Karena pilihan kami ini, mau tak mau saya jadi berteman akrab dengan fitur pesan makanan di aplikasi ojek online. Selain jadi sedikit ahli mengetahui diskon-diskon yang bisa dimanfaatkan, saya juga jadi punya beberapa cerita mengenai para driver yang mengantarkan pesanan saya. Di Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan September ini saya akan ceritakan beberapa diantaranya yang saya ingat sampai sekarang.
Baju Ragil
Kalau bel rumah berbunyi, anak-anak saya biasanya akan minta ikut ke siapapun yang beranjak membukakan pintu. Paling gembira kalau yang datang kurir pengantar paket. Karena mereka selalu berharap paket yang datang berisi mainan.
Suatu sore saya menggendong Ragil saat menemui driver yang mengantarkan pesanan saya. Setelah menyerahkan makanan, driver itu langsung pamit. Ketika menutup pagar, saya melihat kalau si driver sejenak menghentikan langkah dan menoleh ke arah kami. Seperti berpikir. Tapi karena dia tidak bilang apa-apa, jadi saya juga tidak berpikir apa-apa.
Setelah magrib saya menerima WA dari nomor tidak dikenal:
"Assalamuallaikum Bu. Bu saya driver yang tadi datang. Boleh saya minta baju untuk anak perempuan yang sudah tidak dipakai? Untuk anak saya usia 2 tahun". "Waallaikum salaam.Boleh" jawab saya singkat. Saya pun memintanya untuk kembali setelah Isya.
"Assalamuallaikum Bu. Bu saya driver yang tadi datang. Boleh saya minta baju untuk anak perempuan yang sudah tidak dipakai? Untuk anak saya usia 2 tahun". "Waallaikum salaam.Boleh" jawab saya singkat. Saya pun memintanya untuk kembali setelah Isya.
Saya ambil beberapa helai pakaian Ragil yang sudah jarang atau malahan tidak pernah dia gunakan. Anak wedhok saya ini memang agak particular selera fashionnya. Macam Mark Zuckerberg. Bajunya cuma satu jenis saja. Sama model, warna, dan gambar. Jadi ada banyak bajunya yang tidak tersentuh. Apalagi yang modelnya menuruti obsesi emaknya. Semoga besarnya jadi billioner juga ya Nak. Amin. Saya serahkan baju-baju itu ke driver yang datang kembali tepat waktu. Setelahnya saya tentu saja lupa dengannya.
Sampai suatu hari, saya mengambil pesanan lagi di depan rumah. Driver yang mengantar pesanan dengan sumringah menyapa saya. "Bu masih ingat? saya yang pernah minta baju anak sama Ibu. Makasih ya Bu. Anak saya senang sekali. Isteri saya juga senang. Akhirnya anak saya punya baju bagus. Soalnya saya nggak punya uang untuk belikan baju yang bagus-bagus. ". Saya hanya bisa mengangguk-angguk mendengarnya. Alhamdulillah.
Salah Pencet yang Tidak Salah-Salah Amat
Beberapa tahun lalu, waktu aplikasi ojek online baru muncul dan fitur layanan pesan makanan masih versi beta, sistemnya masih lebih mirip jasa titip. Sangat tergantung pada kepercayaan antara pengguna dan driver.
Suatu hari si Mbarep, yang memainkan HP saya yang tergeletak sembarangan, tak sengaja membuka aplikasi ojek online dan memberikan rating 1 bintang untuk driver yang baru saja mengantarkan pesanan bakso saya. Karena dapat bintang 1 otomatis driver tersebut diskors. Padahal dia nggak ada salahnya.
Menyadari hal yang terjadi, saya dengan panik mencoba menelepon customer service aplikasi, tapi sampai berapa lama tidak berhasil. Saat masih sibuk dengan telepon, bel rumah saya berbunyi kembali. Ternyata driver yang dapat bintang 1 itu datang lagi. Saya sudah bersiap memberi penjelasan, minta maaf, dan memberi kompensasi ketika tiba-tiba driver tersebut malah minta maaf lebih dahulu.
"Ibu, minta maaf ya Ibu. Saya khilaf. Tadi itu warung yang Ibu pesan tutup. Tapi kalau cancel, nanti bonus saya dipotong. Terus saya juga perlu cash. Jadi saya inisiatif beliin Ibu dari tempat lain. Hampura ya Ibu kalau tidak berkenan sampai kasih bintang 1".
Saya ingat tidak tahu harus bilang apa. Soalnya saya sama sekali nggak sadar bakso yang saya pesan bukan yang seharusnya. Jadi saya cuma bilang kalau saya juga nggak sengaja kasih dia bintang 1 lalu memberi kompensasi yang memang sudah saya niatkan. Bagaimanapun dia sudah kena skors. Utamanya karena saya. Setelahnya saya meninggalkan si driver yang terbengong-bengong, lalu menyantap bakso salah alamat yang rasanya lumayan juga.
Mendadak Jumat Berkah
Suatu hari, seorang kerabat mengabari mendadak kalau dia dan keluarganya akan mampir ke rumah. Karena waktunya sudah mendekati makan malam, saya berinisiatif pesan makanan untuk menjamu mereka. Saya pun memesan Soto Betawi via aplikasi ojek online.
Entah aplikasinya yang error, hp saya yang bapuk, internet yang labil, atau saya yang kurang konsentrasi. Setiap kali saya mencoba pesan dan menyelesaikan pembayaran, aplikasinya ngehang. Tidak bisa saya pencet-pencet. Bodohnya saya ketika itu, tidak cek bagian aktivitas di aplikasi dan malah berasumsi pesanannya gagal dan mengulangi pemesanan dengan serta merta.
Akhirnya malam itu saya menerima 8 ojek online yang semuanya membawa 5 porsi soto betawi. Karena saya dan yang di rumah tentu tidak bisa menghabiskan semuanya jadi kami minta 6 driver untuk membawa pulang pesanan tersebut. Mereka happy, saya tekor. Budget pesan makanan online dalam sebulan langsung kandas :))
Anggap saja Jumat berkah. Walaupun waktu itu Senin.
Anakmu Tanggung Jawabmu
Suatu hari, ada rapat mendadak di kantor. Karena waktunya mepet, saya pesan konsumsi via ojek online. Saya kasih pesan disana untuk menelepon ke teman saya yang bagian pantry, karena saya suka nggak ngeh sama notifikasi. Sekitar setengah jam kemudian saya dapat telepon dari driver. Begitu telepon saya angkat, si driver langsung nyerocos memburu-buru saya untuk langsung menerima pesanan. Saya minta dia untuk telepon ke nomor yang saya kasih. Karena posisi saya saat itu tidak di dekat lokasi dia menunggu.
Semenit kemudian driver tersebut menelepon kembali, bilang kalau teman saya nggak datang-datang. Saya cek aplikasi baru 2 menit dari driver sampai ke lokasi. Saya kontak teman saya, memastikan dia sudah jalan. Tapi memang jalannya agak memutar karena ada konstruksi. Perlu sekitar 2 menit lah. Dari biasanya 1 menit.
Dalam 30 detik setelah menelepon, si driver sudah mengirim WA lagi. "Hallo, tolong diambil pesanannya. Saya dapat double order". Saya balas "Iya tunggu sedang jalan". Si driver kembali menulis kalau dia dapat double order jadi saya seharusnya lebih cepat ambil pesanan. Malah harusnya saya sudah menunggu dia di lokasi. Setelahnya dia telepon-telepon lagi yang tidak saya angkat.
Menurut saya double order bukan justifikasi kenapa saya harus diburu-buru ambil pesanan. Kan salah dia sendiri. Lagian 5 menit juga belum. Buat saya 5 menit menunggu masih waktu yang sangat wajar. Saya jadi kesal dan masuk mode ngomel.
"Pak, kan Bapak sendiri yang terima double order. Kenapa saya jadi yang diburu-buru begini ya?", tulis saya sedikit emosi.
"Takutnya pembeli yang satu lagi kelamaan nunggu Bu. Terus saya dapat rating jelek", balasnya.
"Pak, saya juga customer lho. Saya juga bisa kasih rating jelek. Memang Bapak pikir dengan sikap Bapak seperti ini saya harus kasih rating apa?", balas saya langsung.
"Maksudnya apa Bu? Ibu bisa kasih saya rating jelek? Anak saya ada 2 Bu. Ibu mau tanggung jawab kalau anak saya nggak bisa makan karena saya diskors?? Mikir dulu Bu kalau mau kasih rating"
"Nggak. Saya nggak mau tanggung jawab. Kan bukan salah saya Bapak dapat rating jelek. Salah Bapak sendiri juga kalau anak-anak Bapak nggak bisa makan. Mikir dulu Pak sebelum bersikap"
Lalu saya block contact.
Buat yang berpikir saya punya entitlement mentality karena bersikap seperti itu pada orang "kecil", coba dipikirkan apakah bukan driver itu yang bersikap "entitled" karena merasa "orang kecil"? Karena merasa ada di posisi yang lebih "tidak berdaya" jadi orang lain harus maklum, paham, dan menuruti maunya.
Bukan begitu cara kerja dunia Pak.
Dan saya tidak kasih rating apa-apa. Jadi kalau diskors jelas bukan salah saya.
Kenapa ini nulisnya masih pakai emosi juga ya :))
Penutup
Demikian kisah saya dengan para driver ojek online. Sayangnya tidak jadi diikutkan tantangan karena saya ketiduran. Sekian.
Mendadak Jumat berkah (padahal hari Senin). MasyaAllah...
ReplyDeleteSementara closingnya, tentang orang yang bersikap "entitled" karena merasa "orang kecil"? Karena merasa ada di posisi yang lebih "tidak berdaya" jadi orang lain harus maklum, paham, dan menuruti maunya. Itu relatif banget dengan saya yang harus berintekaksi dengan orang yang begini. Kok jadi ikut emosi yaa...
Attitude! Saya sependapat dengan Restu. Bukan hanya orang kaya saja yang tidak boleh seenaknya merasa entitled akan hal tertentu. Orang fakir juga harus sama lah, tidak boleh seenaknya mengandalkan maklum orang lain namun melanggar prosedur, dengan membawa kemiskinannya.
ReplyDelete***
Speaking of jasa GoFood, alhamdulillah di tempat saya tinggal (BSD), tidak pernah sekalipun menemui yang 'aneh-aneh'. Semua sopan, santun, dan job desk-nya delivered. Semoga berkelanjutan.
Nah yang kurang memuaskan adalah di Bandung. Ketika saya di Bandung, tidak sekali 2 kali saya menemui Bapak yang 'aneh', seperti misalnya:
- "Bu, tempat saya jauh dari lokasi, di cancel saja ya Bu. Tapi Ibu yang cancel."
- "Bu, di sini macet, nanti lama. Dibatalkan saja, Bu"
Serius, saya bingung kenapa dari awal diterima ya orderan saya kalau ujung-ujungnya cuma minta di-cancel. Saya gak paham sistemnya. Pokoknya yang aneh aneh begini, saya temui setiap saya sedang di Bandung.