Keinginan yang Berubah
Waktu kecil, saya punya tiga keinginan besar. Pertama masuk ITB. Kedua tinggal di luar negeri. Ketiga traveling. Masa remaja saya penuh usaha untuk mewujudkan mimpi yang pertama. Menjadi mahasiswa di Kampus Gajah paling ternama di Indonesia. Alhamdulillah kesampaian.
Usia 20-an saya habiskan untuk menjalani impian kedua dan ketiga. Menjelajah pelosok negeri hingga khatam 32 provinsi (dulu baru ada 34 Provinsi), lalu tinggal di negara asing, dan mengunjungi berbagai tempat di benua nun jauh disana.
Masuk usia 30-an saya bingung kalau ditanya impian saya apa. Soalnya yang selalu dipanjatkan dalam doa, alhamdulillah sudah tercapai semua. Haha.
Yah sebetulnya keinginan sih ada banyak. Namanya juga manusia. Buktinya wishlist di marketplace selalu penuh. Berharap punya rezeki untuk bisa terkabul beli setiap tanggal kembar. Supaya hemat ongkir.
Hanya saja keinginan buat dapat lippen dengan diskon 75% kok rasanya terlalu cetek untuk dituliskan. Apalagi untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog. Mana saya sudah 2 bulan nggak masuk 5 besar *Lha
Akhirnya saya teringat, sesungguhnya saya punya keinginan (bukan impian) yang sudah lama saya punya:
“Menemukan passion atau minat saya yang sesungguhnya untuk bisa mewujudkan cita-cita saya"
Panjang ya. Sudah kayak pernyataan misi sekolah.
“Menemukan passion atau minat saya yang sesungguhnya untuk bisa mewujudkan cita-cita saya"
Minat bukan Bakat
Dulu zaman masih baca majalah Bobo, saya selalu terkagum-kagum pada kisah tentang anak-anak berprestasi atau bertalenta. Paling teringat adalah cerita tentang anak yang memenangkan lomba gambar yang diadakan oleh suatu maskapai penerbangan, lalu gambarnya dicetak di badan pesawat.
Konon menurut para ahli, setiap manusia pasti punya bakat utama. Hal yang bisa dilakukan lebih baik daripada rata-rata orang-orang lain. Sayangnya hanya sedikit sekali yang beruntung bisa menemukan bakat utamanya. Dari yang sedikit itu lebih sedikit lagi yang bisa memanfaatkannya secara maksimal. Wajar, karena yang namanya bakat bisa sesepele mampu memasukkan benang ke jarum tanpa dijilat.
Saya termasuk orang yang tidak menemukan bakat saya yang utama sampai sekarang. Mungkin karena tidak ada kesempatan mencoba berbagai hal (Bapak Ibu saya, seperti kebanyakan orang tua di eranya, punya prinsip: apapun bakatmu, belajarlah yang rajin, supaya besar bisa jadi pegawai negeri), mungkin karena bakat utama saya sedemikian randomnya, atau saya tidak sadar yang saya lakukan adalah bakat.
Menurut orang-orang, saya berbakat di pekerjaan saya yang sekarang, yang isinya mengorganisir orang dan kegiatan. Tapi buat saya, yang saya lakukan, biasa-biasa saja, dalam artian tidak ada yang terlalu istimewa. Semua orang juga bisa, kalau ada di posisi saya.
Untungnya, sampai sekarang saya tidak pernah menyesal tidak menemukan bakat saya yang utama. Karena bakat, yang saya pahami, tidak selalu berbanding lurus dengan passion (minat), kesuksesan, apalagi kebahagiaan.
Albert Einstein juga kan bilang, jenius itu 1% bakat dan 99% kerja keras. Walaupun punya IQ 185 jelas membantu sih. Soalnya, kalau orang biasa macam saya ini, mau sekeras apapun saya bekerja, sampai guling-guling sekalipun, kemungkinan besar saya tidak akan pernah menemukan teori yang layak dipahat di batu atau dipajang di dinding kota. Salah-salah yang keluar malah teori konspirasi yang memicu gosip tetangga.
Quote lain dari Albert Einstein. Dia berhasil karena punya passion. Bukan karena bakatnya.
(Sumber: twitter wonderof science)
Intinya sih, di usia segini, saya sudah tidak mencari-cari bakat utama saya. Karena menurut saya nggak ada gunanya. Haha. Misalnya ternyata bakat utama saya adalah jadi pawang Gajah di savana Tanzania atau punya kemampuan adu jempol yang mumpuni sampai bisa jadi juara dunia, terus kenapa? Kan bukan berarti saya harus pindah ke belahan dunia lain atau berlatih adu jempol sepanjang hari hanya agar bakat saya tersalurkan.
Makanya buat saya sekarang lebih penting menemukan minat saya daripada bakat saya yang utama. Karena di usia yang hampir 40 tahun ini, buat saya, melakukan hal yang saya senangi lebih penting daripada yang saya kuasai.
Cita-Cita Tanpa Usaha
Ada beberapa hal yang sering saya pikirkan untuk fokus dilakukan. Salah satunya, yang paling sering saya angankan, adalah jadi kolumnis seperti Umar Kayam, yang esainya dulu setiap hari dimuat di surat kabar. Karena salah satu hobi saya adalah mengamati dan menganalisi orang atau situasi, saya ingin membuat kolom opini seperti ScaryMommy, Vox, The Atlantic, dan sebagainya, tapi dengan sentuhan cerita sehari-hari seperti gaya Umar Kayam agar lebih mudah dipahami. Bagaimanapun masyarakat Indonesia masih "belum ramah" terhadap opini.
Buku karrya Umar Kayam: Mangan ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Bondho, dan Madhep Ngalor Sugih,-Madhep Ngidul Sugih, yang berisi kumpulan esainya yang diterbitkan di Harian Kedaulatan Rakyat, merupakan tiga buku favorit saya waktu kecil (Sumber: kagama.co)
Sayangnya cita-cita tersebut (dan beberapa cita-cita lainnya), tidak diikuti dengan usaha untuk mewujudkannya. Berputar-putar saja di kepala. Terngiang-ngiang di telinga. Tidak dimulai karena terhempas lebih dulu oleh berbagai alasan.
Makanya saya berpikir jangan-jangan minat saya bukan kesana. Jangan-jangan cita-cita yang saya angankan itu bukan yang saya inginkan. ATAU cita-citanya sudah sesuai, tapi cara yang saya tau untuk mencapai cita-cita tersebut tidak sesuai minat saya.
minat/mi·nat/ n kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu; gairah; keinginan.
Saya punya keinginan, tapi saya tidak punya kecenderungan hati yang tinggi terhadap keinginan tersebut. Makanya saya tidak berusaha. Tidak seperti waktu saya berusaha mewujudkan impian masa kecil saya. Dimana secara sadar maupun tidak, saya bela-belain usahakan agar terwujud. Karena memang ingin. Karena memang minat.
Hal ini yang menjadi alasan saya untuk menemukan minat saya, supaya bisa mencari tahu cita-cita saya, dan atau cara untuk mewujudkan cita-cita saya.
Jangan-jangan sebetulnya minat saya adalah memikirkan segala hal. Bukan mewujudkannya.
Harusnya saya masuk jurusan filsafat kayak Dian Sastro. Biar jadi filsuf sekalian.
Albert Einstein juga kan bilang, jenius itu 1% bakat dan 99% kerja keras. Walaupun punya IQ 185 jelas membantu sih. Soalnya, kalau orang biasa macam saya ini, mau sekeras apapun saya bekerja, sampai guling-guling sekalipun, kemungkinan besar saya tidak akan pernah menemukan teori yang layak dipahat di batu atau dipajang di dinding kota. Salah-salah yang keluar malah teori konspirasi yang memicu gosip tetangga.
Jangan-jangan sebetulnya minat saya adalah memikirkan segala hal. Bukan mewujudkannya.
Harusnya saya masuk jurusan filsafat kayak Dian Sastro. Biar jadi filsuf sekalian.
Perlu Pemikiran
Di internet bertebaran berbagai cara untuk menemukan passion. Semuanya, kalau saya simpulkan, berputar pada mengenali diri sendiri. Orang yang mengenali dirinya lebih mudah menemukan minatnya. Jadi sepertinya saya belum menemukan minat saya, karena saya belum memahami diri sendiri. Literasi diri saya masih kurang. Padahal literasi diri, kalau menurut Kepala Sekolah anak saya, seharusnya sudah harus dikuasai di usia 21 tahun. Supaya ketika masuk ke dunia luar, sudah paham dengan dirinya. Supaya bisa menavigasi diri dengan lebih percaya diri di dunia luar. Tidak terombang-ambing. Seperti saya.
Sudah hampir selesai masa 30 tahun saya. Periode saya terombang ambing tanpa tahu tujuan setelah menggapai impian masa kecil di usia 20-an. Mungkin sudah saatnya saya mulai lebih serius mencari cita-cita yang bisa diwujudkan. Sebelum penyesalan datang.
Memenuhi keinginan untuk mewujudkan cita-cita. Cita-cita-ception.
Sungguh bakat saya, yang sudah saya sadari sejak lama, adalah cocokologi.
Sudah hampir selesai masa 30 tahun saya. Periode saya terombang ambing tanpa tahu tujuan setelah menggapai impian masa kecil di usia 20-an. Mungkin sudah saatnya saya mulai lebih serius mencari cita-cita yang bisa diwujudkan. Sebelum penyesalan datang.
Sungguh bakat saya, yang sudah saya sadari sejak lama, adalah cocokologi.
Aku suka teh konsep Scary Mommy. Tapi untuk menulis terbuka demikian dengan opini memang harus berani. Harus juga punya gaya tulisan kuat. Yuuk semoga bisa lagi ada tulisan demikian di web MGN
ReplyDeletePart terberat menurutku sih emang mengenali diri sendiri 🤣🤣
ReplyDeleteAamiin ... Teh Restu semoga tercapai keliling Indonesianya.
ReplyDeleteAlhamdulillah alhamdulillah, banyak keinginan Mamah Restu yang sudah dicapai. Sebeng banget mengetahuinya, Restu. Ku terkagum-kagum, keren banget ya Restu. :)
ReplyDelete"Sungguh bakat saya, yang sudah saya sadari sejak lama, adalah cocokologi." wkwkwk Restu bisa aja, tapi cocoklogi perlu ilmu tersendiri lho. Legit bakatnya, Mah Restu ehehe. :)
Dan ku sependapat dengan ini, "Karena bakat, yang saya pahami, tidak selalu berbanding lurus dengan passion (minat), kesuksesan, apalagi kebahagiaan." :)
Aku jadi teringat saat menyadari kl sptnya aku lbh berbakat menemukan orang berbakat nulis ketimbang menulis itu sendiri. Krn udah bbrp kali ngajakin orang ikut kompetisi nulis, eh dianya langsung menang. Atau di-mention. Sedangkan aku yg udah rutin ikut harus puas tercatat sbg peserta saja! 😂
ReplyDeleteTapi tos dulu untuk "wishlist di marketplace selalu penuh"! 😂😂
Kenapa sih baca tulisan Restu selalu banyak bikin ngakaknya. Mungkin dikau berbakat bikin tulisan lucu. Siapa tahu kalau diseriusin bisa sekelas penulis My Stupid Boss atau Raditya Dika.
ReplyDeleteSoal mencari minat dan bakat, dulu jamanku sekolah, anak-anak (terutama ortunya) suka nyuruh ngikutin tes minat bakat. Macem-macem deh tipenya, bayarnya juga gak dikit. Padahal dulu pas ikut tes aku juga udah mulai menyadari, itu kan palingan berdasarkan statistik atau ilmu psikologi yg gak selalu cocok sama semua orang. Sampai-sampai aku suudzon, jangan-jangan tes kayak gitu cocoklogi doang wkwk
ReplyDeleteTeh Restu punya kemampuan buat tulisan yang enak dibaca dan lucu, lho. Ini aku vote ya 😁
Teh Restu ni.. bacanya kenapa saya kayak ga napas ya haha. Berasa kayak lagi ketemuan berdua teh Restu dan dengerin ceritanya.
ReplyDeleteSaya ngekek pas bagian disuruh jadi pintar untuk jadi pns hahaha. Iya banget ngapa si itu jd template cita2 ortu jaman dulu.
Keren bgt teteh cita2 usia remaja-20nya. Saya jujur baru mulai mengenal diri ya pas kepala 3. Rasanya kayak saya tuh punya kepribadian baru, instal ulang. Jadi ya bnyk lupa juga
Wah...keren udah ke 32 propinsi. Aku 10 aja belum kayaknya...
ReplyDeleteBener banget nih...cocoklah. Sekarang aku ya cenderung melakukan yang paling disenangi aja, bukan yang paling dikuasai...
Hahaha… memasukkan benang ke jarum tanpa dijilat. Kok bisa kepikiran ini menjadi sebuah keinginan ? Hahaha… ngakak saya.
ReplyDeleteOk, semoga bisa ketemu minat dan bakatnya ya
Yang penting, jalani semua dengan penuh rasa syukur aja ya.
Perasaan kemarin pas ketemu ngobrolnya serius-serius nggak pakai ngelucu, tapi tulisan teh Restu selalu sukses bikin senyum2 bin ngikik sendiri. Mungkin bakatnya emang arahnya ke filsuf dan cocokologi, jadinya ya bisa bikin tulisan yang selalu mengena ke banyak pembaca. Semoga tercapai cita-cita ceptionnya dan berhasil jadi kolumnis opini yang diterima pembaca.
ReplyDeleteSemangat Teh Restu untuk cita-cita ceptionnya. Kalau masyarakat Indonesia belum terlalu ramah Opini, apa mungkin takdir memutuskan untuk berputar ke tempat yang lebih ramah? #Ehehehe
ReplyDelete