Tentang Titel Mamah Gajah
Seperti pernah saya tuliskan tepat setahun lalu, saya juga tidak tau kenapa bisa diterima di perguruan tinggi teknik paling bergengsi di Indonesia dan bisa lulus dengan selamat tanpa drama. Rasanya semua semata hanya karena doa orang tua saya saja.
Tapi berkat perjuangan saya belajar 6 tahun di sana saya jadi berhak menyandang titel Mamah Gajah. Peduli amat deh kalau sekarang yang tersisa dari perjuangan selama 4 + 2 tahun tersebut hanyalah lembaran ijazah berdebu dan foto salaman dengan rektor, yang tergantung di rumah orang tua yang sekarangpun kosong. Paling penting dengan bermodal NIM tidak ada yang menyanggah kalau saya mengaku sebagai Mamah Gajah.
Tentang Gading yang Retak
Sebetulnya kebanggaan sebagai Mamah Gajah buat saya ya hanya berhenti di titel saja. Selebihnya saya hanya ibu - ibu biasa yang jauh dari kata sempurna. Karena tentu tidak ada bedanya juga Mamah yang Gajah dan non Gajah. Sama - sama ibu - ibu. Cuma mungkin yang ada label gajahnya sedikit lebih ngeyel yakin pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi berbagai tantangan. Mungkin lho ya. Dalam kasus saya sih jelas, suka sok yakin. Hehe.
Seperti peribahasa Tak Ada Gading yang Tak Retak, begitupun dengan gading Mamah Gajah. Tak ada yang tak retak. Bahkan Ganesha yang dijadikan lambang almamater Mamah Gajah pun patah satu gadingnya. Walaupun menurut kisahnya patah karena bertarung tapi bolehlah kita jadikan pengingat bahwa memang tak ada yang sempurna di dunia.
Bulan Januari ini Mamah Gajah Ngeblog mengajak menulis tentang diri sendiri lewat Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog dengan tema Tentang Dirimu, Mamah Gajah. Untuk menjawab tantangan ini saya mau menulis tentang retakan di gading milik gajah yang ada di pelupuk mata saja. Alias sifat - sifat diri sendiri yang kurang bisa dibanggakan. Daripada nulis tentang semut di seberang lautan, yang bahkan tak punya gading ya kan.
Oh wow, melihat banyaknya peribahasa yang saya pakai, harusnya saya kuliah literatur saja dulu.
Engineer Palsu
Suami saya selalu bilang saya ini engineer palsu. Saya punya gelar sarjana dan magister. Dua - duanya di bidang teknik, tapi saya masih gelagapan ketika ditanya anak saya, kenapa kapal bisa tidak tenggelam atau kenapa api bisa padam dengan air atau kenapa lampu bisa menyala.
Coba bocah nanyanya itu siapa saja member BTS? kalau itu kan saya bisa jawab dengan yakin. Sampai ke sifat - sifatnya juga bisa saya kasih tau. Nggak perlu bawa - bawa ijazah segala dan nggak berisiko diteriakin Archimides dengan "Katanya Sarjana Teknik!!", yang tentu akan saya teriakin balik. "Mohon maaf Pak! Dulu saya lulus Fisika modal ngapalin isi buku Gamais aja!" :') apapun soalnya tulis jawabannya pakai solusi yang ada di buku.
Tak Sadar Kalau Introvert
Dulu saya selalu berpikir, orang introvert itu adalah orang yang pendiam, penyendiri, dan tertutup. Sementara saya selalu merasa sebagai orang yang terbuka, cerewet, ceplas - ceplos, kalau ngomong suaranya keras, habladi hablada. Intinya sifat saya tidak ada sisi introvert based on textbook sama sekali. Kalau saya mengaku lebih senang menyendiri, seringnya saya ditertawakan atau dikira berhalusinasi.
Ciri - ciri orang introvert menurut www.verywellmind.com
Tapi setelah saya dewasa saya mulai menyadari betapa introvert-nya saya ini sebetulnya. Berinteraksi dengan orang lain membuat saya cepat lelah dan saya makin perlu sendirian beberapa saat untuk dapat menjernihkan pikiran. Or I'll be a mess.
Baru - baru ini juga saya menyadari kenapa saya tidak punya teman atau tidak bergabung dengan banyak komunitas. Ternyata memang karena saya takut bergaul. Saya takut tidak bisa fit in atau terlihat aneh sehingga memilih untuk tidak bergabung. Inilah mengapa motto hidup saya bukan witing tresno jalaran saking kulino atau tak kenal maka tak sayang. Karena saya memang takut mau kenalan duluan.
Bahkan ketika akan memilih sekolah anak, salah satu pertanyaan pertama saya, seberapa sering dan intense kegiatan kumpul - kumpul orang tuanya. Heuheu. Saya takut harus ketemu orang baru. Takut nggak bisa kontrol muka. Lah ini introvert apa suudzon ya. Namun ada kekhawatiran juga orang lain justru mukanya jadi tak terkontrol gara - gara saya. Karena saya mengakui kelakuan saya kadang agak ajaib :')
Tapi sebenarnya kalau diantara orang - orang yang sudah kenal, dan tidak terlalu menuntut level keakraban tertentu, saya bisa - bisa saja kok bergaul. Nggak aneh - aneh amat. Masih bisa ditolerir orang kebanyakan lah. Haha.
Mamah Gajah yang ini jago kandang memang.
Kerja Berlebihan Bikin Cranky
Masih tentang sifat tersembunyi saya sebagai introvert, dulu saya menemukan solitude saat bekerja. Kerja adalah my absolute me time. Lucunya pekerjaan saya sekarang menuntut saya berinteraksi dengan orang hampir setiap saat, dan meskipun saya cukup menikmatinya, sometimes it drained my energy quickly sampai pada poin saya tidak sanggup menghadapi hal lain sepulang kerja. Termasuk menanggapi suami dan anak - anak.
Tapi lalu saya diingatkan bahwa pekerjaan saya, di akhir hari hanyalah pekerjaan. Sementara mengurus suami dan anak - anak adalah kewajiban. Sebelumnya saya pernah mencoba memaksakan diri, mencoba melakukan semua hal dengan mengabaikan kebutuhan saya untuk menyepi dan recharge. Tapi kemudian lelah sendiri dan jadi cranky.
Emak - emak cranky adalah hal paling mengesalkan nomor dua di seluruh dunia. Nomor satunya sepertinya masih disepakati, tetap emak - emak naik motor tanpa pengetahuan yang cukup tentang lampu sein. Jadi sekarang, instead of memaksakan diri melakukan semuanya tanpa jeda, I make amends with my self, terutama soal pekerjaan.
Mendelegasikan sebagian pekerjaan yang mengharuskan interaksi dengan orang ke kolega kerja (kerjaan kami cukup fleksibel untuk bertukar peran), set waktu bekerja yang strict dan mencoba mengabaikan notifikasi di ponsel, serta berusaha mengontrol diri untuk tidak impulsif. Langsung berusaha menyelesaikan masalah yang muncul saat itu juga. Karena merasa tertantang.
Yah, kalau tidak perform kan paling dimarahi pimpinan. Worst case, kalau sudah kelewatan ya dipecat. Haha. Tapi sudahlah. Kan saya Mamah Gajah, I can always find something else to do.
Dengan membagi dan membatasi kapasitas otak untuk urusan pekerjaan, saya jadi punya energi lebih untuk memikirkan dan mengerjakan hal lain. Menulis misalnya atau memikirkan dan mengerjakan hal - hal spritual. Sehingga kebutuhan mental saya untuk recharge terpenuhi dan overall bisa jadi lebih happy.
Ini kenapa nulisnya jadi kayak anak Jaksel begini ya. Padahal seumur - umur nggak pernah gaul disana :')
Bukan Orang Tua Sempurna
Saya yakin setiap orang tua punya cobaannya masing - masing, sekalipun yang terlihat sempurna di Sosial Media. Dadah dadah ke mamah mamah selebgram. Begitupun dengan saya dan suami, yang baru seumur jagung menjalankan peran ini.
Jadi orang tua itu setiap hari bagi kami adalah perjuangan. An everyday battle. Berbeda dengan semua ujian yang pernah kami hadapi di bangku sekolah, yang bisa dikerjakan, seperti kata saya diatas, paling tidak dengan menulis ulang solusi di buku Gamais, we have absolutely no idea bagaimana cara menjalani ujian sebagai orang tua dengan baik dan benar. Walaupun baik dan benar disini relatif ya, karena ujian orang tua berbeda beda satu dengan lainnya.
Tak ada guidelines untuk jadi orang tua dan manusia terlahir tanpa manual. Jadi seberapapun jagoannya kami dalam hal eksakta dan seberapa banyak teori parenting yang kami baca dan hapalkan, sungguh tidak akan pernah menjadi jaminan bisa jadi orang tua yang baik.
Duo balita kesayangan ini beda umurnya cuma 2.5 tahun. Satunya sedang di fase fantastic four, satu lagi di terrific two. Setiap hari rumah super ramai. Jadi kalau Cinta ada di rumah sini dia tak perlu lari ke hutan belok ke pantai dan pecahkan gelas serta goyangkan loncengnya sampai gaduh (lagi lagi referensi 2000-an). Haha.
Apalagi anak - anak kami mewarisi kombinasi sifat ngeselin yang sempurna dari kami berdua. Mungkin ini yang namanya karma karena dulu saat kami kecil katanya sifat - sifat tersebut yang membuat orang tua kami kerepotan juga.
Magnet dengan kutub yang sama pasti akan tolak menolak sampai salah satunya mengalah dan berputar. Begitupun dengan kami dan anak - anak. Setiap hari benturan dan letupan pasti terjadi. Antara saya dengan anak - anak, suami dengan anak - anak, antara anak besar dan anak kecil, pun antara saya dan suami. Hampir selalu dihiasi dengan rengekan, tangisan, teriakan, muka cemberut, dan adegan - adegan a la sinetron lainnya.
Kalau sudah begini biasanya jiwa introvert saya memberontak. Sekuat hati harus menahan keinginan untuk kabur saja, meninggalkan kerusuhan dan mencari ketenangan untuk mendinginkan kepala. Seringkali juga terlintas di kepala saya, apa cara yang kami pilih untuk mengasuh anak - anak ini sudah tepat? Bagaimana kalau kami ternyata melakukan hal yang buruk, lalu anak - anak jadi punya trauma, kemudian jadi benci orang tuanya, dan berbagai pikiran absurd lainnya.
Tapi ya sudahlah, untuk semua teori parenting kan hanya waktu yang bisa membuktikan keberhasilannya, jadi untuk sementara kami coba konsisten saja dengan hal yang kami yakini.
Semoga kedepan anak - anak akan memahami, kalau orang tuanya hanya berusaha mengarahkan mereka. Agar paling tidak, seminimal mungkin jadi orang yang decent, tidak merepotkan orang lain, atau jadi beban masyarakat. Syukur - syukur punya sumbangsih lebih pada negara dan dunia. Peraih nobel gitu misalnya.
Lha keluar ambisiusnya :))
Impulsif is My Middle Name
Sebagai orang yang selalu membanggakan kemampuan untuk berpikir secara rasional dan semenjak SMA sudah dididik untuk berlogika (hallo jurusan IPA), sepertinya saya terlalu sering membiarkan insting saya berkuasa. Saya ini adalah orang paling impulsif yang saya tahu. Sering bertindak tanpa pikir panjang kemudian pusing sendiri.
Rumah tetiba didatangi banyak Kang Paket? Kemungkinan saya yang sedang impulsif ganti semua baju anak - anak yang sudah kesempitan. Banyak peralatan baru di rumah? biasanya saya sedang impulsif mencoba menjalankan hobi baru, yang biasanya hanya bertahan seminggu :')
Masih agak lumayan sekarang hanya Kang Paket yang datang, jaman belum menikah, saya bisa ujug - ujug impulsif ambil kerjaan yang mengharuskan saya pergi ke suatu tempat antah berantah. Sampai orang tua sudah tidak bisa tracking anaknya dimana. Dipikir sedang makan ayam geprek di Bandung, ternyata sedang makan ayam tangkap di Banda Aceh. Dipikir sedang ketik - ketik di Jakarta ternyata sedang ngapung - ngapung di kapal mau ambil data di Talaud.
Episode kehidupan paling absurd dan impulsif. Serba mendadak. Mendadak Ende, mendadak Bukit Tinggi, mendadak Mamuju, mendadak Sorong, dan mendadak - mendadak lainnya.
Begitulah romansa masa muda. Sekarang sih impulsif hanya sebatas di ujung jempol saja. Boro - boro mau impulsif berpergian, pergi yang terencana saja belum berangkat sudah lelah duluan. Faktor U nih :))
Menunda is My Best Frenemy
Ini adalah penyakit saya sejak lama. Menunda - nunda mengerjakan sesuatu. Sampai deadline lalu kemudian rungsing sendiri. Sungguh sangat iri pada orang yang bisa produktif dan sebetulnya ingin begitu juga. Tapi mindset masih mentok di "sudahlah, masih ada hari esok". Padahal hari esok tidak dijamin akan bisa ditemui ya. Heuheu.
Sifat menunda nunda ini kalau dipikir - pikir sebetulnya agak kontradiktif dengan sifat impulsif yang saya punya. Eh atau malah saling menguatkan ya. Karena menunda sampai titik penghabisan, lalu jadi impulsif nggak karuan buat menyelesaikan hal yang tertunda sebelum deadline.
Apapun itu, sebetulnya sudah banyak kejadian yang disesali karena saya menunda - nunda. Paling tidak saya pikir hasilnya bisa lebih memuaskan kalau tidak ditunda - tunda. Ya seperti tulisan inilah. Ditunda hingga detik penghabisan, karena berbagai alasan. Lalu setelahnya menyesali diri karena tidak bisa menulis dengan lebih menarik lagi. Seperti mamah - mamah lainnya.
Beginilah kalau punya sedikit jiwa perfeksionis tapi suka menunda - nunda. Sering sekali menyesal tiada guna. Haha.
Tapi in my defense, menunda juga tidak selalu jelek sih. Melihat situasi dulu baru bergerak, supaya kalau ada perubahan tidak kerja dua kali, juga suatu bentuk efisiensi. Mungkin inilah setitik jiwa jawa saya yang masih tersisa walaupun sudah belasan tahun tinggal di tanah sunda. Alon - alon waton kelakon. Maka dari itu saya sebut sifat suka menunda - nunda saya sebagai friend enemy. Karena bisa merugikan atau menguntungkan tergantung situasi.
Penutup
Alhamdulillah tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog yang pertama ini berhasil diselesaikan. Tepat 6 jam sebelum deadline. Ternyata susah juga menulis tentang diri sendiri. Batasannya tipis untuk tidak terkesan antara too much information, humble brag, atau sok - sok misterius. Haha.
Begitulah sedikit cerita tentang retakan di gading versi mamah gajah yang ini. Semoga bisa menjadi benchmark buat mamah lain yang sering merana karena merasa banyak kekurangan. Percayalah you are so much better than what you think you are. Mungkin seiring berjalannya waktu dan semakin banyak uban, retakan gading tersebut makin banyak. Bisa menjadi intropeksi seumur hidup atau malah menjadi semakin halus kemudian menyatu membentuk lekukan - lekukan gading yang indah. Apapun itu semoga ada yang pembaca bisa ambil hikmahnya dari tulisan ini walaupun hanya sebesar geram sisa permesinan.
Kemudian Bapak Frederick W. Taylor pun tersenyum karena paling tidak saya masih bisa ingat istilah Proses Manufaktur (walaupun sempat nanya suami yang hanya dibalas dengan alis yang mengerenyit).
Sungguh niat pasang foto Mister - Mister Amerika daripada Oppa - Oppa Korea yang telah terbukti menarik minat pembaca. Tapi namanya juga usaha untuk menjadi sedikit ilmiah biar tidak dibilang engineer palsu terus sama suami tercinta. Silahkan diperhatikan baik - baik. Siapa tau di suatu masa mendatang anak Mamah bertanya siapakah bapak - bapak ini dan apa jasa - jasanya bagi umat manusia. Mamah sudah tau jawabannya.
:)) as always, Kocak teh Restu.
ReplyDeleteEhehehe bacanya sambil senyum-senyum menggembirakan. Wah Restu, aku tersepona dengan optimistis Restu,
ReplyDelete"Yah, kalau tidak perform kan paling dimarahi pimpinan. Worst case, kalau sudah kelewatan ya dipecat. Haha. Tapi sudahlah. Kan saya Mamah Gajah, I can always find something else to do."
Salut, Mamah Restu. :) Nice to know u.. :)