Tentang Pilihan Sekolah
Setahun yang lalu kami mencari sekolah untuk Mbarep. Karena kami tau karakternya, kami cukup hati-hati dalam memilih sekolah untuknya (dan adiknya nanti). Bagaimanapun perjalanan akademik yang sangat panjang bagi Mbarep baru akan dimulai. Kami tentu ingin dia menikmatinya. Sebagai orang-orang yang juga berkecimpung di dunia akademik, dan cukup punya pengalaman memperhatikan mahasiswa-mahasiswa zaman now dengan berbagai permasalahannya, kami ingin Mbarep punya dasar yang kokoh dan baik sebelum dia masuk ke dunia akademik yang sebenarnya.
Seperti dikatakan selalu dalam nasihat-nasihat agama: adab dulu sebelum ilmu. Agar kedepannya dia punya kesadaran bahwa belajar adalah untuk dirinya sendiri dan dia tau apa yang dia mau. Tidak terjebak melekatkan jati diri pada hal-hal trivial, seperti title pintar, juara kelas, atau like di social media. Supaya tidak terombang ambing dalam kehidupan yang semakin lama mungkin akan semakin penuh godaan yang menyesatkan. Selain itu kami harap dia juga bisa membawa dan menempatkan diri di setiap kesempatan. Sadar sepenuhnya bahwa dunia tidak berputar mengelilingi dia.
Ketika kami memilih sekolah Mbarep yang sekarang, ada beberapa orang dekat yang bertanya-tanya. Kenapa tidak begini, kenapa tidak begitu. Kami termasuk yang beruntung punya cukup privildge untuk memilih sekolah bagi anak-anak. Makanya saat kami memilih sekolah yang "tidak biasa", kami sempat mendapatkan tantangan dari orang-orang terdekat. Utamanya karena sekolah yang kami pilih tidak berdasar pada agama kami, agama Islam.
Tentu bukan kami tidak mempertimbangkan aspek tersebut. Bagaimanapun kami juga ingin Mbarep nantinya punya dasar agama yang kuat. Karena hal itu juga penting dalam untuk kehidupannya kelak. Tapi buat kami, membuat Mbarep tertarik pada belajar, jauh lebih penting sekarang. Karena sesungguhnya dengan watak Mbarep yang acuh tak acuh, membuat dia tertarik saja sudah sebuah effort ekstra tersendiri. Kami sudah pernah sedikit mencoba mengajak Mbarep belajar saat pandemi, tapi usaha kami malah berhasil membuat dia alergi dengan kata "belajar". Sampai setiap kali kata itu muncul reaksi yang timbul adalah linangan air mata dan penolakan keras. Entah kenapa trauma sekali. Hingga kamipun sadar perlu bantuan orang lain yang lebih punya kepakaran. Maka dengan segala pertimbangan tersebut kami mantap menyekolahkan Mbarep (dan adiknya nanti) di sekolah Mbarep yang sekarang.
Supaya Tidak Drama
Sebetulnya di setiap pilihan orang tua pasti ada sisi egoisnya. Walaupun dibalut dengan demi kebaikan si anak. Pilihan egois di balik pilihan kami akan sekolah Mbarep, adalah kami malas membujuk dia agar mau berangkat sekolah setiap hari. Kami ingin dia setiap hari bangun dan memilih sendiri untuk berangkat sekolah. Bukan kenapa-kenapa sih. Lelah saja berantem apalagi pagi-pagi. Bisa rusak mood semua orang seharian. Alhamdulillah selama satu semester dia selalu bersedia pergi. Walaupun tentu tidak selalu dengan riang gembira dan semangat membara. Paling tidak, bebas dari drama pagi hari.
Setiap hari kami memberikan pilihan ke anak-anak apakah akan berangkat sekolah atau tidak. Tentu dengan penjelasan berbagai konsekuensinya. Bukan hukuman tentu saja, melainkan konsekuensi natural seperti kebosanan dan tidak dapat jatah screen time. Karena di sekolah pasti lebih ada yang bisa dikerjakan daripada berdiam di rumah. Screen time di rumah juga hadiah untuk anak-anak yang sudah melakukan sesuatu (belajar, beres-beres, tidur siang, dll). Makin lama mereka makin paham konsekuensi tersebut. Jadi walaupun kadang-kadang ada juga ngambek-ngambek sedikit, Mbarep selalu mau masuk sekolah. Daripada tidak dapat hadiah nonton Youtube π
Bukan Belajar Tapi Bermain
Terlepas dari motivasi yang dimiliki Mbarep untuk sekolah, minimnya drama tentu tidak lepas dari peran sekolah memberikan kegiatan yang menarik dan lingkungan yang nyaman. Kalau kata keset jadul, welcome. Mbarep nampak happy ada di sekolahnya. Walaupun tentu saja tidak selalu dengan riang gembira. Sekali dua kali pastilah ada drama. Namanya juga hidup bersosialisasi. Tapi semakin kesini kami merasakan emosinya menjadi lebih stabil. Walaupun rengekan masih sering muncul tapi paling tidak dia sudah tidak terlalu sering tantrum. Kalaupun marah-marah durasinya lebih sebentar, nampak lebih mudah meregulasi emosi, dan semakin paham negosiasi. Mungkin sudah besar juga ya.
Kalau sudah begini, kami bersyukur tidak memaksakan Mbarep untuk masuk sekolah di umur yang lebih muda, seperti saya dan ayahnya yang memulai pendidikan formal masing-masing di usia 3 tahun. Karena di usia 5 tahun dia memang sudah lebih siap "belajar" daripada sebelumnya. Walaupun tentu saja, karena prinsip pendidikannya di sekolahnya, kegiatan belajar sehari hari betul-betul adalah bermain. Memang masih umurnya. Memang sudah kodratnya.
Setiap pulang sekolah, kami selalu bertanya kepada Mbarep, "main apa di sekolah"? . Kadang dia mau menjawab dengan semangat, kadang sekenanya saja. Tapi ada masanya juga dia cerita dulu tanpa diminta. Masih di parkiran juga sudah nyerocos. Meskipun seringnya tercampur-campur antara fiksi dan fakta. Karena kalau semuanya nyata, maka sekolahnya betul-betul adalah markas alien dengan berbagai ruangan rahasia. Alhasil seringnya kegiatan dia di sekolah masih jadi misteri bagi kami. Untungnya guru-gurunya gercep kalau ditanya apa yang terjadi sebenarnya. Haha.
Mbarep dan Teman-Teman
Mungkin mewarisi sifat Ibunya yang susah menghapal nama, ditambah sifat ayahnya yang cuek bebek, Mbarep juga tak hapal nama teman-teman sekelasnyanya sampai sebulan setelah dia masuk sekolah. Saat pulang, anak-anak di kelasnya punya kebiasaan dadah-dadah sambil menyebutkan nama teman yang didadahi. Sampai sekitar sebulan di awal sekolah, Mbarep tidak pernah membalas dadah-dadah, atau mau dadah-dadah tapi tanpa suara. Sebetulnya saya sempat khawatir dia nggak hapal-hapal nama temannya karena dia tidak bisa berteman.
Seperti saya yang tidak begitu pintar mencari kawan π
.
Tapi ternyata kata gurunya dia baik-baik saja. Mau main dengan semua orang. Walaupun tidak selalu bisa memanggil nama dan kadang lebih memilih untuk asyik sendiri seperti yang sering dia lakukan di rumah. Hal yang tidak disangka, Mbarep bahkan punya
bestie! Sampai dia sudah berencana mengundang teman akrabnya itu ke rumah untuk merayakan ulang tahunnya nanti. Sungguh suatu kemajuan kalau dibandingkan dengan saya yang
sampai kuliah tidak punya teman akrab. Haha. Mungkin di tubuh dia campuran sifat neneknya yang pintar bergaul dan
almarhum eyang kakungnya yang punya banyak teman, cukup dominan.
Sekali waktu kami pernah ikut kegiatan di sekolahnya. Acaranya bermain bersama orang tua dan pertunjukan kelas. Mbarep mau mengikuti kegiatan bersama, tapi memang nampak sering lebih menikmati penjelajahannya sendiri. Manjat sana sini. Lari sana sini. Memisahkan diri dari kelompok teman-temannya. Sesaat saya khawatir dia akan kabur saat giliran kelasnya untuk tampil. Karena saat yang lain sudah berbaris, Mbarep masih entah ada dimana. Tapi ternyata saat barisan masuk panggung dia sudah ada di dalamnya.
Saya perhatikan sih guru-gurunya tidak ada yang harus memanggil-manggil dan menggiring dia ke dalam barisan. Dia juga bisa dengan baik menuntaskan perannya untuk tetap tinggal di panggung dan tampil sampai selesai tanpa ada yang mesti membujuk-bujuk. Melihat hal tersebut, saya cukup berharap artinya Mbarep sedikit demi sedikit mulai paham kapan saatnya dia boleh kabur dan kapan harus memenuhi "tugas"nya untuk ikut kegiatan berkelompok. Semoga, dengan bertumbuhnya kesadaran tersebut, lama kelamaan kesadaran Mbarep untuk bisa menempatkan diri juga bisa semakin berkembang. Karena menurut kami kemampuan ini salah satu yang akan sangat penting untuk dia kuasasi.
Mbarep dan Rasa Bersalah
Entah apa sebabnya, atau nurun darimana, anak sulung kami ini takut sekali akan kesalahan. Kesalahan di sini bukan berbuat salah seperti melawan perintah terus takut dimarahi, tapi lebih ke menyampaikan hal yang salah atau keliru dalam menjalankan instruksi lalu sedih amat sangat saat dikoreksi. Seperti kepercayaan dirinya langsung hancur karena salah. Padahal dari kecil kalau dia menyampaikan hal yang salah, atau salah memahami instruksi, ya kami kasih tahu yang betulnya saja. Dikoreksi pelan-pelan tidak pernah dimarahi. Lha gimana manusia kan memang tempatnya khilaf dan salah π
Saking dramanya kalau dikoreksi, Mbarep seperti punya mental block kalau diminta belajar. Padahal ya belajarnya juga sambil main-main saja. Kejadian yang paling sering, dia nangis-nangis kalau ditanya huruf dan angka. Karena sudah waktunya dia mulai tahu juga kan. Padahal nanyanya juga di kondisi santai, bukan seirus disuruh mengeja atau baca. Kalau tidak ditanya dia juga sudah hapal semuanya. Tapi nangis-nangisnya kayak disuruh mengerjakan soal Kalkulus III. Sampai kami bingung, ini bocah sebetulnya kenapa. Apa dia punya OCD atau mungkin sifat perfeksionis, atau jangan-jangan dulu waktu bayi pernah traumaπ
Misalnya usia 6 bulan di daycare-nya disuruh mengeja.
Dari cerita-cerita gurunya, di sekolah yang sering muncul sebagai manifestasi rasa takut pada kesalahan ini ada pada sikapnya menghadapi konflik dengan teman-teman. Memilih untuk kabur daripada menghadapi perasaannya sendiri. Seringkali dia kewalahan sampai harus khusus ditenangkan. Apa dia punya anxiety? atau salah satu dari kami tanpa sadar juga menampilkan sikap takut salah? Tak tahulah, semoga kedepannya kami bisa lebih paham mengenai hal ini.
Mbarep dan rasa bersalah ini masih jadi PR yang penting buat kami orang tuanya. Karena kami khawatir mental block yang ditunjukannya saat takut salah akan menghambat dia belajar mengenai hal apapun. Bukan hanya akademik. Tapi pada semua hal yang dia anggap tidak/belum dia kuasai. Padahal bagaimana bisa menguasai sesuatu kalau tidak pernah salah kan ya?
Jadi fokus kami sekarang adalah menumbuhkan kepercayaan dirinya untuk belajar hal-hal baru. Mungkin kalau dia tahu bahwa salah itu tidak masalah, perlahan-lahan dia bisa melepaskan ketakutannya pada hal tersebut.
Gara-Gara Mr. Comprang Campreng
Satu hal yang menonjol, semenjak masuk sekolahnya, kemampuan imajinasi Mbarep semakin berkembang. Mungkin karena di sekolahnya pembelajaran juga banyak dilakukan melalui dongeng dan ajakan untuk berimajinasi. Masalah muncul karena Mbarep hobi sekali dengan semua hal berbau perang. Senjata, kendaraan perang, prajurit, dan sebagainya. Mainan kesukaannya adalah figur tentara-tentara plastik jadul. Hobinya membuat kastil dan benteng dengan mainan block. Channel yang dia tonton di Youtube biasanya juga tentang hal-hal tersebut (termasuk channel Mr. Comprang Campreng), walaupun tidak selalu. Permainan offline yang paling dia sukai adalah catur dan kartu Pokemon. Tentu saja karena ada strategi "perang"nya. Mbarep bahkan betah bermain sendiri selama berjam-jam hanya menggunakan kedua tangannya, menciptakan skenario pertempuran.
Karena saya tidak paham betul hobi anak laki-laki, saya menyerahkan pengawasan mengenai urusan perang ini kepada suami. Ayahnya Mbarep, yang juga hobi perang-perangan waktu kecil, menganggap kelakuan Mbarep masih wajar. Tak heran, karena saat zaman ayahnya kecil, hobinya juga berjam-jam berkutat dengan koleksi mainan GI Joe miliknya. Sehingga menurutnya, dia cukup paham tentang apa yang membuat Mbarep tertarik pada topik perang dan pertempuran. Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Jadi selama masih dinilai age appropriate, ayahnya membiarkan Mbarep melakukan apa yang dia suka.
Masalahnya, Mbarep dan ayahnya ternyata berbeda. Ayahnya, yang tidak punya imajinasi sekuat Mbarep dan cenderung penyendiri, tidak kepikiran untuk mengungkapkan hobinya soal perang di depan umum. Sementara Mbarep, yang suka tenggelam dalam pikirannya sendiri, sering tanpa sadar bermain perang-perangan di sekolah dan menunjukkan tindakan-tindakan yang bisa dianggap menjurus kepada kekerasan. Seperti memukul, mencekik, mencubit, dsb. Walaupun tidak parah tapi sempat menimbulkan beberapa konflik. Paling gawat ketika kelakuannya jadi ditiru anak-anak lain. Anak-anak lain yang tadinya tidak tahu sama sekali tentang perang, mulai ikut-ikutan tembak-tembakan π Bisa digeruduk emak-babe lain nih kita.
Saat sesi obrolan dengan gurunya dan psikolog, kami orang tuanya diminta untuk bekerja sama mengalihkan minat Mbarep ke hal lain. Hal yang wajar menurut kami ternyata tidak sesuai dengan nilai-nilai di sekolahnya. Mbarep dinilai terpapar hal yang tidak sesuai dengan umurnya. Utamanya kekerasan. Karena kami, tentu saja, tidak mau Mbarep jadi biang kerok kekacauan di kelas, apalagi kalau sampai kelakuannya mempengaruhi, mengganggu, atau menyakiti orang lain, kami putar otak mencoba menyelesaikan masalah ini. Berbagai hal kami lakukan. Mulai dari menyaring tontonan yang dianggap memantik ide berbau kekerasan, hingga mencoba mengarahkan konteks ketertarikannya terhadap perang ke hal-hal yang lebih positif seperti sejarah. Karena kalau sama sekali dilarang sepertinya tidak realistis juga.
Hal utama yang kami mau lagi-lagi adalah Mbarep tahu menempatkan diri. Jadi fokus kami ada pada memberikan pemahaman kepada Mbarep untuk memisahkan urusan main di sekolah dengan main di rumah. Tapi tentu saja dimanapun saat bermain, tidak boleh melakukan hal-hal yang menyakiti orang lain dan diri sendiri. Boleh main perang-perangan di rumah. Sementara itu, dengan teman-teman di sekolah, kami sampaikan sama sekali tidak boleh. Pilih mainan yang lain saja yang sesuai dengan aturan sekolah. Karena Mbarep juga harus tahu, dia harus mengikuti peraturan yang ada. Kami berharap dengan pemahaman ini, kalaupun memang minat dia terhadap perang tidak bisa dialihkan ke hal lain, dia mengerti kalau minat tersebut tidak boleh disalurkan sembarangan sesuka hati dia. Semoga kedepannya perlahan-lahan Mbarep bisa belajar mengendalikan diri di berbagai situasi dan hobinya mengenai perang bisa tersalur menjadi hal yang positif.
Mbarep dan Kegiatan Ekstrakulikuler
Seperti kebanyakan orang tua lainnya, terkadang saya juga suka terkena sindrom FOMO kalau soal anak-anak. Inginnya mereka dapat pengalaman dan pengetahuan terbaik dan menyenangkan sebanyak mungkin. Dimanapun kapanpun. Semua kegiatan kalau bisa berbobot dan menambah wawasan. TAkan tetapi, karena sadar diri dengan faktor umur yang tak bisa menipuπ,
berbagai kesibukan lain yang menyita perhatian, dan sisi
introvert yang rasanya kok semakin lama semakin dominan, seringkali saya batal FOMO. Akhirnya mencoba berpegang pada prinsip nggak usah ngoyo. Semampunya saja. Termasuk soal kegiatan ekstrakulikuler Mbarep.
Mbarep ikut les robotik dari usia 4 tahun. Les robotik untuk anak segitu isinya tentu saja bukan coding, melainkan latihan menyusun lego. Menghitung lego yang diperlukan, memasang di posisi yang tepat, hingga terbangun bentuk sesuai contoh. Mbarep suka les tersebut dan betah menjalaninya. Saat pertama kali mengikutkan Mbarep di les ini, kami tentu sama sekali tidak berharap dia jadi jagoan menyusun lego. Kami cuma ingin dia punya
suatu hal yang bersedia dia ikuti dengan tekun. Tidak perlu selalu jadi jago, tekun saja juga sudah susah.
Buktinya, selama dia ikut les robotik, tidak terhitung teman sekelasnya berganti-ganti. Kebanyakan hanya bertahan beberapa kali pertemuan. Mungkin dianggap isinya kurang berbobot, karena yang dilakukan ya benar-benar menyusun lego ke dalam bentuk basic saja. Habis apa sih yang diharapkan dari anak 5 tahun yang ikut les lego? dalam satu pertemuan tiba-tiba bisa bikin figur kapal Titanic dari 0, gitukah? Heuheu.
Semakin Mbarep besar, kami mulai memikirkan kegiatan ekstrakulikuler lain buat dia. Masukan dari sekolah adalah Mbarep kelebihan energi, jadi masih sulit fokus dan konsentrasi. Disarankan untuk ikut kegiatan ekstrakulikuler yang bisa melatih dia untuk mengendalikan energinya. Sesungguhnya mendengar hal ini yang langsung terpikir oleh saya sinetron China zaman baheula, semacam To Liong To dan Siluman Ular Putih, yang suka ada adegan mengumpulkan energi di telapak tangan lalu mentransfer energi tersebut ke orang lain via punggung (nah ketauan kan tuanya). Setelah berdiskusi dengan suami, kami putuskan Mbarep ikut olah raga. Ya iyalah, karena kalau ikut Kumon kan pasti bubar π
Kalau soal olahraga, kami sepakat Mbarep harus bisa berenang. Kami berdua masing-masing les berenang cukup intens waktu kecil dan rasanya kemampuan tersebut berguna sekarang. Berguna buat berenang mengarungi samudera kehidupan. Halah. Mbarep sempat ikut les berenang beberapa kali di akhir tahun kemarin. Dia sepertinya
cukup punya bakat berenang, jadi dalam beberapa pertemuan sudah bisa. Sayangnya karena jadwal berenang bentrok dengan jadwal robotik, dan karena banyak kejadian juga kegiatan lain di hari Sabtu, jadi sampai akhir tahun kemarin latihannya belum rutin. Di awal tahun ini, kami masih mencari jadwal dan kompromi yang pas agar Mbarep bisa les berenang dengan rutin.
Pilihan kami untuk olah raga selain renang adalah gymnastic. Karena gymnastic, sama seperti renang, adalah olahraga yang kalem. Tidak meledak-ledak. Mungkin bisa membantu Mbarep mengendalikan energinya. Sayangnya tempat latihan yang bisa rutin ada di tengah kota. Sebenarnya tidak seberapa jauh dari rumah kami. Cuma sering macet. Apalagi jadwal latihannya di hari Minggu. Haha. Sungguh malespun.
Kebetulan setelah mencari-cari saya menemukan ada tempat tempat les gymnastic yang menawarkan sesi latihan privat dengan pelatih datang ke rumah. Saya mencoba daftar untuk Mbarep. Pelatihnya masih muda. Statusnya selain mahasiswa tingkat akhir juga atlit daerah yang masih aktif bertanding. Sebetulnya Mbarep dan Ragil suka ikut latihannya. Sayangnya tidak bisa rutin karena pelatihnya sering berhalangan. Entah karena mengerjakan skripsi atau karantina persiapan lomba. Tapi tidak mengapa, karena Mbarep dan Ragil cukup enjoy, kami putuskan agar tetap ikut lesnya saja. Sekali sekali tidak masalah, untuk gerak badan.
Alternatif olah raga lain yang kami lirik adalah kung fu. Kebetulan ada 2 tempat latihan kung fu dekat rumah. Kami memang ingin Mbarep ikut bela diri. Selain ingin dia punya dasar-dasar bela diri yang baik dan benar, kami juga ingin gaya-gaya yang sering dia keluarkan saat main berantem bisa lebih terarah π
Hobi main berantem-beranteman, sekalian sajalah. Haha. Sayangnya jadwal Kung Fu adanya di waktu jam kerja kami berdua, jadi masih jadi peer perihal antar jemputnya. Semoga tak lama ketemu jalannya supaya Mbarep bisa mencoba kung fu.
Opsi terbaru adalah ikut parkour. Apalagi kalau bukan karena Mbarep hobi lompat kesana kemari. Sampai sofa di rumah juga jadi korban. Jebol. Kebetulan pamannya menemukan tempat latihan parkour untuk anak-anak. Walaupun jadwalnya juga bentrok dengan robotik tapi sepertinya lebih simple daripada berenang. Jadi mungkin dalam waktu dekat akan kami coba ikutkan Mbarep ke sana. Semoga dia suka dan bisa membantu tumbuh kembangnya jadi lebih baik lagi.
Bukan Anak Jenius
Tulisan ini niatnya dibuat selain untuk catatan sendiri juga untuk respon rapor sekolah Mbarep. Rapor sekolahnya berbeda dengan rapor sekolah lain. Bentuknya mirip makalah. Haha. Ditulis dengan mendetail dan disajikan sepenuh hati. Kami sadar ada banyak hal yang memang tidak kami pahami karena bukan ahli. Rapor yang terperinci sangat membantu dalam melengkapi pengetahuan kami mengenai anak kami sendiri. Begitu membaca rapor-nya, langsung muncul keinginan untuk membalas dengan tulisan yang sepenuh hati juga. Sayangnya berbagai kejadian membuat draft tulisan ini hampir terlupakan. Baru bisa diberikan sekarang. Semoga bisa jadi bahan bacaan juga untuk kakak-kakak guru.
Membaca tulisan di rapor tersebut, kami semakin yakin bahwa Mbarep bukan anak jenius π Dia anak biasa-biasa saja dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Kadang bikin pusing tujuh keliling, tak jarang juga bikin ingin mengibarkan bendera putih. Tapi setelah dipikir-pikir, adanya Mbarep dan adiknya lebih banyak membuat kami bersyukur. Selain makin rajin istigfar. Haha. They're more than everything that we've could ever hope for. Apapun itu, anak-anak adalah hadiah istimewa bagi kami dari Allah SWT. Jadi kami berharap semoga kami bisa menyampaikan rasa terima kasih kami pada pemiliknya, dengan jalan membantu sebaik baiknya kemampuan, walaupun dalam segala keterbatasan, agar mereka bisa tumbuh dan berkembang menjadi versi terbaik dan paling bersinar dari diri mereka sendiri. Amin.
No comments:
Post a Comment