Thursday, June 20, 2024

Aku dan Mulut Besarku (Sebuah Pemikiran)

Salah satu pertanyaan menggelitik di kepala saya adalah, kenapa sih perempuan, terutama yang sudah menjadi ibu, hobi sekali memberikan penjelasan/saran/nasihat/pembenaran tanpa diminta? Pertanyaan ini muncul bukan hanya karena kelakuan perempuan lain saja, tapi karena kelakuan saya sendiri juga. Nih ya saya ceritakan. Nanti tolong yang tahu, coba berikan jawaban di komentar ya.

“Harusnya” 

Seorang ibu teman les bahasa inggris Ragil bercerita, kemarin pulang les mata anaknya lebam kebiruan. Dia lalu menghubungi pihak pengelola tempat les untuk mengetahui penyebabnya. Jawaban yang diberikan oleh pengelola les menurut saya kurang memuaskan: kemungkinan besar, anak tersebut tidak sengaja terpukul oleh temannya yang super aktif. 

Masalahnya kedua guru les yang ada di ruangan juga tidak melihat kejadiannya. Jadi penyebab utama terlukanya anak tersebut belum diketahui. Pihak les memberikan pilihan: diusut atau tutup kasusnya. Jika ingin diusut harus melalui prosedur resmi: si ibu harus mengajukan permohonan baru nanti kasusnya diinvestigasi. Proses tersebut tentu saja memerlukan waktu yang tidak sedikit. Karena malas dan anaknya juga terlihat baik-baik saja, Ibu itu memutuskan untuk tidak melanjutkan keluhannya. 

Saya tahu, Ibu itu hanya ingin bercerita, seharusnya saya hanya perlu mengangguk-anggukan kepala saja dengan simpati. Tapi oh tidak saudara-saudara. Saya dan mulut besar saya, malah menyarankan (mendesak lebih tepat) agar ibu tersebut meminta pihak tempat les mengecek CCTV, untuk melihat kejadian yang sebenarnya. “Harusnya Mom minta lihat dulu rekaman CCTV-nya. Harusnya bisa lihat langsung dong, tanpa perlu eskalasi”, kata saya pada Ibu tersebut. Karena kan tentu saja berbahaya kalau seorang anak bisa luka tanpa tahu penyebabnya. 

Si Ibu terlihat merasa kurang enak hati mendengarkan ceramah saya (atau bisa saja sebenarnya dia kesal karena saya sok tau). Tapi sepertinya dia juga bingung mau bagaimana. Kan kemarin dia sendiri yang minta kasusnya ditutup, masa sekarang ribut-ribut lagi. Alhasil sampai kami berpisah dia masih terlihat merenung. Saya jadi merasa bersalah karena tidak menahan diri memberikan saran yang tidak perlu. 

***

Teman Mbarep tantrum saat ada acara di sekolah. Muka ibunya sudah merah padam, bajunya basah karena peluh yang bercucuran. Dengan sekuat tenaga berusaha membujuk anaknya untuk bisa tenang. Sangat mungkin si Ibu juga menahan diri untuk tidak tantrum juga. Saya paham rasanya. Beberapa kali saya ada di situasi yang sama. Walaupun tahu orang lain berusaha untuk tidak melihat (atau malah tidak peduli), tetap saja saya merasa seluruh mata memandang saya. Mengamati tindakan saya. Bahkan mungkin menilai. 

Karena saya tahu rasanya, harusnya saya bisa bersimpati dong ya. Tidak usah komentar. Apalagi berusaha membantu dengan memberikan usulan-usulan tak diundang. Karena yang paling dibutuhkan orang tua di kondisi itu jelas bukanlah tambahan gangguan. 

Tapi tentu saja tidak saudara-saudara. Saya dan mulut besar saya malah berbisik ke orang di sebelah, “Ngantuk deh itu kayaknya anaknya, harusnya tadi disuruh tidur, jangan dibiarin main terus”. Orang sebelah mengangguk-angguk. “Ayahnya mana ya? Harusnya kan Ibunya nggak datang sendiri”. 

Setelah mengutarakan komentar tersebut, sedetik kemudian saya menyesal. Kenapa saya sok tahu sekali perihal orang lain? Padahal saya sendiri tidak suka kalau ada yang sok tahu tentang saya. Diam saja kan harusnya bisa. 

***

“Harusnya” : kata yang gampang sekali diucapkan untuk “menyelesaikan” permasalahan orang lain. Tidak punya uang, harusnya kerja lebih rajin. Anak terlambat bisa bicara, harusnya diajak ngomong lebih banyak. Puyeng ngurus rumah, harusnya banyak-banyak bersyukur dan berdoa. Harga jajanan makin mahal, harusnya masak sendiri. 

Komentar dengan awalan “harusnya” juga merupakan teman akrab dari pertanyaan orak uwis-uwis yang sering diajukan oleh orang-orang. Belum hamil? Harusnya jangan tinggal jauh-jauhan dengan suami. Belum lulus kuliah? Harusnya jangan kebanyakan kegiatan. Belum nikah? Harusnya jangan pilih-pilih.

Sepengamatan saya komentar-komentar dengan kata-kata “harusnya” ini lebih sering diucapkan oleh perempuan daripada laki-laki. Bahkan sampai ada istilah momsplaining, dimana Ibu-Ibu memberikan nasihat/saran kepada ibu lain tanpa diminta. 

Kenapa Ibu-Ibu suka sengaja atau tidak sengaja memberikan nasihat tanpa diminta? Maybe its in our blood? Apakah hal tersebut adalah manifestasi dari naluri keibuan yang selalu ingin mengayomi? Sungguh saya masih gagal paham.

***

“Karena” 

Sekolah yang kami pilih untuk anak-anak kami, agak beda dengan sekolah lainnya. Selain tidak berbasis agama tertentu, sekolah tersebut juga lebih mementingkan pengembangan karakter daripada akademik. Sedemikian utamanya pendidikan karakter ini sehingga fokus pada akademik baru dimulai di kelas 4 SD (SD besar). 

Alasan utama kami memilih sekolah ini sesederhana karena kami merasa paling sreg dengan sekolah ini daripada pilihan sekolah lainnya. Titik. Tapi entah kenapa setiap kali ada yang bertanya dimana sekolah anak kami dan menanyakan alasan pemilihannya, saya merasa harus memberikan alasan lain yang lebih fancy. 

Semacam: sekolah ini kami rasa cocok dengan value keluarga kami yang mengutamakan kejujuran, keberanian, kemandirian, keadilan, serta musyawarah mufakat. Plus alasan-alasan lain yang dirasa lebih sesuai dengan teori kekinian.

*** 

Saya dua kali hamil, dua kali melahirkan dengan operasi c-section. Anak pertama memang karena ada alasan medis, sementara saat anak kedua, sejujurnya karena saya memang sudah terlalu lelah untuk mengusahakan VBAC. Tidak ada alasan lain. 

Walaupun saya terima kalau nasib yang membawa anak-anak saya untuk terlahir secara tidak alami, tetap saja saya merasa harus menjelaskan ke semua orang kenapa saya tidak melahirkan secara normal. Padahal tidak semua orang menanyakan alasannya.

***
Aneh kan? Kenapa saya merasa berkewajiban menjelaskan dengan lebih “ilmiah” untuk hal-hal yang sebetulnya sederhana saja? 

Selain memberikan nasihat tanpa diminta, saya amati perempuan terutama ibu-ibu juga sering memberikan “penjelasan tambahan” untuk menjustifikasi kondisi-kondisi kurang ideal sesuai standar masyarakat (atau netizen), pilihan yang berbeda, atau tindakan yang agak lain: anak saya belum bisa berjalan di usia 12 bulan, karena dia masih suka merangkak. Suami saya pindah kerja, karena merasa tidak cocok dengan tempat kerja sebelumnya. Adik saya naik haji duluan, karena dia punya bisnis yang maju. 

Entah kenapa perempuan terutama ibu-ibu seperti merasa punya kewajiban untuk membuat suatu kondisi yang tidak ideal jadi lebih bisa diterima. Lebih ringan. Lebih mudah dipahami. Tapi kan tidak semua jawaban perlu dijelaskan lebih lanjut. Titik saja juga bisa.

Seperti tidak semua ibu perlu menjelaskan kenapa melahirkan dengan operasi cesar, tidak semua ibu juga perlu membuat orang mengerti kenapa anaknya harus diterapi, atau tidak semua ibu juga perlu menjelaskan kenapa anaknya belum bisa berenang setelah les privat 4 bulan. 

Tidak semua jawaban harus disertai kata sambung “karena”. Karena kadang kala memang begitu saja nasibnya, tidak perlu ada penjelasan lebih lanjut. 

Maka dari itu setiap kali selesai memberikan pembenaran akan sebuah situasi, biasanya saya jadi sadar sendiri. Kenapa oh kenapa saya harus repot-repot? Sepertinya jika mendapatkan pertanyaan yang sama suami saya hanya akan menjawab seperlunya saja. Tidak seperti saya yang dengan otomatis merasa harus memberikan penjelasan tambahan. Seperti lampiran pada surat undangan.

***

Sebetulnya ini masalah saya saja atau masalah semua perempuan ya? Apakah asalnya dari diri sendiri atau memang karena ada pengaruh dari luar? 




3 comments:

  1. Wah kalau saya bawel didalam kepala saja. Saya kebalikannya. Pendiam banget wktu kecil. Ditanya pun masih juga diam. Sampai dimarah2in.
    Efek kuliah bikin sy lebih open. Lbh bisa ngomong tapi ya tetep lbh diam dari org lain.
    Pas udah nikah, Alhamdulillah, dpt suami yg ajaib. Bisa ngerti isi kepala sy walau sy ga bilang. Dia ga nuntut saya banyak ngomong spt yg dilakukan klg sy wktu sy kecil. Hal itu justru pelan2 yg membuat bawelnya saya -khas perempuan- jadi keluar hehe.
    Tp tetep ya diantara saudari2 saya, sy masih lebih kalem. Malah saya yg suka pusing dengerin mrka kalau ngomong kayak kereta dgn topik2 yg banyak macam gerbong2 kereta

    (Sistha MGN)

    ReplyDelete
  2. Oh my God. Restu, aku jadi keingetan dengan artikel yang belasan tahun lalu pernah kubaca di Kaskus. "Alasan Cewek Punya Dua Mulut" kurang lebih begitu judulnya. 😂.

    Gini nih contoh-contohnya wkwkwk. Harusnya.... harusnya... harusnya... Rasanya mulut nih sulit untuk gak komentar 🤣.

    Btw ku penasaran sama SDnya anak-anak. 🤔😍.

    ReplyDelete
  3. Harusnya, harusnya, harusnya ini yang kuucapkan pada diri sendiri, kalau buatku jadi suka bikin apa ya, overthinking yang gak ketulungan mikir skenario lain dalam hidup. Yang ujungnya jadi bikin gak bersyukur. Jadi sejenis bermulut besar pada diri sendiri hihi pusing kan :))

    Makasi Restu for bringing this up! Pengingat bamget buat gigit lidah sendiri🤣

    ReplyDelete