda cinta. Dengan tekun Sriati mengelolanya dan dalam beberapa tahun melipat gandakan hasilnya membuat Sriati menjadi orang terkaya di kampungnya.
Ningsih sebetulnya senang-senang saja tinggal bersama Sriati. Sriati menganggapnya sebagai anak kandungnya sendiri dan memberikan fasilitas yang tak pernah diberikan oleh orang tuanya, seperti sepeda untuk pergi sekolah. Lagipula di rumah Sriati, Ningsih tidak perlu berbagi apalagi mengalah karena dia hanya sendiri. Tapi tetap saja, kenyamanan yang dia dapatkan tidak dapat menepiskan pikiran di kepala Ningsih kalau dia tidak dicintai dan dipilih untuk dibuang.
Beberapa tahun tinggal bersama Sriati, Ningsih kembali ke rumah orang tuanya ketika sudah masanya masuk ke SMA. Di rumah orang tuanya dia sempat merasa asing. Walaupun akhirnya sikapnya menjadi biasa lagi, tapi hingga dewasa perasaan dibuang tersebut masih sering muncul di benak Ningsih. Perasaan, yang sayangnya, tidak dapat dia sampaikan kepada Soekanti. Terpendam hingga dewasa, dan seringkali menjadi akar konflik antara Ningsih dan Ibunya. Mungkin ini yang namanya luka pengasuhan zaman tahun 50an.
Selesai SMA, Ningsih yang cerdas melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi dengan ikatan dinas. Lulus kuliah, Ningsih menjadi satu-satunya anak Soekanti Mareka yang menjadi pegawai korporasi. Bertugas ke penjuru dalam dan luar negeri membuat Ningsih ketagihan. Menjelajahi dunia menjadi salah satu obsesinya. Menikah dengan pria yang memiliki hobi yang sama, Ningsih, hingga usianya kini sudah lansia, masih semangat menggeret koper berpergian kemana-mana, mengunjungi tempat-tempat menarik di seluruh dunia.
Roestinah, anak keempat Soekanti dan Mareka tidak sepandai kakak-kakaknya. Akan tetapi, walaupun tidak pandai secara akademis tapi Roestinah sangat pandai berteman. Seluruh kabupaten dia kenal. Mungkin hampir seperempatnya bisa dia klaim sebagai teman. Roestinah yang ramah dan supel banyak memiliki penggemar, termasuk seorang pemuda yang baru lulus dari Universitas Gajah Mada dan mendapatkan gelar insinyur. Tapi sayangnya, sama seperti kakak keduanya, hubungan asmara Rosetinah dengan sang insinyur kandas karena orang tua si pria tidak menyetujui hubungan mereka.
Insiyur yang memiliki masa depan gilang gemilang tentu tidak boleh menikah dengan wanita dari keluarga biasa-biasa saja. Soekanti kembali murka karena anaknya diremehkan. Setelah mengusir si insinyur, dia bersumpah jika ketiga anak terakhirnya, yang kebetulan semua laki-laki, harus menjadi insinyur untuk membuktikan kalau keluarganya juga terpandang. Sebuah sumpah yang akhirnya sangat mempengaruhi kehidupan ketiga anak bungsu tersebut.
Pada akhirnya Roestinah menikah dengan seorang pegawai negeri yang sangat memujanya. Sayangnya sang pegawai negeri meninggal di usia yang sangat muda, meninggalkan Roestinah sendiri membesarkan kedua anaknya. Mewarisi kegigihan dan keras kepala dari ibunya, Roestinah mengerahkan segala daya upaya untuk mengantarkan anak-anaknya menjadi pegawai negeri seperti ayah mereka.
Wening anak kelima Soekanti dan Mareka, tidak berminat sekolah. Semangatnya naik hanya saat pelajaran keputrian dan tata boga. Dengan mudah dia menghitung bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak, padahal dia selalu menangis saat bertemu soal hitung-hitungan. Cita-cita Wening semenjak muda sepertinya memang menjadi Ibu Rumah Tangga. Wening baru saja lulus SMP ketika dilamar oleh seorang perwira tentara. Mungkin memang sudah jalannya untuk menggapai cita-citanya. Mengikuti suaminya yang bertugas ke seluruh penjuru Indonesia, Wening melaksanakan pekerjaan impiannya, yaitu mengurus rumah tangga.
Anak keenam, ketujuh, dan delapan Soekanti dan Mareka: Adi, Wibowo, dan Rahardjo tidak merasakan kesulitan hidup seperti kakak-kakaknya. Saat mereka lahir dan tumbuh besar, kakak pertama mereka sudah menjadi perwira polisi. Sebagai lulusan terbaik di angkatannya, semenjak awal dia selalu mendapatkan jabatan strategis. Kakak kedua mereka sudah menjadi perawat di salah satu Rumah Sakit nasional di Indonesia, sementara kakak ketiga telah menjadi pegawai di perusahaan telekomunikasi yang sedang berkembang pesat di masa tersebut.
Karena uang tidak menjadi masalah lagi untuk ketiga anak bungsu tersebut, mereka berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi hingga jenjang S2. Ketiganya lulus dari jurusan teknik dan menjadi insinyur seperti keinginan Soekanti. Hanya saja anak ketujuh ternyata tidak terlalu ikhlas menjalani takdirnya. Dia sebetulnya memiliki pilihan yang lain, hanya saja ditentang habis-habisan oleh Soekanti yang gelap mata menginginkan gelar insiyur untuk ketiga anak terakhirnya. Penyesalan anak ketujuh yang dibawa sampai dewasa berpengaruh juga ke anak-anaknya. Mungkin ini yang namanya luka yang diturunkan secara turun temurun?
Mareka meninggal di usia yang cukup muda karena kanker paru-paru. Di akhir hayatnya hanya sempat melihat dua cucu tertuanya saja. Sementara Soekanti sempat melihat dan menikmati kebersamaan bersama delapan anak dan 20 cucunya sebelum menghembuskan nafas terakhir di usia yang cukup senja.
Karena uang tidak menjadi masalah lagi untuk ketiga anak bungsu tersebut, mereka berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi hingga jenjang S2. Ketiganya lulus dari jurusan teknik dan menjadi insinyur seperti keinginan Soekanti. Hanya saja anak ketujuh ternyata tidak terlalu ikhlas menjalani takdirnya. Dia sebetulnya memiliki pilihan yang lain, hanya saja ditentang habis-habisan oleh Soekanti yang gelap mata menginginkan gelar insiyur untuk ketiga anak terakhirnya. Penyesalan anak ketujuh yang dibawa sampai dewasa berpengaruh juga ke anak-anaknya. Mungkin ini yang namanya luka yang diturunkan secara turun temurun?
Mareka meninggal di usia yang cukup muda karena kanker paru-paru. Di akhir hayatnya hanya sempat melihat dua cucu tertuanya saja. Sementara Soekanti sempat melihat dan menikmati kebersamaan bersama delapan anak dan 20 cucunya sebelum menghembuskan nafas terakhir di usia yang cukup senja.
Ditulis untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan November dengan tema foto dan ceritanya. Tulisan diatas merupakan campuran fakta dan fiksi. Tidak semuanya terjadi. Terkadang hanya imajinasi. Foto yang disajikan asli dari koleksi pribadi.
Teteh ... Foto pertama itu ada lemari mirip banget dengan lemari di rumahku warisan dari Bapa. Sepertinya usia lemarinya mirip deh he3 ...
ReplyDeleteLanjut jadi novel Restu. Jadi Soekanti ini siapa?
ReplyDeleteLanjut jadi novel Restu. Mengingatkan sama novel Rahasia Salinem tulisan Brilliant Yotenega yang diangkat dari cerita neneknya.
ReplyDeleteKok aku menduga beliau adalah kakek nenek (mungkin juga buyut) dari teh Restu ya…
ReplyDeleteAku pikir semua fakta, tapi kok bisa tahu detil. Eh ternyata terakhir dibilang ada fiksi juga. Nah jadi penasaran, itu fiksi karena berdasarkan cerita dari orang-orang yang masih hidup, atau bener-bener imajinasi penulis aja nih?
ReplyDeletePembaca jadi dikasih PR nembak mana fakta, mana fiksi ya. Hihi
Delete