Mencari Pertolongan
Sebetulnya saya tidak begitu tertarik dengan buku-buku self help. Buat saya, untuk buku non fiksi, lebih menarik baca buku biografi atau antologi seperti seri Chicken Soup for The Soul. Soalnya saya lebih suka dengar cerita orang daripada digurui begini begitu (ups).
Tapi beberapa waktu lalu, ketika saya merasa mentok menghadapi bocah-bocah di rumah, saya coba-coba cari insight dari buku self help. Soalnya saya perlu sesuatu yang praktikal. Bisa dicoba saat itu juga dan tidak ribet.
Sebetulnya berbagai tips parenting banyak bertebaran di media sosial. Bisa langsung dipraktikan juga kalau berniat. Tapi karena format sosial media singkat, kebanyakan isinya cuma pointer atau kata-kata bijak saja. Harus diinterpretasikan dulu, diambil hikmahnya baru dipraktikkan. Kalau mau lengkap biasanya diarahkan ikut kelas. Nah, karena saya merasa perlu step to step, tapi malas ikut kelas, saya pilih baca buku saja.
Akhirnya setelah cari-cari, pilihan saya jatuh pada buku berjudul : "How To Talk So Little Kids Will Listen (A Survival Guide To Life With Kids Age 5-7)" karangan Joana Faber dan Julie King. Saya pilih buku ini karena merasa cara komunikasi saya dengan anak-anak, yang dua-duanya berusia dini, masih kurang tepat. Buku ini saya beli dalam format Kindle. Untung Kindle saya masih nyala walaupun sudah 2 tahun dianggurin. Hiks.
Sebelum beli, saya download sample-nya. Sekilas isinya cukup to the point. Sebagian besar adalah contoh kasus dan anekdot. Bentuk tulisannya juga cukup unik, seperti manuskrip workshop/seminar. Jadi ketika membaca rasanya ya seperti sedang ikut acaranya.
Tentang Buku "How To Talk So Little Kids Will Listen"
Saya menghabiskan buku ini dalam waktu seminggu. Cukup singkat mengingat buku lain biasanya baru selesai berbulan-bulan kemudian. Terdiri dari 2 bagian, bagian pertama buku ini menjelaskan mengenai tools yang digunakan untuk bicara kepada anak, sementara bagian duanya adalah tentang contoh penggunaan tools tersebut dalam kasus-kasus yang umum dihadapi orang tua anak usia 5-7 tahun.
Setelah selesai baca bukunya, saya menyimpulkan kalau isi buku ini ya... begitu-begitu saja. Haha. Seperti banyak quote-quote parenting yang beredar di dunia maya. Cuma bedanya disini penjelasan setiap aksi runut dan lengkap. Tidak terlalu banyak teori dan gimmick, apalagi ancaman. Contoh kasusnya juga cukup relatable buat orang tua biasa-biasa saja macam saya.
Si penulis menggambarkan "berbicara dengan anak" sebagai battle sementara tools yang digunakan dianggap sebagai adalah alat perang. Cocoklah sama pemikiran saya. Inti dari tools yang dipakai adalah menempatkan diri di posisi anak. "Kalau lo nggak mau digituin, jangan gitu sama orang", itu kalau kata orang betawi. Empati, empowering, problem solving, habladi hablada same old stuff lah.
Waktu baca contoh-contohnya, dengan optimis saya langsung tertarik ingin mencoba. Soalnya kayaknya gampang. Akhirnya semingguan kemarin, setiap kali selesai baca 1 bab, saya langsung praktik. Sampai suami saya bingung. Soalnya saya mendadak jadi lebih mau ngeladenin anak-anak kalau sedang pada pikasebeleun. Biasanya cuma 5 menit tanduknya langsung keluar. Sama-sama tantrum kayak anaknya.
Cerita Praktik Self Help
Tapi bukan berarti buku ini juga langsung jadi penyelamat saya ya. Namanya juga coba-coba. Ada berhasil ada gagal. Ini saya ceritakan beberapa pengalaman saya mempraktikan apa yang disampaikan di buku ini. Cukup efektif walaupun terkadang agak salah kaprah:
Mbarep Menolak Belajar Baca
Kami tidak memaksa anak sulung kami, Mbarep, bisa baca di umurnya yang sekarang. Cuma kadang dia penasaran dengan deretan huruf yang dilihatnya. Kalau sudah begitu kami suruh dia mencoba buat baca tulisan tersebut. Masalahnya, hal ini seringkali berakhir dengan Mbarep nangis-nangis, karena kesal sendiri nggak bisa-bisa dan memilih untuk kabur sebelum selesai mencoba.
Suatu hari setelah baca tentang tools problem solving, saya langsung mencoba praktik dengan Mbarep. Harapannya tentu saja, Mbarep bisa menemukan ide untuk memecahkan masalah dia sendiri soal mencoba baca.
Suatu hari setelah baca tentang tools problem solving, saya langsung mencoba praktik dengan Mbarep. Harapannya tentu saja, Mbarep bisa menemukan ide untuk memecahkan masalah dia sendiri soal mencoba baca.
Step By Step nya sudah jelas. Kenyataan di lapangan belum tentu seindah bayangan (1).
Saya: "Mas, kenapa kamu kalau disuruh baca selalu marah-marah?"
Mbarep: "Soalnya aku nggak suka baca tulisan yang lebih dari 4 huruf"
Saya: "Ooh, susah ya?"
Mbarep: "Iya otak aku tuh muter-muter kalau baca tulisan yang panjang"
Saya: "Bingung maksudnya?"
Mbarep:" Iya... kenapa sih tulisan itu harus ada yang panjang-panjang? Kenapa nggak 4 huruf aja semua?"
Saya: "Ya kata-kata kan banyak yang kalau ditulis perlu lebih dari 4 huruf. Kalau ditulis cuma 4 huruf aja jadi nggak lengkap. Misalnya kamu mau bilang -burung kakak tua hinggap di jendela-, tapi yang ditulis cuma -buru kaka tua hing di jend-, kan jadi bingung ya?"
Mbarep: ...
Saya: "Nah, jadi menurut kamu gimana caranya supaya kamu nggak marah-marah kalau disuruh baca?"
Mbarep: "Aku tau! kalau ada tulisan, aku pura-pura nggak lihat aja, kan aku nggak disuruh baca jadi nggak usah marah-marah!"
Ide brilian Mas!kenapa Ibu nggak kepikiran ya?!
Ragil Tidak Berminat Ke Kamar Mandi
Anak bungsu saya, Ragil, hobi banget nahan buang air. Baik kecil maupun besar. Buang air kecil sih nggak begitu masalah, jagoan dia kalau soal itu. Hal yang jadi masalah adalah kalau dia mau BAB. Udah macam orang mau lahiran. Nunggu bukaan lengkap dulu di pojok ruangan, baru setelahnya terbirit birit lari ke kamar mandi. Cuma kan laju kecepatan jatuhnya kotoran seringnya tidak sebanding dengan kecepatan lari dia, jadi kecelakaan kadang tak terelakkan.
Mumpung habis baca bab tentang be playful, langsung saya praktikkan saat Ragil nampak kebelet. Harapannya dia dengan sukarela mau duduk di toilet menunggu panggilan alam daripada jongkok di pinggir ruang makan.
Mumpung habis baca bab tentang be playful, langsung saya praktikkan saat Ragil nampak kebelet. Harapannya dia dengan sukarela mau duduk di toilet menunggu panggilan alam daripada jongkok di pinggir ruang makan.
Saya: " Adek Sakit perut?"
Ragil: "Enggak", muka tegang.
Saya: "Eh, kayaknya ada monster e*k di perut kamu mau keluar. Ayo cepet kita ke kamar mandi, supaya monsternya nggak keluar duluan. Kan ngeri". Ragil menatap saya.
Ragil: "Enggak", muka tegang.
Saya: "Eh, kayaknya ada monster e*k di perut kamu mau keluar. Ayo cepet kita ke kamar mandi, supaya monsternya nggak keluar duluan. Kan ngeri". Ragil menatap saya.
Ragil: "Ibu...masa di perut aku ada monster? Monster kan nggak ada. E*k itu kan kotoran. Asalnya dari makanan. Bukan monster tau! Ibu ini ngarang-ngarang aja."
Ya deh, sak karepmu dek!
Penutup
Jadi bagaimana, apakah buku self help pertama yang saya baca cukup membantu? Ya lumayanlah. Buku ini jadi salah satu pegangan saya untuk menghadapi anak-anak. Paling tidak kalau saya bingung, ada sesuatu yang bisa dicoba, walaupun harus buka Kindle dulu dan cari chapter yang tepat. Mungkin harus lebih sering latihan saja biar lama-lama hapal tekniknya.Tulisan ini dibuat untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Februari 2023 dengan Tema Buku yang Berpengaruh.
Teh, aku sangat terhibur 😄😄😄 Jawaban anak2 teh restu cerdas semua. Harusnya ada buku "How to Talk So Intelligent Kids Will Listen (And Never Deny)"
ReplyDelete:)) kita harus lebih cerdas mengakali anak teh! Harus lebih kreatif to get what we aim, hihihi
ReplyDeleteMbarep dan Ragil yang keren ... Ibu jadi mati gaya deh! Ini tanda anak-anak kreatif teh Restu ... Aku pun berhadapan dengan 3 anak yang jago ngeyel ha3 ... jadi stok sabarnya dibanyakin aja : pernah sih aku candain mereka untuk bantu belikan 'sabar' di pasar atau di mini market ...
ReplyDeletesalam semangat
Aku pun akan speechless denger anak menjawab begitu… wkwkwkwk
ReplyDeleteTapi ya namanya anak-anak. Ada aja ceritanya yang lucu-lucu
Teehh aku penasaran banget sama buku ini, mau beli maju mundur haha.. pas baca review teteh jd fix lah pengen beli >.< nuhuun teeh
ReplyDeleteBaca buku self-help itu memang rahasianya harus pas lagi butuh aja. Bahkan bila perlu bacanya juga nggak perlu lengkap dari awal sampai akhir kalau berdasarkan pengalamanku. Asal sudah pernah skimming dan tahu apa saja poin-poin yang dibahas dalam buku tersebut, tinggal pas kepentok masalah baru deh buka bagian yang diperlukan dan dibaca. Kalau nggak gitu, rasanya sulit untuk bisa mempratekkan buku-buku self-help yang penuh teori dan pengalaman berbagai macam orang.
ReplyDeleteWkwkwkwkwk. Ya ampun Nak Mbarep dan Nak Ragil, anak kok pinter pinter amat ya, bikin Mamanya tidak berkutik wkwkwkwk.
ReplyDeleteKecerdasan anak tuh menurun dari sang ibu kan ya, hhmmm brati........ Ehehehehe.
Selamat menikmati journey ini ya Mamah Restu. :)
Hahaha 😂 meuni cerdas anak2nya teh. Menurut saya ini bukunya berhasil ke teteh deh. Kayak yang mudah untuk dipraktekkan. Cuma respon "klien" yang tidak terduga yaa bisa jadi ujian tersendiri hihi
ReplyDeleteHahaha karna praktek kadang tak seindah teori 😂
ReplyDelete