Sunday, October 20, 2024

Menua itu Pasti, Masa Tua yang Tenang itu Pilihan

Suatu hari yang cerah, saya duduk-duduk sendirian di boulevard kampus sambil menunggu Mbarep latihan parkour. Satu jam yang sungguh sangat berharga. Bisa menikmati suasana di keheningan tanpa latar belakang suara “Ibok-Ibok” setiap 30 detik. 

Tiga orang pemuda menghampiri tempat saya berdiam diri. Karena saya bukan Tinky Winky, dan mereka jelas bukan Dipsy, Lala, dan Po, maka kami mengucapkan salam dan bukan berpelukan saat bertemu. Ketiga pemuda itu meminta izin untuk mengajukan sebuah pertanyaan kepada saya. Rupanya mereka mendapatkan tugas dari organisasi yang mereka ikuti untuk mencari pendapat orang atas berbagai pertanyaan. 

Salah satunya yang disampaikan pada saya adalah: “Bagaimana pendapatnya mengenai kasus pasangan lansia yang meninggal di rumahnya dan baru diketahui beberapa hari kemudian? Bagaimana caranya supaya keturunan kita tidak durhaka pada orang tuanya?”.

 “BERAT KALI PERTANYAANYA WAHAI ANAK-ANAK MUDA.”, batin saya berteriak. Buyar sudah suasana hening saya. Untungnya otak saya bisa mengendalikan suasana. Karena saya orangnya calm, cool, and confident macam puding yang baru dikeluarkan dari kulkas, ini saatnya saya mengeluarkan setitik wisdom dari pengalaman hidup saya. 

Sebelum menjawab saya merubah pose duduk seperti Master Shifu. Biar nampak lebih dewasa dan meyakinkan. Gemerisik daun menambah syahdu suasana. 
Tadinya mau pakai gaya yang pakai sumpit. Cuma adanya sumpit dari lumpia basah yang potek sebelah.

 “Adik-adikku sekalian”, saya tentu tidak memulai dengan kata-kata ini. Ingat saya sedang jawab pertanyaan doang. Bukan ceramah. “Kita tidak pernah tahu bagaimana kondisi keluarga seseorang. Karena itu kita tidak bisa langsung menghakimi. Apalagi sampai menuduh seseorang durhaka”.

Usia saya belum genap 35 tahun ketika sepenuhnya kehilangan orang tua. Dari 35 tahun tersebut, setengahnya saya habiskan jauh dari mereka. Bapak saya bersikeras saya dan adik berkuliah di kampus idaman yang jauh dari rumah. Setelah lulus kami harus punya pekerjaan yang fleksibel sehingga setelah menikah bisa ikut suami kemanapun rezeki mereka berada. Suatu prinsip (atau obsesi) yang sudah digaungkan dari kami kecil. 

Risiko dari harapan tersebut tentu saja, mereka kembali hidup berdua setelah adik saya kuliah. Jarak yang membentang cukup signifikan serta berbagai kewajiban membuat saya (dan adik) tidak bisa bergerak cepat ketika ada hal darurat menyangkut orang tua. Seringkali kami terlambat. Bahkan sampai di akhir hayat keduanya. 

Pesan-pesan tak terjawab, telepon-telepon tak terangkat, kata-kata tak terucap, angan-angan tak terwujud. Kami pikir mereka akan ada selamanya. Tapi Tuhan lebih sayang keduanya. Bertahun kemudian hati sudah ikhlas, walaupun tanya tetap muncul kadangkala. Apakah mereka bahagia? Apakah kami durhaka?

Didahului dengan berdeham yang tidak perlu, saya melanjutkan. Kisah yang terjadi mungkin ekstrim. Tapi versi lebih ringannya bisa terjadi pada siapa saja. Saya menunjuk salah satu dari pemuda itu. “Orang tua tinggal dimana?”, “Jombang” jawabnya. “Kamu sekolah dimana?”, lanjut saya. “Salatiga”. “Kalau orang tua kamu sakit, kamu bisa langsung lari pulang ke rumah?”. Pemuda itu terlihat berpikir, “Ya nggak juga”.”Kenapa?”. “Soalnya saya kan naik kendaraan umum. Terus Bapak saya suka marah kalau saya izin pulang dari pesantren”. “Tapi kan di rumah saya banyak sodara”, jawab pemuda itu melanjutkan, mencoba membela alasannya. 

“Kalau misalnya, rezeki kamu nanti setelah menikah, katakanlah ada di benua Eropa. Di sana kalian sendirian. Saat istri kamu mau melahirkan, orang tua kamu sakit parah. Gimana, masih bisa lari secepatnya?”, Lanjut saya. Pemuda itu nyengir. 

Teorinya sih sederhana. Kenyataannya, berbakti pada orang tua itu suatu bentuk rezeki juga. Mudah dikatakan tapi tak mudah dilakukan. Setelah mendengar jawaban saya yang mungkin tidak mereka harapkan, ketiga pemuda itu kemudian pergi mencari jawaban yang lebih memuaskan.

Kembali sendiri, saya jadi merenung. Kali ini pakai pose The Thinker, biar lebih khusyuk. Pegal punggung dan siku tak masalah. Karena gaya adalah yang utama. 

Rada cangkeul sebenarnya kalau mikir sambil begini. Tapi nggak papa, biar nampak elite. 

Tentu saja saya berharap kalau sudah tua, anak-anak saya punya rezeki jadi anak berbakti. Karena siapa tau hal itu yang mengantarkan mereka ke surga. Tapi nasib orang kan tentu tidak ada yang tahu. Jadi tetap perlu ada usaha mempersiapkan hari tua selain menggantungkan asa dan harapan pada rezeki anak.

Memperhatikan lansia di sekitar saya, saya jadi sadar mempersiapkan hari tua itu bukan melulu tentang uang. Hati lebih penting untuk disiapkan. Kesepian, kehilangan, dan ketidakberdayaan adalah hal-hal yang melingkupi hidup para lansia apapun tingkat kesejahteraan hidupnya. 

Berdasarkan hal tersebut saya menyimpulkan ketenangan batin adalah yang utama. Modal terbesar menghadapi berbagai hal dalam hidup sampai akhir usia, termasuk untuk legowo jika di hari tua tidak ada anak yang punya rezeki merawat kita. Ketenangan batin adalah hal yang selalu saya panjatkan dalam doa. Dimana semakin bertambah umur saya semakin paham bahwa ketenangan batin tidak berbanding lurus dengan harta, tahta, apalagi Raisa. Kecuali mungkin untuk Hamish Daud. 

Menurut saya, ketenangan batin lebih berkorelasi erat dengan keputusan-keputusan yang diambil di hidup kita. Memilih jadi orang baik (yang smart) contohnya, mungkin tidak akan membawakan kita kejayaan seperti tokoh-tokoh di cerita dongeng. Tapi orang baik kemungkinan besar akan lebih tenang hatinya. Asal baik beneran ya, bukan baik di pencitraan doang.

Begitupun memilih gaya hidup yang sesuai dengan kemampuan. Hal sederhana yang luput di perhatikan banyak orang yang terjebak gengsi. Mobil butut, hati tenang buat saya lebih baik daripada mobil mewah tapi ketar-ketir bayar cicilan. 

Saya tidak anti cicilan dan pinjaman. Beberapa barang di rumah saya bayar dengan cicilan untuk mengatur cash flow. Uangnya sudah ada, keluarnya saja yang bertahap. Memaksakan diri menyicil barang yang diluar kemampuan itu yang tidak saya lakukan. 

Pinjam uang ke orang juga pernah beberapa kali, tapi alhamdulillah selalu dengan niat dan usaha untuk dilunasi. Berhutang hanya untuk memenuhi ambisi pribadi itu yang tidak saya kerjakan. Saya tau hidup saya cukup tenang, sebagian penyebabnya karena tidak punya hutang.

Ketenangan batin juga tidak selalu berarti bahagia. Menurut saya bahagia itu konsep yang semu. Sangat subjektif tergantung persepsi masing-masing orang. Ilusi yang selalu diusahakan, tapi jarang benar-benar didapatkan. 

Sebetulnya ketenangan batin juga sama abstraknya, tapi buat saya lebih bisa dirasakan dan lebih memungkinkan untuk dicapai. Karena inti formulanya adalah percaya. Percaya akan ada jalan keluarnya, percaya bahwa ada tangan tak terlihat yang mengatur dan menjaga, percaya jika semua memang sudah takdirnya. Termasuk percaya bahwa kadar lemak tubuh saya bisa turun dari 40% ke angka ideal asal mau berusaha.

Masalahnya, seperti hampir segala hal di dunia, walaupun modal utamanya percaya, tapi ketenangan batin tetap perlu diusahakan. Tubuh yang sehat, pikiran yang positif, emosi yang terkendali, hubungan yang baik dengan Sang Pencipta juga sesama manusia, adalah faktor-faktor kunci ketenangan batin yang harus dipupuk dan dirawat semenjak muda. Supaya bisa dipanen setiap kali membutuhkannya. 

Sudah, itu saja yang saya harapkan, jika diizinkan panjang usia. Semoga bisa menjalaninya dengan batin yang tenang. Apapun kondisinya.

Renungan saya terhenti karena panggilan Mbarep. Latihannya sudah selesai.






No comments:

Post a Comment