Mungkinkah orang bisa berubah dalam sekejap? Pertanyaan itu kembali muncul di benak Nimma. Rasanya kemarin dalam dirinya masih membara api keinginan untuk menikmati semua kejutan yang ditawarkan dunia. Tapi tiba-tiba sekarang api itu berganti menjadi bara yang lebih sederhana. Seperti api lilin yang tenang. Tak lagi meledak-ledak ingin melahap semua kesempatan. Hanya ingin sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih bisa diprediksi.
Pemandangan di luar jendela kamar hotel tempatnya menginap, menarik perhatiannya. Kelap-kelip lampu kota di saat mendung terlihat seperti kunang-kunang. Cerah menyembunyikan semua rasa dibalik pekatnya malam.
Inikah yang disebut quarter life crisis? Nimma tertawa kecil. Merasa menjadi bagian dari 25 tahun kebanyakan. Sudah empat tahun berlalu semenjak dia memulai pekerjaan ini. Pekerjaan yang mengharuskan dia untuk bepergian terus menerus kesana kemari. Tiada minggu berlalu tanpa dia harus menyeret koper di Bandara dan terbang ke suatu tempat.
Jangan salah sangka, sampai kemarin dia masih sangat menikmatinya. Bepergian ke kota-kota asing, bertemu dengan berbagai macam orang. Belum lagi road trip menempuh jalan panjang berliku, yang membuatnya bisa memperhatikan kehidupan di tempat lain, walaupun hanya sekelebat. Hobinya sejak lama.
Tapi entah kenapa akhir-akhir ini ketika harus bepergian, perasaan hampa seringkali menyergap dadanya. Semua jadi terasa melelahkan. Langkahnya tak seringan dulu saat harus bangun tengah malam untuk mengejar pesawat dini hari. Perjalanan panjang berjam-jam di jalan jadi kurang mengundang. Kota-kota yang didatangi juga tak lagi membuat penasaran.
Mungkin dia hanya bosan? ataukah perlu perubahan.
Setelah merenung, Nimma memutuskan, sepertinya yang dia perlukan adalah pekerjaan baru. Gadis itu membuka laptop, memutuskan memperbarui halaman Linkedin-nya
***
November
“Gue mau ke Jerman tengah tahun depan”, Sani, pacar Nimma, berkata sambil menyeka keningnya yang bercucuran keringat. Mereka sedang ada di restoran Bakmie Akung Bandung.
“Asyik! Gue bisa nitip-nitip lagi dong”, Nimma berjuang menghabiskan mie pesanannya. Merasa salah karena memesan satu porsi daripada setengah seperti biasa.
“Tapi gue pulangnya lama”, lanjut Sani.
“Berapa lama?”
“Dua tahun…minimal”
“Hah? ngapain?”, pandangan Nimma teralih ke laki-laki di hadapannya.
Sani mengangkat bahu, “Penempatan, di Daimler”
“Wow! Kenapa tiba-tiba?”
“Nggak tiba-tiba, cuma belum bilang Lo saja”, jawab Sani hati-hati.
“Oh”, komentar Nimma sambil mengangguk-angguk.
***
“Nggak marah?”, tanya Sani.
“Kenapa mesti marah?”, Nimma menjawab.
“Biasanya marah kalau nggak dikasih tahu”, Sani menatap Nimma lekat-lekat.
“Ini kan dikasih tahu”, sahut Nimma.
“Oh iya”, Sani tersenyum kecil, seperti menyimpan rahasia.
Nimma melanjutkan menyantap bakso di mangkoknya. Sesungguhnya berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya. Hanya saja dia pandai menyembunyikannya.
***
Sebuah pesan masuk ke ponsel Nimma. Undangan pernikahan dari teman seangkatan saat kuliah. Akhir-akhir ini sering sekali undangan pernikahan datang. Tak mengherankan, memang sedang masanya.
Ah, pernikahan.
Terkait topik ini, Nimma selalu merasa dilema antara bertanya atau menunggu ditanya. Di satu sisi sepertinya itu langkah yang wajar diambil, apalagi sudah ada calon potensial di depan matanya. Tapi di sisi lain dia belum yakin telah siap. Merasa masih kurang bekal. Takut malah merepotkan.
Ah sudahlah, kita pikirkan nanti.
Toh Sani juga akan pergi jauh untuk beberapa saat. Nimma menganggapnya sebagai pertanda. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk membahas masa depan bersama. Justru waktu untuk mencari pengalaman lain. Mungkin di tempat kerja baru seperti rencananya. Mumpung masih sendiri.
***
Desember
Nimma sumringah setelah menyampaikan surat pengunduran dirinya. Keputusan ini tidak datang tiba-tiba. Dia sudah bertekad memulai tahun baru dengan hal baru. Walaupun dia belum tahu apa. Terkait karir, dengan empat tahun pengalaman di belakangnya Nimma sudah mencapai level experienced. Jadi dia tak setakut saat dulu pertama kali mencari kerja. Gadis itu siap menghadapi tantangan apa saja yang dihadapkan kepadanya.
***
"Gue mau minta pendapat lo", kata Nimma ketika suatu sore dia bertemu Sani di pinggir pantai Losari Makassar. Pekerjaan keduanya memang terkadang membuat langkah mereka bertaut secara random di berbagai tempat.
"Apa?", kata Sani sambil memicingkan mata, memperhatikan orang-orang yang berfoto di depan monumen nama pantai yang menjadi salah satu landmark ibukota Sulawesi Selatan ini.
"Gue dapet dua offering kerja. Dua-duanya di Jakarta. Dua-duanya beda banget sama kerjaan gue sekarang. Dua-duanya juga menarik banget dari sisi jobdesc dan offering. Pilihnya gimana?", lanjut Nimma.
***
"Pilih offering ketiga aja", jawab Sani santai. Matanya masih fokus pada orang-orang yang lalu lalang.
"Hah? Gimana?", Nimma menoleh ke arah Sani. Bingung dengan komentarnya yang tidak nyambung.
"Jangan pilih dua-duanya, pilih offering ketiga", lanjut Sani. Masih santai.
"Maksudnya? Offering ketiga apa?", Nimma mengerutkan kening. Mencoba mencari petunjuk.
"Ke Jerman. Sama gue", kata Sani, sambil mengalihkan pandangannya ke Nimma.
***
"...gue serius nih…", Nimma masih tak paham apa yang disampaikan Sani.
"Gue juga serius", timpal Sani.
"Buat apa gue ke Jerman sama lo?", Nimma sudah maksimal mengerutkan keningnya, sampai dia khawatir jidatnya akan berkerut selamanya.
"Ya nemenin gue lah", tukas Sani.
"Agar supaya?", kata Nimma.
"Agar gue bisa sama lo terus dong", Sani menjawab. Senyumnya mengembang.
"...", Nimma tidak tahu harus berkomentar apa.
***
"Bapak lo sudah setuju. Gue ke Malang minggu lalu", lanjut Sani.
Nimma membelalakan mata, "...setuju untuk…?"
"Bawa lo ke Jerman", jawab Sani.
"...kenapa…", Nimma memotong.
"Yah, menurut dia isteri harus ikut kemanapun suaminya pergi"
"...", Nimma terdiam.
***
"Gue jadi suami lo, gimana?", kata Sani.
"...", lagi-lagi Nimma tak bisa berkata-kata.
Sani kembali mengedarkan pandangan. Mencoba mengalihkan perhatian dari jantungnya yang tiba-tiba berdegup kencang. Menunggu komentar Nimma.
***
"Sungguh…", kata Nimma akhirnya, setelah diam cukup lama.
"Apa?", Sani menoleh.
"...lamaran yang aneh…", Nimma melanjutkan.
Sani tertawa.
***
"Tapi jawabannya 'iya' kan?", tanya Sani.
"Wani piro?"
"Hummm…All of me?", kata Sani sambil tersenyum lebar.
Nimma tak menjawab. Gadis itu mengalihkan pandangan dari laki-laki di sampingnya, ke ombak yang berdebur tenang memecah pantai di hadapannya. Membiarkan hatinya yang memutuskan apa yang paling dia inginkan.
***
April
Nimma tau sekarang. Orang tak bisa sekejap berubah kecuali Tuhan membolak balikkan hatinya. Begitupun dengan yang terjadi pada dirinya. Perubahan hatinya yang tiba-tiba mendambakan hal yang lebih bisa diprediksi sepertinya adalah salah satu cara Tuhan agar dia bersiap memasuki lembaran baru kehidupannya. Mungkin supaya lebih legowo. Supaya lebih sabar. Karena tak disangka, lembaran baru yang tersaji di hadapannya tak ada hubungannya dengan pekerjaan. Lebih besar dari itu. Lembaran baru ini adalah awal perjalanan yang jauh jauh jauh lebih menantang dari perjalanan manapun yang pernah ia lalui. Perjalanan sebagai seorang isteri.
***
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Nimma Putri Laksamana binti Laksamana Soetomo dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.”, ucap Sani mantap dalam satu nafas. Matanya bersinar.
"Sah!!", penghulu meneriakkan keputusannya bak wasit pertandingan. Tepuk tangan hadirin membahana. Nimma tersenyum sambil mengusap air matanya.
Mau komenin tahu petis, kenapa malah tersepona dengan cerita ini ya ehehehe. Wah ternyata Nimma-Sani ada sambungannya, dan akhirnya SAH! Alhamdulillah.. Semoga samawa Nimma dan Sani :)
ReplyDeleteSelamat ya Nimma, memilih offering yang ke-3 jelas merupakan keputusan jitu ehehehehe. *kenapa jadi ikut meneteskan air mata ya pas baca ending-nya...
Alhamdulillah, kita berhasil mengawal Sani dan Nimma sampai ke pelamanina...sahhhh !
ReplyDeleteGemesin banget ya si Sani ni, suka bikin deg-degan aja hehe