Wednesday, July 3, 2024

Koleksi Cerita Pengantar Tidur Berbahan Dasar Memori Inti

Seperti kebanyakan anak lainnya, sebelum tidur, biasanya anak-anak saya minta dibacakan buku. Seringnya sih buku dongeng kesukaan mereka, yang sampulnya sudah lepas entah kemana saking seringnya dibaca. Kadang kalau bosan saya lewatkan halamannya. Tentu saja langsung timbul gelombang protes berjamaah. Sepertinya memang hanya kenyamanan yang mereka inginkan dari kegiatan ini, setelah melewati hari yang panjang. Kalau ceritanya sendiri, sudah pada ngelotok di kepala.

Anyway, waktu anak-anak masih lebih kecil, selain membacakan buku, saya juga sering cerita tentang masa kecil saya di Semarang. Masa kecil saya sebetulnya biasa saja, tidak ada yang istimewa. Tapi ada beberapa memori inti yang ternyata bisa diolah jadi cerita pengantar tidur yang cukup interaktif. Ini saya ceritakan koleksi cerita saya: 

Sepeda Emas



Waktu SD saya dapat sepeda gunung berwarna emas dari Bapak. Sepeda itu didapatkan Bapak sebagai bonus pembelian sepeda motor. Yes, zaman dulu beli motor dapat sepeda. Orang tua senang, anak juga senang. Karena modelnya sepeda gunung, sepeda emas itu dilengkapi transmisi gigi. Tau kan yang geriginya menumpuk tiga atau empat, yang kalau pedalnya diputar kebelakang rantainya suka jadi kusut. 

Setelah dikeluarkan dari kardus dan dirakit oleh Bapak saya, dengan gembira saya bawa sepeda itu ke jalan untuk dimainkan. Thanks to badan bongsor dan keseimbangan saya yang masih baik (belum kaku karena banyak nggletak nonton drakor), dalam beberapa menit saya sudah bisa mengendarai sepeda berukuran besar itu.

Dengan jumawa saya bawa berkeliling perumahan, menyusuri gang demi gang. Semuanya berjalan lancar, sampai saya iseng-iseng mencoba memindahkan gigi sepeda. Entah karena kualitas si sepeda yang kurang bagus, atau saya memang kurang ahli, ketika dipindahkan rantai giginya nyangkut.

Seperti galau gitu, separuh masih di gerigi atas, sementara separuh lagi di gerigi bawah. Mungkin ini arti nyata dari miskoordinasi satu rantai. Karena panik, tanpa sengaja saya memutar pedal ke belakang, yang membuat si rantai makin tidak karu-karuan. 

Akibat sibuk ngurusin gigi, saya tidak sadar kalau arah laju sepeda sudah melenceng menuju selokan. Maka nyempunglah saya dengan sukses ke sana. Sekaligus dengan si sepeda emas yang baru debut di belantika jalanan Indonesia. 

Bekas dua jahitan membuat codet di atas alis kiri yang sobek terkena stang sepeda. Membelah ujung alis saya dengan garis yang tajam. Souvenir petualangan singkat saya dengan si sepeda emas gratisan.

(Di cerita buat anak-anak, sepedanya bisa nyemplung kemana saja. Bisa ke sawah, Planet Mars, zaman dinosaurus, dunia zombie, etc)

Ada Batu dibalik Semen



Rumah tetangga saya sedang direnovasi. Di depan rumahnya ada tumpukan pasir,  tumpukan semen, dan berbagai bahan material lain. Sebagai anak 90-an yang tentu saja tidak punya kerjaan (dan kekhawatiran), entah kenapa saya suka sekali menendang-nendang tumpukan semen yang ada disana. Tentu saja, saat tidak ada orang yang melihat. Sensasi tersendiri saat berhasil menendang sebelum Pak Tukang datang melarang. Biasanya sambil teriak. Kesel kali kayaknya diganggu bocah.

Ibu saya rupanya memperhatikan, jadi saya dipanggil dan dilarang menendang-nendang tumpukan punya orang: “Kamu kan nggak tau di dalamnya ada apa”. Tapi tentu saja seperti jutaan anak kecil lainnya, nasihat orang tua biasanya hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Kembali main diluar kembali saya mencoba menendang si tumpukan semen dan pasir. 

Suatu waktu, sekuat tenaga saya hantamkan ujung kaki saya ke tumpukan lembut tersebut. Seketika rasa sakit yang kuat menjalar dari ujung kaki yang tertancap di tumpukan semen sampai ke ubun-ubun. Membuat saya langsung menangis meraung-raung. Mungkin ini akibat tidak mendengarkan nasihat ibu. Ternyata di dalam tumpukan semen itu ada semacam batu atau semen yang tidak sengaja mengeras lebih dulu. Benda itu membuat ujung jempol saya robek dan kukunya patah. Darah mengucur dengan derasnya. 

Saya pulang diantar Pak Tukang, yang langsung lari begitu mendengar teriakan. Disambut oleh Ibu saya yang sepertinya dilema antara mau panik atau ngamuk duluan. Tanpa banyak berkata-kata saya langsung diangkut ke puskesmas. Memastikan kaki saya tidak terkena paku berkarat atau benda lain yang berbahaya. Untungnya sih jempol saya tidak kenapa-kenapa, selain sobek sedikit saja. 

Setelahnya tentu saja saya diomeli, panjang kali lebar kali tinggi. Selanjutnya setiap saya terindikasi tidak mau mendengarkan nasihatnya, sampai berapa lama Ibu selalu bilang: “Ingat jempol kaki”.

(Di cerita untuk anak-anak benda yang tersembunyi di tumpukan semen bisa jadi apa saja. Bisa batu asteorid, bisa ular, bisa traktor, bisa gunung himalaya, etc)

Kabur dari Rumah



Entah terinspirasi dari mana, suatu hari, waktu masih usia sekitar kelas 3 SD, saya berniat kabur dari rumah. Sepertinya waktu itu saya habis dimarahi, atau lagi malas ikut ngaji di masjid, atau saya pengen kabur saja berpetualang seperti anak-anak di buku cerita. Saya masukkan baju ganti dan snack kedalam koper Echolac kecil, pemberian salah satu om saya. Koper itu biasanya saya pakai ke sekolah. Gaya banget lah zaman dulu sekolah bawa-bawa koper.

Saya masukkan juga mainan, gunting, senter, lakban, tali rafia, dan peralatan prakarya - survival lainnya. Sungguh kalau zaman sekarang, melihat isi koper itu, saya bisa dikira bocah psikopat, mau mutilasi orang.

Setelah semuanya siap, dengan gagah saya berjalan keluar rumah menuju ke halaman. Toleh kiri toleh kanan, saya putuskan untuk berjalan terus sampai ke RW sebelah. Di sana ada tanah kosong dengan sebuah pohon kersen di bagian tepian yang menghadap jalan. Saya putuskan untuk kemping disana. Kebetulan pohon tersebut punya batang pohon yang cukup besar dan bisa diduduki dengan nyaman. Saya pun memanjat pohon tersebut, lalu menaikkan koper Echolac dengan cara menariknya menggunakan tali rafia.

Memang sungguh banyak gunanya baca buku serial Lima Sekawan. Bisa tahu cara kerja katrol tanpa banyak usaha. Setelahnya saya duduk santai, makan snack, sambil menikmati suasana.

Sampai datanglah seekor anjing gila. Matanya merah, liurnya berleleran dari mulutnya. Menggeram geram menatap saya dari bawah pohon. Tak pernah saya merasa setakut itu sebelumnya. Naiklah saya ke dahan pohon yang lebih tinggi. Berusaha menjauh dari jangkauan si anjing. Berharap si anjing tak punya keahlian memanjat pohon.

Saya tunggu berapa lama anjing itu tak kunjung pergi. Tekad petualang saya ternyata tak sekuat itu. Menangislah saya tersedu-sedu. Membayangkan selamanya harus ada diatas pohon.

Untunglah tak beberapa lama adzan Ashar berbunyi dari masjid sebelah. Suaranya menggelegar memecah syahdunya sore. Si anjing kaget lalu kabur menjauh. Setelah untuk terakhir kalinya, menggonggong ke arah saya.

Setelah menenangkan diri, saya pun turun dari pohon. Masih sedikit gemetar dan menangis. Kemudian saya pulang, tentu saja dengan koper Echolac saya yang setia. Setelahnya saya tidak berminat kabur dari rumah lagi.

(Di cerita buat anak-anak, benda yang saya masukkan ke koper bisa beraneka macam. Bisa kulkas, kompor, gedung, pohon, etc. Binatang yang mengganggu saya juga bisa jadi macam-macam. Bisa King kong, Adu du lawan Boboiboy, Monster lawan Ultraman, etc).

Pak Ngatiri



Saat saya kecil, di daerah rumah Eyang saya di Boyolali, ada seorang sosok yang ditakuti anak-anak. Namanya Pak Ngatiri. Rambutnya diikat menjadi gulungan yang melekat erat di belakang kepala. Jenggotnya tebal dan panjang menjuntai hingga ke dada. Kemana-mana Pak Ngatiri selalu membawa golok, parang, dan gunting besar. Tak lupa karung goni yang tersampir di pundaknya.

Isinya anak-anak nakal, bisik Mbok Mi, asisten rumah tangga Eyang.

Eyang saya turut membantu membangun citra menyeramkan Pak Ngatiri. Kalau ada cucu-cucunya yang tidak mau makan atau bandel, selalu diancam untuk diserahkan ke pria itu. “Biar dijual ke pasar!”, kata Eyang sambil berkacak pinggang. Dalam bayangan kami di suatu pasar nun jauh disana Pak Ngatiri punya lapak jualan anak. Mendengar ancaman itu semua anak pasti langsung nurut sama Eyang. Karena tentu saja tidak ada yang berminat jadi barang dagangan di pasar.

Suatu hari saat kami sekeluarga tiba di rumah Eyang, ada Pak Ngatiri di halaman. Dengan gunting besarnya merapikan pagar rumah Eyang yang terbuat dari tanaman.

Melihat sosoknya, tentu saja saya ketakutan. Setengah mati menolak keluar dari mobil. Dibujuk seperti apapun juga bergeming. Muka Bapak sudah sampai merah padam karena jengkel. Kami ke rumah Eyang saat itu karena Bapak dan Ibu berencana pergi ke suatu acara, yang tidak memungkinkan membawa bocah, sehingga perlu menitipkan anak-anak sebentar di rumah Eyang. Karena saya berulah, tentu saja mereka jadi terlambat. Sementara Bapak paling tidak suka kalau rencananya berantakan. 

Melihat kekacauan yang saya buat, Eyang pun turun tangan. Dibukanya pintu mobil lalu diserukannya ultimatum: “Kalau nggak mau turun, biar dibawa Pak Ngatiri sekalian!”. Setakut takutnya saya menghadapi Pak Ngatiri, saya lebih takut kalau beneran diserahkan untuk dibawa. Jadi sambil menangis keras saya pun menurut turun dari mobil. Pak Ngatiri masih tenang membabat pohon.

Memang beliau mencari nafkah dengan membantu warga memanen kelapa juga membabat ilalang di kebun. Kadang juga diminta menangkap musang yang mengganggu ternak. Karung goninya hanya berisi makan siang dan peralatan lain untuk melaksanakan pekerjaannya. Juga hasil panen yang kadang dibagi oleh orang yang dibantunya. Sampai akhir hayatnya tak punya riwayat menjual anak ke pasar.

(Di cerita pekerjaan Pak Ngatiri bisa jadi apa saja. Bisa pemburu hantu, detektif yang menyamar, superhero, supervillain, etc).




Ditulis untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Juli: Koleksi. Untuk pertama kalinya dalam puluhan purnama bisa dapat badge tercepat. 



8 comments:

  1. Selain menang badge tercepat, ada kemungkinan jadi terunik juga nih hehe. Suka deh baca kisah-kisah masa kecilnya. Penuh petualangan :)

    ReplyDelete
  2. Seru banget ini.... koleksi cerita masa kecilnya Teh Restu, bisa dimodif juga sesuai imajinasi di masa itu (di saat menceritakan kembali). Jadi pengen tahu, koleksi cerita lainnya.

    ReplyDelete
  3. Seru sekali teh, gambarnya juga baguss.
    So nostalgic yaa jaman dahuluu

    ReplyDelete
  4. Ikut ngilu mikirin nendang batu. Dan geli baca 'mikirin harus hidup di dahan pohon'. Hihi lucu-lucu teh koleksi memori masa kecilnya

    ReplyDelete
  5. Wooow banget ih teh Restu... Unik.
    Penasaran sama anjing gila. Sebab aku juga pernah dikejar anjing dan jadi trauma euy ...

    ReplyDelete
  6. Dua cerita pertama bikin saya ikut deg-degan dan ngilu. Cerita kabur itu, xixixi lucu. Dan tentang pak Ngatiri itu, kayaknya ada banyak kisah para orang tua dulu menakut-nakuti anak-anak dengn seseorang atau sosok tertentu ya…

    ReplyDelete
  7. Inilah ciri-ciri anak kecil millenial yang pinter. Berani karena rasa pengen tahunya tinggi dan meninggalkan banyak bekas luka 😅. Yang luka alis terbelah jadi kayak Mas Aquaman, Restu. Cakep pasti. 😍

    ReplyDelete
  8. Teh seperti yang relate sama semua cerita kecilnya, berasa sejaman, apa semahzah cerita tentang koper dibawa ke sekolah, ingin kabur, nendang dan seluncuran di pasir sampai nenek penjual anak di dalam karung. Unik waktu versi diceritakan ulangn buat bocahnyaaa, Teh.

    ReplyDelete