Kopi saat ini sudah menjadi bagian gaya hidup. Hampir semua orang yang saya kenal menyukainya. Ada yang cukup puas dengan kopi sachet yang diseduh setiap kali perlu, atau kopi kekinian di kedai-kedai kopi populer, ada juga yang menggemari kopi artisan, dari berbagai varietas biji kopi yang diolah sedemikian rupa untuk menghasilkan rasa yang mungkin dianggap sebagai surga dunia.
Saya sendiri tidak menyukai kopi. Makanya saya cukup kebingungan ketika tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini adalah Mamah dan Kopi. Karena saya tidak tahu menahu soal kopi. Kalaupun terpaksa harus pergi ke kedai kopi, biasanya saya memesan minuman cokelat. Saya pun tidak pernah tahu bedanya antara frappucinno, cappucinno, latte, apalagi perkara robusta, arabica, atau liberica. Tidak tahu dan tidak berminat tahu juga. Hanya saja karena saya sudah melewatkan tantangan bulan lalu, jadi saya tuliskan juga cerita tentang kopi (paling tidak disebutkan secara eksplisit walaupun mungkin nggak nyambung). Karena segala sesuatu yang penting niatnya bukan? haha.
Sekarang duduk manis dulu ya...kita dengarkan cerita saya. Semua cerita yang dituliskan dibawah 90%-nya adah fiksi. Sisa 10%-nya adalah kejadian yang memang pernah saya alami tapi digoreng agar lebih renyah dan dibumbui agar lebih sedap.
Prolog
(sumber: freepik.com)
Aku ingat kadang ada pagi dimana Eyang tidak bisa langsung ngopi sesaat setelah jam berdentang pukul 6 pagi. Entah karena ada tamu, ada hal mendadak yang harus dikerjakan, atau Mbok Darmi, pembantunya yang setia, lupa membeli persediaan kopi hitam di warung sehari sebelumnya. Gelisah pasti akan menyelimuti paras Ibu dari ayahku itu hingga akhirnya dia bisa mereguk minuman penuh kafein tersebut.
***
Bau kopi jugalah yang menghantuiku selama berbulan-bulan setelah Eyang berpulang. Saat itu aku masih kelas satu SMP. Eyang tak bisa segera dimakamkan segera setelah menutup mata selamanya. Harus menunggu anak cucunya pulang dari berbagai penjuru Indonesia dan juga dunia. Aku ingat betul berbungkus bungkus bubuk kopi ditaburkan di sekitar kerandanya, untuk mengurangi aroma tak sedap yang mungkin menguar dari jasadnya yang telah kaku.
Bahkan setelah seluruh pelayat dan keluarga pulang, rumah Eyang masih berbau kopi. Sampai seminggu lamanya. Kemudian dengan anehnya hingga beberapa saat aku masih merasa mencium bau kopi yang sama di tempat-tempat random. Ruang tempat latihan paduan suara di sekolahku, pojok halaman rumah, ruang ganti kolam renang dekat rumah, dan bahkan lorong di perpustakaan daerah tempatku meminjam buku cerita.
"Mungkin Eyang mampir mengunjungimu", kata kakakku sok bijak. Perkataan yang sukses membuatku tak tidur semalaman. Merapal doa karena ketakutan setiap habis mencium aroma kopi di suatu tempat. Karena sekangennya-kangennya aku dengan Eyang, sesungguhnya aku tak berminat bertemu dengannya dalam wujud selain yang kukenal.
***
Nampaknya pengalaman tersebut cukup traumatis untukku. Sehingga sekarang, hampir 15 tahun setelah Eyang tiada, aku masih saja merasa sangat pusing jika mencium bau kopi. Bahkan aroma yang pekat bisa membuatku hampir pingsan. Seperti saat aku mengikuti kuliah kerja ke salah satu pabrik produsen kopi bubuk ternama. Tersergap aroma kopi dari berbagai sisi, tubuhku bereaksi cukup brutal. Kepalaku berdetam bagai dipukul godam. Jantungku berdebar kencang. Bulir keringat dingin membanjiri badanku. Kakiku menjadi lemas hingga akhirnya tubuhku oleng menubruk tepian bingkai kaca pembatas antara pengunjung dan conveyor kopi. Sukses membuatku mendapatkan 3 jahitan di kepala.
Semenjak itu aku tidak mau berurusan dengan kopi. Walaupun minuman tersebut sudah menjadi sebuah budaya yang diamini hampir seluruh orang yang kukenal, tapi aku tetap dengan pendirianku. Tak pernah sekalipun aku menginjakkan kaki di cafe kekinian apalagi coffee shop. Takut mencium bau kopi lalu pingsan dan membuat kehebohan. Karena seingin-inginnya aku menjadi terkenal, aku tak berminat menjadi objek berita dengan tajuk "Perempuan Pingsan Mencium Aroma Kopi".
***
Kisah Awalnya
Suatu hari di tengah perjalanan menuju tempat meeting di kota sebelah, lampu indikator panas di mobilku berkedip-kedip menunjukkan kondisi overheat. Mengetahui bahayanya, aku tahu harus segera menghentikan mobil. Masalahnya jalan yang sedang aku lalui ada di tengah-tengah hutan jati. Walaupun hari itu masih siang bolong, tapi tetap saja aku takut berhenti sembarangan. Akhirnya setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan menjalankan mobilku pelan-pelan hingga menemukan tempat yang ada orangnya. Sambil berdoa semoga mesin mobilku bertahan dan tidak terbakar di tengah jalan.
Sekitar 10 menit aku melihat sebuah warung di pinggir jalan. Setelah memastikan bahwa warung tersebut buka, segera aku menepikan mobilku di sebelahnya. Kemudian setelah menunggu mesin mobil agak dingin, aku turun dan dengan hati-hati membuka kap mesin mobil untuk memeriksa air radiator. Habis sehabis-habisnya. Sepertinya ada kebocoran. Segera kutelepon bengkel. Karena jarak ke tempatku yang cukup jauh, mereka berjanji akan mengirimkan teknisi dan mobil derek dalam waktu minimal 1 jam.
***
Aku memeriksa jam tanganku. Dalam 25 menit meeting seharusnya dimulai. Meeting yang cukup penting karena menentukan goal proyek baru dan apakah aku akan diamanahi menjadi pemimpinnya. Sesungguhnya atasanku sudah mewanti-wanti agar aku lewat jalan tol saja, walaupun harus memutar agak jauh. Tapi aku bersikeras melewati jalan lama, karena aku paling malas menyetir sendiri di jalan tol. Lagian tadinya kupikir, hal buruk apa yang bisa terjadi sebelum jam 9 pagi?
Untungnya setelah aku kabari, atasanku hanya menghela napas panjang lalu mengatakan aku bisa bergabung secara online saja. Seperti memaklumi aku dan kepala batuku. The perks of living in post pendemic era. Bisa meeting online. Masalahnya aku lupa mengisi baterai telepon genggamku. Nampaknya daya 30% tidak akan kuat kalau digunakan untuk meeting. Aku juga tak ingin teleponku mati, karena masih perlu menghubungi orang bengkel.
Awan mendung yang sedari tadi membayangi langit diatasku, menggelayut semakin berat. Nampaknya sebentar lagi akan segera menumpahkan air yang dikandungnya.
Aku menoleh ke warung sebelah. Diatas bangunan tersebut terlihat semacam antena televisi, jadi aku berasumsi di dalam seharusnya ada listrik. Mungkin aku bisa numpang mengisi daya telepon genggamku sebentar. Aku membereskan barang-barangku kemudian bergegas menuju ke warung yang terbuat dari bambu dan kayu tersebut. Tetap waspada karena aku tidak tahu siapa atau apa yang akan aku temui di sana. Suara musik terdengar mengalun pelan. Lagu lawas tahun 80an.
Teruskan cerita ini dengan memilih jenis kopi sesuai seleramu.
Pilih Kopimu
(sumber: freepik.com)
Silahkan pilih kopi sesuai selera. Mau tiga-tiganya juga tidak ada yang melarang. Kalau ketagihan tanggung sendiri.
Kereeeen banget teh tulisannya. Saya memilih ketiga kopinya dan menyukai ketiganya 😍
ReplyDelete"Perempuan Pingsan Mencium Aroma Kopi" - aku ngakak baca bagian ini, eh ternyata bonus dapat 3 cerita lanjutan. Ini jadinya nulis 4 tulisankah buat tantangan MGN? Keren deh idenya, walau ada bagian agak horor, hehehe...
ReplyDeleteYa ampun, Mamah Restu. Aduh ini kenapa MAN-to-the-TABB ya tulisannya. Ada horornya, ada deg-deg-an-nya, ada kocaknya, dan ada yang bikin mikir keras ehehehe. Mikir keras karena penasaran bagian mana yang nyata. Tapi seinget saya, Mah Restu gak punya kakak kan ya? Punyanya adik, Mamah Ririn. Ehehehe.
ReplyDeleteLalu, lalu... Jadi Mamah Restu bisa minum kopi atau endak? Ehehe.
***
Btw ku mau nyoba ketiganya ahh. Boleh kan, ehehe. :)
teh Restu ... aku belum klik pilihan kopinya: tapi ini asli keren banget ... jadi ingat buku pilih sendiri petualanganmu yang aku baca jaman SMP.
ReplyDeleteinsyaallah ... kalau sudah lebih luang waktunya aku balik baca lagi dan mau klik ketiganya he3 ...
Kopiku kopi hitam, seleraku banget.
ReplyDelete