Tak Sengaja Diskriminatif
Setiap tanggal 22 Desember, seorang teman perempuan merasa nestapa. Meskipun sudah menikah sekian tahun, belum ada anak yang dilahirkan dari rahimnya sendiri. Karena alasan tersebut, merasa tak berhak dia ikut bersuka cita di hari itu. Hari yang ditasbihkan sebagai Hari Ibu.Sungguh, meskipun tentu tak disengaja, tak jarang perempuan merasa ditinggalkan di tanggal tersebut. Hanya karena pemilihan kata dalam penamaannya yang membuatnya jadi terkesan eksklusif untuk kaum Ibu.
Andaikan teman ini tahu, bahwa peringatan hari Ibu dilatar belakangi oleh peristiwa yang lebih luas maknanya daripada sekedar menjadi Ibu, mungkin dia bisa merasa sedikit terhibur.
Kongres Perempuan Pertama adalah cikal bakal dari hari ibu. Seperti namanya, kongres ini melibatkan para perempuan tanpa memandang statusnya. Bahkan satu dari tiga pencetus utamanya, masih belum menikah dan menjadi ibu sampai beberapa lama setelah kongres itu selesai dilaksanakan.
Berdasarkan hal tersebut saja, dan judul acara yang dilangsungkan, penamaan Hari Ibu dirasa kurang tepat. Karena itu saya sampaikan gugatan atas namanya. Supaya bisa dipertimbangkan untuk diubah ke nama lainnya yang bisa mencakup seluruh perempuan di Indonesia, apapun statusnya.
Alasan Nama Hari Ibu Harus Diganti
Ada tiga alasan tambahan yang bisa saya ajukan untuk memperkuat argumen saya mengenai penamaan Hari Ibu. Menilik hal-hal yang dibahas melalui buku karya Susan Blackburn yang berjudul Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang, saya merasa yakin bahwa cikal bakal Hari Ibu, ternyata bukan hanya tentang Ibu.
1. Isu Utama yang Dibahas di Kongres Bukan Tentang Ibu
Ada tiga isu utama yang dijadikan kesimpulan hasil dari Kongres Perempuan Indonesia: 1. Pendidikan Perempuan, 2. Perkawinan dan Perceraian, dan 3. Perkawinan Anak. Mungkin karena di zaman tersebut ketiga hal tersebut dianggap paling mendesak untuk diselesaikan. Ketiga isu utama ini tidak secara langsung berkaitan dengan peran perempuan sebagai Ibu.Pendidikan Perempuan
Isu pendidikan perempuan menyoroti akses pendidikan untuk anak perempuan. Seperti kita ketahui, pendidikan di masa penjajahan masih sangat terbatas untuk kaum perempuan. Berbagai aturan kolonial dan adat istiadat membuat akses perempuan kepada pendidikan sangat sulit. Kebanyakan perempuan di masa itu tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Sebagian yang beruntung karena memiliki keistimewaan akibat kedudukan sosialnya, seperti R.A Kartini, tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena terbentur oleh kebiasaan.Masalah kesetaraan pendidikan ini untungnya sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang. Dimana akses kepada pendidikan sudah setara untuk laki-laki dan perempuan. Mungkin malah yang sekarang harus diperjuangkan adalah akses pendidikan yang nyaman dan berkualitas untuk seluruh anak di Indonesia, dimanapun dia berada.
Perkawinan Anak
Sesuai judulnya, isu ini adalah tentang perempuan dibawah umur. Patut disyukuri bahwa, walaupun Perkawinan Anak masih kerap dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, tapi data menunjukkan rata-rata usia pernikahan perempuan Indonesia saat ini ada di angka 22 tahun. Sudah jauh dari usia anak-anak. Semoga kenaikan rata-rata itu berarti pernikahan dibawa usia 20 tahun semakin dihindari. Bukan karena semakin banyak orang menikah di usia lanjut.Perkawinan dan Perceraian
Perkawinan dan Perceraian adalah satu-satunya isu utama yang mungkin sedikit banyak ada sangkut pautnya dengan peran perempuan sebagai Ibu. Walaupun jika yang dibicarakan adalah perkawinan, maka peran perempuan sebagai isteri pasti lebih utama.Isu ini juga yang saya rasa masih cukup relevan di masa sekarang. Walaupun mungkin permasalahannya berbeda. Di zaman dulu, perempuan hanya memiliki sedikit hak dalam menentukan perkawinan dan perceraiannya. Perjodohan paksa ala Siti Nurbaya adalah hal yang biasa dilakukan. Sementara, pengajuan cerai oleh perempuan tidak diperkenankan. Apapun kondisi perkawinannya, hanya jika suaminya menjatuhkan talak maka seorang isteri bisa bercerai dari suaminya.
Fun fact! Shigat Taklik yang ada di buku pernikahan untuk pasangan Muslim adalah salah satu hasil dari Kongres Perempuan Indonesia. Dimana perempuan bisa mengajukan perceraian jika suaminya melakukan hal-hal yang disebutkan dalam sighat taklik.
Sementara itu di masa kini, saat perceraian menjadi relatif mudah dilakukan secara hukum, rata-rata usia perkawinan menjadi semakin pendek. Fenomena menjamurnya cerai artis yang heboh di berbagai media konon hanyalah puncak dari gunung es. Faktanya setelah pandemi angka perceraian memang naik sebanyak 21% (Statistik Indonesia).
Saya pernah bertanya ke salah satu teman psikolog, apa yang menyebabkan perceraian semakin banyak sekarang. Menurut teman saya ini, selain karena masalah klasik penyebab perceraian seperti KDRT, pengabaian, perselingkuhan dsb, ada faktor tambahan lain seperti ketidaksiapan mental dalam menghadapi kehidupan berumah tangga serta tujuan pernikahan yang salah. Contohnya menganggap pernikahan adalah jalan keluar dari masalah. Kebanyakan masalah ini menimpa pasangan muda.
2. Hal-hal yang Masih Relevan dengan Kondisi Sekarang Tidak Dikhususkan untuk Kaum Ibu
Ada beberapa pembahasan dari Kongres Perempuan Pertama Indonesia, yang menurut saya masih relevan dengan kondisi saat ini. Hal-hal tersebut tidak melulu tentang Ibu. Saya ceritakan dua diantaranya.
Tentang Kesetaraan Kesempatan untuk Berjuang dan Berkarya
Peserta Kongres Perempuan Pertama adalah para aktivis. Keinginan mereka untuk membantu kemerdekaan Indonesia sangat menggebu-gebu. Tidak dipungkiri, para perempuan ini memiliki privilese untuk berjuang. Sebagian besar berasal dari golongan terpelajar, keluarga pejuang, atau memiliki keluarga yang suportif dan berpikiran progresif.Dalam pidatonya, beberapa pembicara menyerukan ajakan untuk berjuang tanpa melalaikan kewajiban. Dengan keistimewaan yang dimilikinya, para perempuan ini mampu memenuhi kewajiban mereka sebagai seorang anak, isteri, dan ibu sekaligus memenuhi panggilan hati untuk berjuang bagi bangsanya. Mereka ingin ada lebih banyak perempuan mendapatkan kesempatan yang sama seperti mereka.
Sampai saat ini, tidak semua perempuan memiliki kesempatan untuk berkarya. Bukan hanya setelah menjadi Ibu. Tak jarang perempuan yang belum menikahpun tidak memiliki kebebasan untuk berkarya. Beban domestik seringkali menjadi penghalang. Apalagi tanpa dukungan suportif dari orang-orang di sekitarnya atau masyarakat di lingkungan dia berada. Berdasarkan hal tersebut, perjuangan perempuan kolonial mengenai kesetaraan kesempatan berjuang dan berkarya belum berhenti sampai sekarang.
Tentang Derajat Kemuliaan Perempuan
Perempuan itu, menurut salah satu pembicara di Kongres Perempuan Pertama, harus memiliki kepandaian untuk melaksanakan kewajibannya. Setelahnya harus punya pengetahuan mengenai diri sendiri, kepercayaan diri, dan terakhir penghargaan kepada diri sendiri. Hal-hal ini yang membuat perempuan dikenali pribadinya, dipercaya, dan dikenali nilainya (dihargai).Sungguh prinsip yang masih relatable sampai sekarang. Lebih advanced dari Brain, Beauty, Behaviour. Sebuah konsep holistik dengan kearifan lokal mengenai perempuan yang berdaya. Masih sukar dipercaya bukan, kalau yang menyampaikan adalah perempuan yang hidup 100 tahun lalu?
Menyambung konsep holistik diatas, disampaikan juga bahwa derajat/kemuliaan seorang perempuan itu dilihat dari tinggi budinya, banyak ilmunya, baik kelakuannya.
Merasa tertampar sekali membaca kalimat diatas. Disaat perempuan masa kini banyak yang menggantungkan harga dirinya pada hal-hal tangible seperti status dan uang, para perempuan di Kongres Perempuan Indonesia memilih untuk menyandarkan kemuliaan dirinya melalui budi pekerti, ilmu, dan kelakuan.
Suatu prinsip yang sungguh perlu ditiru. Bukan hanya oleh Kaum Ibu, tapi oleh seluruh perempuan berapapun usianya dan apapun statusnya.
3. Pergeseran Budaya Membuat Arti Kata Ibu Menjadi Lebih Spesifik
Bahasa Indonesia baru mulai digunakan secara resmi pada bulan Oktober 1928. Dengan semangat untuk mendukung penggunaan bahasa pemersatu bangsa, dua bulan berikutnya, Kongres Perempuan Pertama di Indonesia dilaksanakan menggunakan bahasa Indonesia sepenuhnya. Tentu bukan perkara yang mudah bagi peserta yang belum terbiasa.
Penggunaan istilah yang tidak konsisten terlihat di dokumen naskah pidato kongres. Ada yang menggunakan kata putri, perempuan, wanita, dan Ibu. Saya rasa kata-kata Ibu di zaman tersebut merujuk pada arti yang ketiga di KBBI: panggilan yang takzim kepada wanita baik yang sudah bersuami maupun yang belum.
Ibu 1 wanita yang telah melahirkan seseorang; 2 sebutan untuk wanita yang sudah bersuami; 3 panggilan yang takzim kepada wanita baik yang sudah bersuami maupun yang belum; 4 bagian yang pokok (besar, asal, dan sebagainya); 5 yang utama di antara beberapa hal lain; yang terpenting (KBBI)
Penggunaan istilah yang tidak konsisten terlihat di dokumen naskah pidato kongres. Ada yang menggunakan kata putri, perempuan, wanita, dan Ibu. Saya rasa kata-kata Ibu di zaman tersebut merujuk pada arti yang ketiga di KBBI: panggilan yang takzim kepada wanita baik yang sudah bersuami maupun yang belum.
Sebuah istilah netral yang digunakan untuk merujuk perempuan-perempuan dewasa yang hadir di kongres. Entah madam, nyai, mbok semua bisa dipanggil dengan Ibu.
Masalahnya, seiring berjalannya waktu, makna kata Ibu bergeser menjadi wanita yang telah melahirkan anak. Sejalan dengan pergeseran tersebut makna hari Ibu-pun menjadi berbeda. Mungkin juga dipengaruhi oleh romantisme Mothers Day di Amerika, Hari Ibu di Indonesia sekarang menjadi hari istimewa khusus untuk kaum Ibu: orang tua perempuan dari seorang anak.
Penuh kata-kata manis, quote, kue, balon, dan bunga.
Dulu tidak salah, tapi sekarang istilahnya jadi kurang tepat. Perayaannya sudah bergeser sangat jauh dari semangat awalnya.
Ditulis untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan September: Kisah dibalik Nama.
Merupakan tulisan lanjutan dari Kongres Wanita Pertama Indonesia: Apa dan Siapa yang Menggagasnya.
Penuh kata-kata manis, quote, kue, balon, dan bunga.
Dulu tidak salah, tapi sekarang istilahnya jadi kurang tepat. Perayaannya sudah bergeser sangat jauh dari semangat awalnya.
Penutup
Semangat pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia Pertama adalah untuk memperjuangkan hak perempuan Indonesia. Bukan hanya yang sudah menjadi Ibu, tapi mulai dari anak hingga lanjut usia. Maka dari itu saya mengusulkan nama Hari Ibu diubah. Supaya lebih mencakup para perempuan apapun situasinya. Jika Hari Perempuan dianggap terlalu vulgar mungkin bisa dicoba diganti dengan Hari Kaum Hawa. Sebuah pilihan yang mungkin kurang mulus di telinga tapi lebih tidak diskriminatif. Bagaimana? Ada yang setuju dengan saya? atau malah terbayang lagu Dewa? Kalau yang malah nyanyi, fix, satu zaman kita.Ditulis untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan September: Kisah dibalik Nama.
Merupakan tulisan lanjutan dari Kongres Wanita Pertama Indonesia: Apa dan Siapa yang Menggagasnya.
Aku pernah nulis tema yang sama nih teh Restu. Kalau namanya Kongres Perempuan tentu lebih pas jika namanya Hari Perempuan.
ReplyDeleteWomen's Day.
Bukan Mother's Day.
Di Al-Qur'an ada surat An-Nisa atau Perempuan.
Baru tahu loh kalau sejarahnya Hari Ibu itu begini. Aku pun prefer diganti saja jadi Hari Perempuan. Lebih mencerminkan semangatnya. Jadi Women's Day ya, bukan Mother's Day. Kurang kaya emang bahasa Indonesia ini.
ReplyDeleteSetuju sekali!
ReplyDeleteUntuk informasi, di Kazakhstan ada yang namanya perayaan "Women's Day" setiap tanggal 8 Maret. Dan itu merupakan hari besar nasional di sini, diliburkan dan diselebrasi. Perempuan di sini 'ditinggikan'.
Suka sekali dengan tulisan Mah Restu. :)