Dalam empat tahun pertama pernikahan kami, saya dan suami tidak dikaruniai buah hati. Untungnya kami ini termasuk pasangan yang happy go lucky. Tidak terlalu pusing dengan masalah belum hamil. Hari-hari kami berjalan dengan gembira tanpa dihantui pertanyaan mengapa kami belum punya anak. Menikmati hidup yang ada berdua dengan cukup bahagia. At least, bagi kami sih bahagia ya. Orang-orang yang melihat kami sih nampaknya ada saja yang merasa hidup kami seperti kurang bumbu karena belum punya anak. Biarlah itu hak mereka 😛
Akan tetapi, secuek-cuek dan sesantai-santainya saya, tetap saja ada momen-momen yang membuat hati saya sedikit berdesir #halah meskipun tidak sampai baper berlebih. Misalnya saat mendengar kabar orang lain hamil.
Kadang saya merasa left out saat melihat orang lain memamerkan kebahagiaannya dengan si kecil (salahkan sosial media) atau jika ada di tengah kumpulan ibu-ibu yang sepertinya tidak punya topik pembicaraan lain selain anak.
Sekali dua kali terlintas perasaan khawatir bagaimana kalau kami tidak akan pernah punya anak atau tidak akan pernah dipercaya oleh Allah untuk dititipi keturunan.
Seringkali jiwa ini juga disergap perasaan sebal saat ada orang yang mulai berceramah tentang perkara hamil, sampai terkesan menuduh saya dan suami menolak memiliki keturunan. Orang-orang itu tentu saja tidak tahu apa yang kami lalui dan biasanya komentar mereka hanya saya tanggapi dengan senyum senyum saja. Senyum senyum terus kabur tentunya. Haha!
Ya gimana sih? Andaikan anak bisa dipesan di Amazon. Mungkin saya sudah pesan dari dulu 😅
Nah, sekarang bayangkan, saya yang termasuk golongan cuek saja bisa merasa segitunya, bagaimana dengan orang-orang yang diberi ujian dalam hal keturunan padahal mereka benar-benar mendambakan kehadiran buah hati? 😐
Orang-orang yang sampai menangis hanya karena melihat foto motherhood challenge di social media atau merasa nelangsa meihat perdebatan - perdebatan seputar motherhood, seperti ASIX dan status kerja ibu yang tidak bisa mereka ikuti karena merasa belum "qualified", atau pasangan-pasangan yang harus melalui berbagai macam bentuk perawatan medis yang menyakitkan, mahal, dan tentu saja menguras emosi dan kesabaran hanya untuk dapat menimang buah hati sendiri.
Berbekal pengalaman tersebut, ketika sekarang saya hamil, saya berjanji untuk tidak mau ribut-ribut perkara keturunan. Apalagi jika bertemu teman yang masih belum diberi kesempatan untuk mendapatkan buah hati. Jarang sih memang. Rata-rata teman saya langsung punya anak beberapa saat setelah menikah. Tapi yah siapalah yang tahu isi hati orang. Siapa tahu teman-teman saya yang belum menikah juga sudah segitu inginnya menimang bayi atau yang sudah punya anak pun punya kesedihan karena kesulitan menambah momongan.
Kun faya kun. Hanya itu yang perlu Allah ucapkan saat berkehendak, maka terjadilah semua hal di dunia ini. Baik yang terasa mungkin atau tidak mungkin.
Kapan Allah akan berkehendak dan mengucap Kun Faya Kun? Ya hanya Allah yang tahu.
Makanya saya tidak akan bertanya kepada siapapun perkara keturunan, jodoh, dan sebagainya. Karena saya tahu yang bisa dan berhak menjawabnya hanya Allah. Kita manusia sih hanya bisa sok tahu saja 😝
Halo mbak.. barusan baca komen mba di blognya leija soal buku emma apple... bisa info by email pricelistnya? email ke gadis.cb@gmail.com
ReplyDeletethank you :))
Sepakat mba, saya juga pernah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak bertanya kepada orang2 yang belum punya anak padahal pernikahnnya sudah lama, karena memang ga enak ditanya seperti itu. Kalau menurut saya itu sudah pertanyaan pribadi..
ReplyDelete