Thursday, August 22, 2024

Kongres Wanita Pertama Indonesia: Apa dan Siapa yang Menggagasnya

Entah sejak kapan perayaan Hari Ibu di Indonesia jadi romantis. Penuh bunga, kejutan menyenangkan, dan ucapan manis. Tentu saja tidak menjadi masalah mengingat dan mengungkapkan rasa terima kasih pada sosok yang sangat berjasa di hidup kita. Hanya saja setelah mengetahui sejarahnya, saya merasa ada yang kurang pas dengan hal-hal yang dirayakan di hari Ibu. 

Karena sejatinya peristiwa yang melatarbelakangi peringatan Hari Ibu, adalah sebuah momen bersejarah yang sungguh berbeda makna dengan gempita perayaannya sekarang ini. Momen tersebut tidak hanya melibatkan kaum ibu melainkan juga seluruh perempuan dengan berbagai status. Gerakan luar biasa untuk memperjuangkan hak kaum perempuan. Bukan hanya dalam kaitannya dengan peran domestiknya sebagai Ibu, melainkan berbagai aspek kehidupannya di tanah air tercinta ini.

Sebuah peristiwa bersejarah dengan nilai intelektualitas tinggi, yang tidak banyak diketahui orang. Termasuk para perempuan yang sampai detik ini, masih relevan dengan perjuangannya: Kongres Wanita Pertama Indonesia 

Di benteng Vredeburg Yogyakarta untuk pertama kalinya saya mengetahui mengenai Kongres Wanita Pertama Indonesia. Dilaksanakan hanya berselang dua bulan dari Kongres Pemuda II yang menghasilkan Soempah Pemoeda, kongres ini jelas tidak sepopuler pendahulunya. Diorama yang dipajang menggambarkan perempuan-perempuan berkebaya, berkerudung, atau bersanggul yang duduk berkumpul di sebuah pendopo. Menghadap seorang pembicara yang sedang menyampaikan pidatonya. Semuanya nampak serius mendengarkan.

Para penggagas Kongres Wanita Pertama Indonesia

Patung dada ketiga penggagas Kongres Wanita Pertama tersebut berdiri di tengah museum Vredeburg. Menjadi penanda dan pengingat mengenai apa yang bisa dilakukan oleh perempuan Indonesia, jika mau berusaha (5)

Sang Perempuan Pemberani 

Soejatin namanya. Usianya kala itu masih 21 tahun, tapi perempuan muda itu sudah punya pemikiran jauh kedepan mengenai kehidupan yang dia inginkan di negara ini. Aktif mengikuti berbagai organisasi perjuangan, termasuk Jong Java, semangat dalam diri Soejatin untuk memperjuangkan kehidupan perempuan di sekitarnya begitu menggebu-gebu (1)

Pada tahun 1926, Soejatin memelopori pendirian sebuah organisasi untuk guru-guru perempuan yang dinamai Poetri Indonesia. Dari para anggota organisasi inilah gagasan mengenai Kongres Wanita muncul. Seperti tidak mau kalah dengan para pemuda yang telah sukses menyelenggarakan Kongres Sebelumnya, para guru muda tersebut beride untuk mengadakan pertemuan berbagai organisasi pergerakan perempuan yang ada di Indonesia. 

Di masa itu, organisasi pergerakan perempuan memang sedang banyak bertumbuh di bumi nusantara. Hampir seluruhnya didirikan dalam rangka memperjuangkan emansipasi perempuan, khususnya di bidang pendidikan (3). Usulan untuk membuat suatu pertemuan antara organisasi perempuan sebetulnya telah ada sejak awal tahun 1920-an. Walaupun ada berbagai organisasi perempuan di Indonesia, tapi karena tidak saling berhubungan, maka pergerakannya tidak terasa masif sehingga hasilnya tidak jelas kentara. 

Dengan berbagai kesibukan anggota berbagai organisasi wanita yang ada, ide untuk melakukan pertemuan tidak pernah terwujud. Soejatin dan Poetri Indonesia adalah yang pertama mengejawantahkan keinginan tersebut menjadi bentuk nyata. (Alasan yang sungguh klasik buat perempuan bukan?)

Para anggota Poetri Indonesia tau, untuk mewujudkan gagasan mempertemukan berbagai organisasi perempuan di Indonesia, diperlukan bantuan dari pihak yang lebih memiliki kuasa. Bagaimanapun saat itu seluruh pergerakan rakyat sedang dipantau ketat oleh pemerintah kolonial. Kaum pribumi terpelajar mulai bangkit menyuarakan ajakan-ajakan kemerdekaan. Membuat ketar ketir pihak penjajah. 

Soejatin sebagai ketua Poetri Indonesia kemudian menemui dua orang tokoh pergerakan perempuan, dari organisasi lain, yang mapan dan berpengaruh di masa itu: R. A. Soetartinah Sastraningrat dari Wanito Taman Siswo dan R. A. Soekonto dari Wanito Oetomo dan meminta mereka bergabung untuk menyelenggarakan kongres. Dengan visi yang sama, keduanya sepakat untuk bergabung dan menjadi pemimpin panitia penyelenggaraan kongres tersebut. R.A Soekonto sebagai ketua, R.A Soetartinah sebagai wakil, dan Soejatin sebagai sekretaris, sekaligus seksi sibuk. Mondar-mandir dengan sepedanya ke seantero kota Yogyakarta.

Sang Perempuan Pendidik

Isteri tokoh nasionalis Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), R.A Soetartinah Sastraningrat, memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi untuk perempuan di masa kolonial. Berasal dari keluarga yang masih berkerabat erat dengan keluarga kesultanan Pakualam, ia memiliki kesempatan mengenyam pendidikan elit yang dulu hanya bisa didapatkan oleh anak dari keluarga ningrat. 

Menyelesaikan pendidikan dasarnya di Europeesche Lagere School Yogyakarta, R.A Soetartinah kemudian meneruskan pendidikannya di Sekolah Pendidikan Guru (Kweekschool), dan menjadi guru pembantu di sekolah yang didirikan oleh salah satu kerabatnya. Setelah menikah ia terjun aktif mendampingi suaminya di dunia jurnalistik dan politik. 

Perempuan kelahiran 14 September 1890 ini memang sangat peduli pada masalah pendidikan. Menurutnya pendidikan adalah salah satu cara yang efektif untuk mengakhiri penjajahan. Kalau tidak, kenapa pihak kolonial mati-matian melarang para pribumi untuk sekolah? 

Setelah Indische Partij, partai politik pertama di Hindia Belanda, yang didirikan oleh suaminya dibubarkan, R.A Soetartinah mendorong suaminya untuk memfokuskan perjuangan mereka pada pendidikan rakyat. Keduanya kemudian mendirikan Perguruan Taman Siswa. Sebuah sekolah pribumi dengan konsep pendidikan progresif ala Eropa yang terinspirasi dari Montessori dan Frobel (4).

Pada Kongres Wanita Pertama R.A Soetartinah mewakili organisasi Wanito Taman Siswo. Sebagai tokoh dengan koneksi yang kuat ke berbagai pihak berkuasa di Yogyakarta, perempuan yang sempat menjadi guru TK di Den Haag Belanda ini, berperan sebagai sponsor utama: menyediakan pendopo di Dalem Joyodipuran sebagai arena kongres dan juga berperan sebagai penjamu tamu-tamu yang datang. Termasuk menyediakan hiburan berupa penampilan dari anak didiknya, para pelajar Perguruan Taman Siswa. 

Sang Perempuan Pemimpin

Lahir di zaman ketika pendidikan perempuan masih sangat dibatasi, orangtua R.A Soekonto tidak mengirimnya ke sekolah formal. Alhasil hingga dewasa, R.A. Soekonto tidak mengenal baca tulis. Setelah menikah dengan dr. Soekonto yang merupakan seorang dokter lulusan dari STOVIA, pemilik nama asli Siti Aminah ini, baru belajar membaca dan menulis dalam bahasa latin. 

Keterbatasan tersebut nyatanya tidak menyurutkan semangat R.A Soekonto untuk ikut dalam pergerakan nasionalis. Kakak kandung dari mantan perdana menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo ini aktif dalam organisasi non politik Wanita Oetomo yang didirikan sebagai bagian dari organisasi Boedi Oetomo. Dalam organisasi ini R.A Soekonto dipilih menjadi ketua karena kecakapannya dalam mengolah kata. 

R.A Soekonto didapuk sebagai Ketua Panitia penyelenggara Kongres Wanita Pertama, karena selain usianya paling senior, beliau dianggap memiliki wawasan paling luas mengenai kondisi berbagai daerah di penjuru Jawa serta koneksi yang luas ke berbagai pihak di daerah-daerah tersebut.

Sebagai isteri seorang dokter pegawai pemerintah kolonial yang harus siap ditempatkan dimanapun, perempuan yang saat itu berusia 39 tahun tersebut, memang memiliki pengalaman hidup di berbagai kota di pulau Jawa. Sehingga dianggap mampu menjembatani hubungan antar perwakilan daerah dan mengundang berbagai wakil organisasi untuk menghadiri kongres.

Pertemuan yang Membuka Mata 

Sumber: Kompaspedia

“Laporan dari berbagai pihak memandang konferensi ini telah berhasil. Dalam kesempatan ini juga kenyataannya bahwa perempuan sering lebih realistis, lebih berimbang, dan lebih beradb dalam pendekatan mereka dibandingkan lelaki… Organisasi ini pantas menndapat ucapan selamat dan perhatian secukupnya” (Kwantes 1981:176 - seperti dikutip dari Blackburn, 1997). 

Tentu tidak mudah melaksanakan pertemuan berskala besar di masa itu. Kala informasi tidak dapat secara cepat disampaikan dan jarak masih menjadi faktor penghalang yang besar. Tapi dengan tekad kuat, terlaksanalah juga Kongres Wanita Pertama di Indonesia pada tanggal 22-25 Desember 1928.

Tercatat seribu orang hadir pada pembukaan Kongres yang dilaksanakan pada Sabtu malam tanggal 22 Desember 1928. Sebuah prestasi tersendiri bahkan untuk ukuran masa kini. Berbagai perwakilan organisasi perempuan hadir memenuhi undangan. Berdatangan dari seluruh penjuru pulau Jawa.

Di hari-hari selanjutnya, tanggal 23-25 Desember 1928, pada kongres tersebut dilakukan pembahasan berbagai isu terkait perempuan di tanah air. Mulai dari adab, kewajiban, hak, dan permasalahan yang dihadapi perempuan sehari-hari. Pembicara dan peserta dalam kongres ini adalah perempuan-perempuan dari berbagai latar belakang status dan pendidikan. Masing-masing datang tentu dengan pemikiran dan gayanya sendiri.

Menyadari keberagaman hadirin yang datang, semua pihak sepakat untuk menggunakan bahasa Melayu. Bahasa yang baru saja disepakati sebagai bahasa pemersatu. Semua peserta juga sepakat untuk saling mendengar dan berdiskusi dengan kepala dingin. Berkompromi untuk pendapat yang bertentangan. Mencari jalan keluar dari permasalahan dengan melihat berbagai sudut pandang. Sebuah momen pembelajaran yang pasti sangat berharga untuk semua orang yang datang. 

Memperingati Perempuan-Perempuan Cerdas

Membaca buku Susan Blackburn tentang dokumentasi pelaksanaan kongres ini membuat saya sadar, betapa cerdas dan dewasanya perempuan-perempuan Indonesia yang mengikuti kongres tersebut. Mereka mampu mengutarakan maksudnya secara runut dan gamblang untuk kemudian berdiskusi dengan tenang.

Berbagai pertentangan pendapat tentu saja ada. Jelas tidak terhindarkan dengan ratusan kepala yang ada. Tapi sepertinya di akhir kongres para peserta bisa bermufakat menengahi perbedaan yang tak terhindarkan. Paling tidak jika tak sepakat, masing-masing sudah saling memahami dan setuju memilih jalannya sendiri-sendiri.

Belum lagi usaha dan perjuangan mereka untuk mengadakan acara yang begitu masif di suasana ya terbatas. Pengorganisasian acara yang rapi, topik-topik bahasan yang bermutu tinggi, serta cara bermusyawarah yang santun membuat pelaksanaan kongres tersebut mendapatkan berbagai pujian dari berbagai pihak termasuk media asing kala itu.

Hal-hal seperti ini menurut saya yang yang perlu dicontoh oleh perempuan masa kini. Spirit yang seharusnya perlu diperingati setiap tanggal 22 Desember. Bukan hanya rasa terima kasih pada para Ibu tapi juga pengingat akan kecerdasan dan kebijaksanaan para perempuan terdahulu yang kita harap bisa diwarisi oleh kita dan generasi selanjutnya.


Referensi:
(2) Kongres Wanita Pertama: Tinjauan Ulang (Blackburn, 2007). Digunakan sebagai referensi dsar utama di sepanjang tulisan.




2 comments:

  1. Keren ada kongres wanita 20an tahun sebelum kemerdekaan. Aku baru tahu nih.

    Lanjut dong teh yang kedua nya. Katanya ada yang seru.

    ReplyDelete
  2. Tulisan Restu ini dengan indahnya mengingatkan kita tentang esensi asli dari perjuangan perempuan Indonesia untuk hak-hak mereka, bukan sekadar perayaan peran domestik. Mari kita sama sama melanjutkan perjuangan perempuan-perempuan cerdas dan berani yang telah mengukir sejarah dengan semangat.. 💪

    ReplyDelete