Setiap perjalanan menyimpan kisah. Baik yang manis maupun yang pahit. Tapi kadang yang dipamerkan hanya bagian asyiknya saja. Bagian susahnya disimpan buat diri sendiri saja. Lha ya ngapa mesti menambah derita dunia? Haha. Tapi sekarang saya cerita pahit - pahitnya juga deh, biar nggak manis - manis terus. Sekali - sekali biar beda.
Gara - Gara Subway
Sebelum back for good ke Indonesia di akhir tahun 2016, mertua datang mengunjungi kami ke Jerman. Kami mengajak mereka berkeliling ke beberapa tempat di Eropa. Hal saya ingat dalam perjalanan ini bukanlah tempat - tempat menarik bersejarah yang kami datangi. Tapi malah bagaimana saya mengalami dua kali meltdown besar.
Pertama saat tidak bisa menemukan tempat tunggu bis untuk ke Napoli di Terminal Bis Roma. Kemudian mendapati, saat sedang terburu - buru berlarian kesana kemari, tempat minum saya yang disimpan di ransel terbuka tutupnya sehingga isinya tumpah kemana - mana. Saya ngamuk meminta suami membuang saja sweater saya yang basah kuyup kena tumpahan air agar tidak perlu bawa - bawa sweater basah kemana - mana. Sambil berlinang air mata sambil terus berusaha mencari tempat tunggu bis yang benar. Padahal bisnya cuma telat saja. Bukan tempat tunggunya yang salah.
Kedua meltdown di pusat kota Vienna sampai beradegan mirip film India, gara - gara Subway. Gerai penjual sandwich bukan kereta.
Jadi ceritanya entah kenapa saat jalan - jalan waktu itu saya malas sekali dengan segala macam masakan Turki. Kebab dan sebagainya. Malas is understatement. Muak lebih tepat. Masalahnya kami pergi dengan mertua dan mereka sangat jaga makanan. Maunya makan yang ada tulisan halal, sementara kami sendiri masih bisa kompromi asal bahan - bahannya halal. Tak pakai babi dan alkohol.
Selain masakan Turki, Pakistan, India, dan sebagainya, Subway, KFC, Nordsee, adalah beberapa makanan on the go kami saat traveling di Eropa.Tapi tentu gerai - gerai makanan tersebut tidak berlabel halal. Saat perjalanan dengan mertua kami mengalah. Cari restoran berlabel halal, karena kebetulan di beberapa kota yang kami kunjungi masih mudah dicari dan ada berbagai macam pilihan.Tak melulu masakan Turki.
Berbagai makanan yang biasanya dibeli selama perjalanan (sumber : dokumentasi pribadi)
Setelah 11 hari sampailah kami di Vienna. Suatu siang, setelah ikut tur di Opera House, jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Saya sudah kelaparan sekali, karena pagi cuma makan roti dari backerai dan rasanya tidak kuat kalau harus pergi ke pinggiran kota mencari restoran Turki untuk makan siang. Di depan Opera House kebetulan ada gerai Subway. Saya bilang ke mertua bagaimana kalau siang itu makan Subway saja biar cepat. Subway memang jual ham, tapi biasanya dipisah dan yang jual selalu ganti sarung tangan setiap kali membuat sandwich.
Mertua tampak ragu - ragu, tapi mengiyakan. Sampai ketika akan masuk gerai, melihat tulisan promo sandwich ham terpampang, Ibu mertua langsung bisik - bisik ke Ayah mertua. "Gimana nih? Jual Babi". Saya yang mendengar hal itu langsung meradang. Tanpa bicara apa - apa balik badan kemudian jalan cepat menuju tempat tram. Muka merah padam menahan tangis. Suami berusaha mengejar tapi karena tidak mungkin meninggalkan orang tuanya, langkahnya jadi agak lambat.
Sampai di halte kebetulan ada tram datang. Suami sudah hampir sampai juga, tapi alih - alih menunggu saya malah masuk ke tram. Meninggalkan dia di ujung halte.
Akhirnya setelah menenangkan diri, saya kirim pesan ke suami, bilang kalau saya mau balik ke penginapan saja. Mereka saja makan sendiri. Di tram tersebut saya berkali - kali mengusap mata. Karena tak tahan akhirnya nangis juga.
Ternyata drama belum selesai, sampai tujuan saya memutuskan untuk jalan - jalan dulu saja menenangkan diri. Lapar sudah saya lupakan, tapi tidak berminat kembali ke kamar. Suami mengirim pesan kalau dia dan mertua menyusul. Mungkin panik. Ya iyalah orang saya tingkahnya sudah kayak tokoh di Penthouse begitu gimana nggak watir ya.
Dramatisnya mirip lah (sumber : www.tumgir.com)
Ketika suami mengirim pesan lagi menanyakan keberadaan saya, saya bilang sedang beli sikat gigi di supermarket. Walaupun sedang meradang tetap ingat groceries. Sungguh wanita. Dia bilang tunggu disana. Sayapun menunggu. Suami menemukan saya duduk di bangku di tengah jalan dengan muka sembab bekas menangis, kerudung acak - acakan, lengan sweater basah karena dipakai untuk mengelap air mata, sambil menggenggam sikat gigi dan deodorant karena nggak bawa tas belanja sementara ransel juga dipegang suami. Mengenaskan sekali.
Dia diam saja, sampai akhirnya saya yang duluan bicara. Saya minta maaf karena kelakuan saya sebelumnya. Kata suami lain kali kalau mau makan yang lain bilang saja, kan bisa saja kami beli duluan, baru setelahnya mengantarkan mertua makan yang lain atau sebaliknya. Mendengar hal tersebut saya menangis lagi sampai sesenggukan. Di tengah jalan. Di Vienna. Pusat musik dunia. Dari kejauhan terdengar suara musisi jalanan bersahutan memainkan saxophone dan biola. Menambah dramatis suasana.
Orang - orang yang lewat mau tak mau melirik. Ada yang berbisik - bisik. Sesungguhnya kalau saya sendiri melihat pemandangan seperti itu pasti mengira kejadiannya lebih dramatis. Seperti putus cinta atau kehilangan keluarga karena perang saudara. Pastinya bukan karena Subway jual ham.
Anyway, beberapa hari setelah kembali ke Jerman saya testpack dan hasilnya positif. Jadi meltdown saya di seluruh penjuru Eropa itu bukan karena saya sedang masuk fase tantrum di awal umur 30an. Apalagi ketempelan jin saudara - saudara. Melainkan disponsori hormon hamil muda sahaja.
Jalan 14 hari ke 5 kota ternyata melelahkan. Di balik senyum manis ada wanita yang tak sadar sedang hamil 2 bulan dan tantrum di setiap belokan.
Mogok Di Happiest Place on Earth
Akhir tahun 2018 saya ikut suami ke Hong Kong. Dia ada konferensi sementara saya ada konspirasi. Konspirasi nebeng suami jalan - jalan.
Sebelumnya saya sudah pernah ke Hong Kong juga buat bulan madu. Jadi sudah sedikit familiar dengan jalan - jalan disana. Walaupun tetap pengalaman baru karena pertama kalinya keluar negeri bawa anak. Anak baru satu waktu itu. Sebut saja dia Mbarep.
Waktu itu Mbarep masih umur 20 bulan. Sudah banyak maunya tapi belum bisa ngomong jelas :')
Mbarep punya masalah makan. Dia nggak mau ngunyah dan cuma mau makan bubur. Bubur yang dijual mang Bubur di Cisitu Bandung tepatnya. Saat kami di Hong Kong dia nggak mau makan sedikitpun. Padahal saya sampai bela - belain bawa slowcooker dan beras dari Indonesia buat bikin Bubur. Setiap hari saya bikin bubur. Tapi dilirik juga tidak. Selama di Hong Kong, kebanyakan dia cuma makan Pocky sebatang dua batang dan minum susu Bingrae Strawberry. Untung bisa habis 3 - 4 kotak sehari.
Di Hong Kong kami tak melewatkan kesempatan mengunjungi Disneyland. Walaupun belum ngerti, tapi Mbarep happy sekali, karena tempatnya luas dan dia bisa lari - lari sambil lihat segala macam.
Sampai waktunya pulang ke penginapan sekitar jam 8 malam. Di jalan antara gerbang dan halte MRT, Mbarep tetiba mogok. Tidak mau bergerak selangkahpun. Saya tawarkan gendong tidak mau. Mau paksa diangkat dia memberontak.
Saya tanya sakit perut dia menggeleng. Lapar juga katanya "No". Selanjutnya dia ubah posisi jadi tiduran di jalan. Terlentang sambil pegang perut. Kalau nggak lihat dia senyum - senyum pasti saya sudah panik.
Lalu setelah 10 menit yang rasanya bagai seharian si Mbarep tetiba bangun dan menarik - narik tangan saya sambil mengusap - usap perutnya. Saya tanya lagi, lapar? Bukan. Mau susu? Nggak. Mau Pocky? Nggak. Di sebelah ada tukang jual kentang, saya tanya mau kentang, dia juga bilang "No". Lalu tak berapa lama dia bilang "Gojek" sambil meringis. Otak saya berputar, sampai ada lampu menyala di kepala.
Mau bubur? kata saya. Matanya langsung berbinar. Saya keluarkan sekotak bubur dari ransel, dia langsung lonjak - lonjak gembira. Akhirnya setelah 3 hari bawa - bawa bubur berakhir dibuang, bubur bikinan saya laku juga. Ternyata dia bukan lapar saudara - saudara, tapi mau Bubur yang biasa dibeli pake Gojek. Untung waktu itu sudah malam dan mungkin karena lapar dia nggak masalah dengan bubur dingin ala kadarnya yang dibuat maknya.
Ditulis dalam rangka Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Februari dengan tema Pengalaman Travel yang berkesan.
Wkwkwkwkwk owalaah Restu, Restu. Hormon ya Restu ihihiiy. Ternyata sedang hamil muda, jadinya suka sebel sendiri yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata.
ReplyDeleteBtw foto menu Subway-nya bikin ngiler. Kenapa para Mamah MGN bisa membuat foto makanan jadi menggoda gitu ya ehehe. Belum kesampaian nih makan Subway, rameeee terus tempatnya. :(
Ilustrasi ibu-ibu "Penthouse" pun bikin kaget dan ngakak, dramatis sekali pasti ya kala itu perasaan Restu. ehehehe.
Iya nih mbak pengalaman hamil muda pertama yang tak terlupakan lah. Dari sisi emosional sangat menguras jiwa :))
DeleteSama nih, kupun kangen subway hiks.
huwaaa... fixed, aku banyak relate! meski bukan karena hormon! hahahaha... peluuuk... 🤗
ReplyDeletePeluk baliik :D
Deletegemeeessss bacanya ini teh Restu. Positif ternyata ya ha3 ...
ReplyDeletesalam jalan-jalan
Salam kembali :D
Deletehahaha Restu maaf ni ya, kayanya masalah Restu dan Mbarep sama, makan :). Ini kejadian juga di keluargaku, mau tidur hotel biasa2 ampe jelek pun ngga masalah, asal makan jangan sampai telat wkwkwk.
ReplyDeleteNgakak baca gojek identik dengan bubur ayam mamang cisitu :)
Iya nih, mungkin karena pas hamil dia aku memang ada masalah makan. Ngefek nggak ya :))
DeleteHormon...hormon... untung tidak sampai merusak perjalanan seru di Eropa ya Restu.
ReplyDeletedimulai dengan drama diakhiri dengan gojek. aduh itu mbarep sekarang makannya gimana? masih lebih doyan makanan yg dibawa abang gojek?
ReplyDeleteAlhamdulillah sekarang sih walaupun makannya itu itu aja tapi sudah lebih variatif dan buanyaakk...
DeleteAwalnya emaknya yang rewelnya dilanjut anak yang rewel hihihi kocak. Aku juga kalau udah hormonal jadi mudah tantrum ahaha. Salam kenal teteh 🤗
ReplyDelete