Dari pertengahan Juli kemarin si Mbarep dan Ragil mulai masuk sekolah. Sampai sekarang alhamdulillah sekolahnya lancar. Keduanya nampak cukup menikmati sekolah. Mbarep selalu excited karena memang sudah umurnya untuk sekolah a.k.a bosan kalau diam di rumah saja. Sementara Ragil, yang sebetulnya belum masuk usia sekolah, ternyata cukup senang beraktivitas dengan guru dan teman-teman. Sekolah keduanya memang cuma 2 jam sehari dan isinya hanya main-main saja. Santai.
Sebagai gambaran, target di sekolah Mbarep untuk TK A (usia minimal 4.5) hanya mengenali angka 1-8 dan huruf gendut B dan D. Mengenali saja bukan hapal apalagi baca. Santai sekolahnya.
Dari awal mereka mau masuk sekolah, saya yang lebih deg-degan. Bukan takut anak-anak tidak bisa beradaptasi, tapi justru saya yang takut sendiri tentang prospek pergaulan orang tua di sekolah. Sebagai orang yang mengaku-ngaku akhirnya menyadari bahwa dirinya adalah seorang intovert, masuk ke lingkungan baru cukup membuat saya khawatir. Akankah saya bisa membaur? Bisakah saya menikmati urusan-urusan sosial yang akan muncul. Karena saya sering merasa kikuk jika harus berkegiatan bersama. Kagok jika beramai-ramai. Apalagi dengan orang yang belum akrab.
Setiap hari saya antar jemput anak bergantian dengan suami. Izin sekitar 1.5 jam untuk jemput 2 anak di 2 sekolah berbeda, antar mereka ke rumah, lalu kembali ke kantor. Dari rangkaian kegiatan ini, interaksi dengan orang tua lain saat bertemu di sekolah ternyata cukup mengusik sifat introvert saya. Padahal seringnya tak sampai 10 menit waktu yang saya habiskan di sekolah.
Di sekolah Ragil tidak banyak orang tua yang menunggu di sekolah. Kebanyakan hanya antar dan jemput anak sekejap saja. Jadi urusan ramah tamah bisa diselesaikan dengan sedikit sapaan dan senyuman. "Mari Bu. Duluan!".
Lain halnya dengan sekolah Mbarep. Di sekolahnya orang tuanya diarahkan juga untuk "berteman". Prinsipnya anak-anak kami dari TK, SD, sampai mungkin nanti SMP kemungkinan akan sekelas terus. Karena kelasnya cuma ada 1 di masing-masing tingkat dan isinya cuma 18 anak, orang tua diharapkan menjadi akrab satu dengan lainnya dan menjadi bagian keluarga sekolah yang harmonis.
Setelah beberapa minggu saya menyadari kalau orang tua-orang tua yang lain sudah terlihat akrab. Saat menunggu anak-anak keluar kelas, banyak yang berkumpul dan bercengkerama. Sementara saya masih belum kenal satupun. Paling tau nama anaknya saja. Tapi itu kan basic banget ya.
Mungkin penyebabnya adalah, kalau jemput anak saya selalu buru-buru. Boro-boro ikutan ngobrol, kadang saya cuma sempat menghentikan mobil sejenak, turun, buka pintu mobil, lalu mendudukan Mbarep di booster seat. Setelah itu segera tancap gas lagi. Orang tua lain sering terlihat tinggal sejenak untuk ngobrol dengan guru dan sesama orang tua, sementara saya selalu sudah kabur duluan. Karena sudah ditunggu pekerjaan. Atau sebetulnya hanya alasan menghindar dari keramaian?
Entahlah.
Ada masanya kalau Mbarep terlambat keluar kelas, saya ikutan duduk menunggu bersama orang tua lainnya. Tapi mau ikutan nimbrung bercakap-cakap kok ya canggung. Nggak ada yang nanya juga, jadi rasanya kurang ada yang welcome. Mau nanya duluan, kok ya kayaknya aneh. Jadi yang saya lakukan biasanya cuma nguping ikut mendengarkan sambil kadang-kadang mengangguk-angguk memberi persetujuan dalam diam.
Paling sering saya mojok sambil ngeliatin mural yang ada di sekolah. Siapa tau ujug-ujug gambarnya berubah. Kan seru ya kayak Harry Potter. Kalau saya jemput Ragil duluan dan dia ikut turun ke tempat tunggu, paling saya sibuk nanggepin bocah saja. Karena dia memang cerewet. Cukuplah dijadikan alasan tidak ikut ngobrol #Lho.
Sebetulnya saya tidak punya masalah berteman. Saya punya beberapa teman akrab untuk berbagai occasion (kerjaan, ngomongin drakor dan kpop, ngomongin parenting, ngomongin hal nggak penting, dan beberapa hal lain). Jumlah teman akrab saya memang bisa dihitung jari. Itupun suami dan adik saya termasuk di salah satu jari yang saya hitung.
Saya termasuk low maintenance friend yang tidak harus catch up setiap saat dan harus bareng-bareng di segala kesempatan. Semakin tua juga saya semakin don't mind beraktivitas sendirian. Malah cenderung menikmati. Jadi mungkin saya nampak tak punya teman. Tapi saya juga bukan anti berteman kok. Teman lain yang biasa-biasa saja, saya punya lumayan banyak. Nggak cukup dihitung pakai jari kaki dan tangan. Bisalah mikir lebih dari 30 orang kalau perlu ngundang buat syukuran gitu misalnya. Eh itu sedikit ya? Haha.
Duh gimana kalau nanti ngundang kawinan anak? #Lha.
Hanya saja saya mengakui memang punya masalah saat harus masuk ke lingkungan baru dan kenalan dengan orang lain. Seperti ada barrier yang harus saya dobrak. Perlu waktu dan tempat yang tepat. Termasuk masuk ke lingkungan orang tua teman-teman sekolah anak-anak. Padahal saya nggak pemalu lho orangnya. Malu-maluin sih sering ya ๐
Duh adakah yang merasa relate dengan diriku?
Kalau sudah begini, saya mulai overthinking. Bagaimana kalau nanti saya jadi orang tua outcast yang tidak disukai orang tua lainnya ๐ atau kalau Mbarep jadi tidak diajak-ajak karena orang tuanya nggak bisa gaul. Atau saya dikira sombong atau aneh dan mengganggu harmonisasi kebersamaan orang tua di kelas.
Saya sempat menyampaikan ini ke suami. Tapi dia cuma bilang saya berlebihan. Sebagai orang yang sangat logis dia memang tidak pernah mau ambil pusing untuk hal-hal yang menurut dia tidak penting dan tidak mengganggu hidup.
Lalu saya ketemu komik strip ini :
Mamak introvert ini ternyata 'capรฉtang' pisan ya kalo di postingan blognya. I feel you, Teh Restu. Kalau di lingkungan baru memang suka mati gaya sih. Lagian, percakapan mode live begini kan nggak bisa diedit supaya lebih estetik ya, nggak kayak blog posting yang bisa diutak-atik dulu sebelum publish. :D
ReplyDeleteHihi Mama introvert ternyata kalau nulis jadi panjang... teruskan Teh
ReplyDeleteHeu... Diri sendiri emang bisa "dah lah". Tapi saat dihadapkan pada pertanyaan anak "mama dulu pas remaja gimana?" kok rasanya jengah juga mau bilang kalau lebih suka mojok baca buku di saat pertemuan keluarga ya? ๐
ReplyDeleteEhehehehe, lho, lho lho, kok sama kayak diriku, Restu. Inilah yang terjadi pada diriku ketika harus berhadapan dengan para Mamahs di sekolahan anak, ehehe. Malu malu kucing dan kikuk sendiri. Giliran ada yang deketin dan baek banget, eh ternyata mau nawarin asuransi. Ehehehe.
ReplyDelete***
But, paragraf terakhirnya sudah menjawab semua kegalauan para introver-mom wkwkwkwk.
***
Btw, Restu sebagai working mom, menurut saya enak lho, kalau misalkan ada acara ketemuan tetapi energinya tidak ada (bukan energi literally, melainkan 'energi' kaum introver); tinggal jawab ada kerjaan di kantor.
Susah niy diriku yang IRT saja, mau ga mau ya harus ikut ehehehe, dengan segala ke-awkward-an yang sudah menjadi perk-ku.
***
Ohya, pengalaman saya, setelah cukup intens ngobrol di WA group para Mamahs sekolahan, insha Allah pasti 'mencair' kok Restu. You'll get there. :)
Teeeeeh i feel you! Meskipun udah sampai tinggal di luar negri yg orang Indonesia-nya sedikit, aku tetep aja awkward mau bersosialisasi sama sesama orang Indo wkwkwk
ReplyDeleteYg menarik (dan menantang) adalah suamiku yg extrovert menginginkanku setidaknya punya kemampuan sosialisasi yg cukup. Dari latihan dan paksaan, akhirnya mulai bisa (sedikit)
Tapi aku suka banget dengan kesimpulan teteh soal "Dah lah". Bener juga sih, belum tentu orang lain nganggep kita negatif.
Semangat teeh ๐