Friday, April 3, 2015

Baca Baca Buku #2

Anyway, saya bagikan sekilas tentang buku-buku yang saya baca. Siapa tau ada yang sedang cari referensi bacaan dan tertarik dengan buku yang sudah saya baca.

Pada setiap akhir tulisan saya akan memberikan nilai untuk setiap buku. Nilai yang saya cantumkan  bukan mengenai seberapa bagus buku tersebut ditulis, karena saya jelas tidak memiliki kompetensi dalam bidang bahasa, tapi mengenai besar rasa suka saya terhadap buku tersebut dalam skala 1-10.  

Untuk urusan jenis buku, pilihan saya cenderung condong ke buku fiksi untuk pembaca young adult dan middle grade. Tapi beberapa waktu belakangan ini saya juga mulai baca buku fiksi yang  agak dewasa. As dewasa as I can be lah :P

In the Garden of Beast : Love and Terror in Hitler's Berlin (Erik Larson)

Siapapun yang mengunjungi Berlin pada akhir Desember 2014, akan disambut dengan suasana natal dan persiapan tahun baru. Seperti layaknya kota-kota besar lain di seluruh dunia, Berlin juga akan menyelenggarakan pesta besar untuk menyambut pergantian tahun. Walaupun suhu udara yang mencapai minus delapan derajat celcius membuat suasana kota tak seramai biasanya, kesibukan untuk mempersiapkan hajat tahunan tersebut jelas terlihat. Di Pariser Platz, plaza tempat Brandenburger Tor berada, kendaraan-kendaraan konstruksi sibuk lalu lalang. Akses masuk ke Tiergarten dari arah Unter den Linden ditutup sementara di bagian depan Brandenburger Tor sedang dibangun panggung pertunjukan. Palang besi dipasang mengelilingi area-area kedutaan besar yang ada di sekitar plaza, untuk menghalau pengunjung pesta agar tidak mengotori daerah tersebut. Tujuh puluh tahun setelah berakhirnya perang dunia II dan dua puluh lima tahun setelah reunifikasi Jerman,  suasana teror yang menyelimuti Berlin di masa lalu sudah habis tak bersisa.    

Menurut buku ini, suasana kota besar yang hidup, penuh cahaya, dan pesta juga menyambut William Dodd beserta keluarganya saat tiba di Berlin pada musim panas tahun 1933. Bedanya dengan situasi yang bisa ditemui saat ini, pada masa tersebut di seluruh penjuru kota bertebaran slogan-slogan dan poster Third Reich, yang menandai awal masa kepemimpinan Adolf Hitler dan Partai Nazi. Semangat kebaruan menyelimuti kota dan seluruh penjuru Jerman. Semangat yang kedepannya terbukti hanyalah sebuah ilusi. Mengingat kurang dari 10 tahun setelahnya, Berlin dan juga Jerman akan porak poranda bahkan terbagi dua akibat perang dunia II.

Mengunjungi Berlin (dan tinggal di Jerman) adalah salah satu pendorong saya untuk membaca In The Graden Of  Beasts. Buku non fiksi setebal empat ratus halaman ini menceritakan kisah William Dodd sebagai duta besar Amerika Serikat untuk Jerman, dimana dalam masa jabatannya (1933-1937), beliau telah menjadi saksi kebangkitan seorang monster. Monster yang membuat Jerman tenggelam dalam situasi yang irasional, brutal, kejam, dan penuh kegilaan.

Dengan gaya bercerita yang unik Erik Larson berhasil membuat saya bertahan untuk terus menelusuri  halaman demi halaman buku ini. Pencapaian luar biasa bagi saya yang kerap menghindari buku non fiksi dan lebih tertarik menyelam dalam cerita cerita imajinatif.  Tokoh-tokoh dalam bukunya, yang semuanya benar-benar nyata, diceritakan layaknya karakter dalam kisah fiksi. Bahasa yang digunakan juga cukup mudah dimengerti. Walaupun seringkali saya harus berhenti sejenak untuk berpikir atau menelusuri kembali halaman-halaman yang sudah terlewati, karena banyaknya nama tokoh yang muncul dan kosa kata yang kurang familiar bagi saya.

Bagi saya buku ini memberikan pemahaman baru mengenai Perang Dunia II. Cerita mengenai perangnya sendiri tentu saja sudah sering disampaikan dalam buku dan film, akan tetapi cerita sebelum perang tersebut terjadi masih jarang diceritakan : bahwa kondisi Jerman saat itu sangat di luar logika sehingga kebanyakan orang Jerman yang belum terbutakan oleh Nazi tahu ada sesuatu yang salah, bahwa keinginan Hitler adalah satu-satunya alasan mengapa semua hal-hal buruk terjadi, atau bahwa orang-orang Yahudi bukanlah satu-satunya korban kekejaman Partai Nazi, melainkan setiap orang yang tidak dikehendaki oleh Adolf Hitler. Bahkan banyak pejabat tinggi Partai Nazi yang dibunuh atas perintah Hitler dengan alasan "dicurigai akan melakukan kudeta" walaupun semua bukti menunjukkan mereka setia. Lebih setia daripada kepada pasangan mereka malah. 

Hal yang saya sukai dari buku ini adalah Erik Larson menuliskannya dalam tone netral. Tidak ada pahlawan dari bangsa tertentu yang ditonjolkan dan tidak ada penjahat yang disorot dengan tajam.  Semua kejadian dituliskan dengan lampiran bukti-bukti sejarah. Dibubuhi komentar yang lucunya terkadang membuat saya tertawa. Seperti membaca reportase yang tidak didramatisir. Hal yang sangat jarang ditemui akhir akhir ini. 

Buku ini sangat direkomendasikan bagi peminat cerita sejarah yang ingin mengetahui lebih banyak mengenai sejarah Jerman dan Perang Dunia II tapi tidak cukup kuat hati untuk membaca buku sejarah "betulan" yang terkadang saking "menariknya" bisa mengobati insomnia. Hehe! (8/10)

11 comments:

  1. Tehh, berat bacaannya �� rasanya sekarang udah gak sanggup lagi baca cerita sejarah. Kereen ditunggu review buku yang lainnya ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya teh ini mah jaman belum punya anak. Sekarang baca novel saja nggak selesai selesai 🤣

      Delete
  2. Baca ini saya jadi inget kunjungan singkat saya ke Berlin, inget juga pernah foto di Brandenburg Tor ini, trus nemu kendaraan kaya bajaj gitu tapi covernya Visit Indonesia. :)) Ketika ke Berlin, suami saya cerita tentang Hitler. Sama kaya yang diceritain teteh di atas, bahwasanya orang-orang Yahudi bukanlah satu-satunya korban kekejaman Partai Nazi. Orang-orang homoseksual, orang-orang dengan fisik yang berbeda, orang-orang dari ras-ras lain yang berbeda dengan Hitler pun jadi korban, karena konon katanya Hitler ini hendak melakukan pemurnian ras. Memang sejarah kan gak bisa hitam dan putih ya teh. Untuk memahaminya, harus banyak baca dari berbagai macam sudut pandang. Tapi, apa pun yang melatarbelakanginya, semoga sejarah kelam yang mengandung kekejaman luar biasa ini tidak terulang.

    ReplyDelete
  3. Pengen baca..penasaran banget sama cerita - cerita perang dunia tapi ga pengen baca buku sejarah beneran. Thank you for sharing Teh.

    ReplyDelete
  4. Wah Mba Restu ini salah satu blogger favorit niy ehehe. Tulisannya banyak yang menarik buat saya.

    Restu, I'm SOLD, saya jadi ingiin sekali membaca buku ini. Coba nanti saya cari di Kindle, semoga ada buku karya Erik Larson ini.

    Pertama, karena saya suka menyelami kisah-kisah yang related dengan 'event besar' tersebut, seperti novel 'The Boy Who Followed His Father Into Auschwitz' walaupun jujur saya sering tidak kuat untuk meneruskan ke halaman berikutnya saking tragisnya, biasanya akan saya skip sampai yang bagian sudah 'aman'nya. Juga biografi Hitler, yang ternyata seorang politikus handal, komandan militer hebat, orator ulung, yang sayang banget kelebihannya yang WOW itu digunakan untuk hal yang sangat buruk.

    Kedua, saya suka SEJARAH. Padahal saat sekolah, pelajaran sejarah adalah yang paling saya benci karena harus menghafal nama dan tahun, plus mungkin juga karena cara guru saya mengajarkannya kurang menarik buat saya. Ternyata seiring berjalannya waktu, tiap beli buku, sukanya yang sejarah gitu. Ehehe. Dan sungguh mengasyikkan membaca pengalaman hidup manusia-manusia terdahulu.

    Nah, dan saya juga SANGAT SETUJU SEKALI dengan Restu, di bagian 'tone netral yang dibawakan Erik Larson dalam menuliskan karyanya'. Ini penting banget, karena SEJARAH kan juga part of science, yang harus ditulis apa adanya tanpa dramatisir.

    Trimakasih infonya ya Restu. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama teh.. dulu saya gak suka sejarah. Mungkin buku sejarah di sekolah itu gak enakeun ya menyajikannya.

      Tapi skrg ternyata sejarah itu mengagumkan. Mungkin karena skrg gampang cari foto dan gambarnya jadi lebih ngerti ceritanya.

      Delete
  5. Menarik bukunya teh. Bisa dimasukin daftar want to read.
    Ngeri ya emang kalau kekuasaan ada di tangan orang yang jenius tapi narcissistic. Aku suka serem liat sosmed skrg sangat mempromosikan narsisme individual. Ngeri kalau nanti ke depannya generasi ke depan sangat narsis, memuja diri sendiri sebagai yang paling ok lalu gak ada empati sama orang lain.

    ReplyDelete
  6. Wah sama teh, saya juga bukan tipe yg suka baca buku non fiksi (itu pun jaman blm punya anak haha), berarti keren nii bukunya penyampaiannya bisa kayak fiksi yaah. Dari sinopsisnya keknya suamiku bakal suka nih bukunya hahaa makasih teh infonyaa

    ReplyDelete
  7. Memang belajar sejarah lebih menarik kalau dalam cerita ya, tapi semoga dalam cerita fiksinya tidak banyak penyimpangan cerita dalam sejarah hehehe... Eh tapi kalau bukunya memang berdasarkan sejarah, biasanya sih malah tambah seru bacanya, walaupu aku mungkin akan lebih suka menontonnya saja daripada membaca hehhee...

    ReplyDelete
  8. Wow menarik banget. Aku baru tahu soal buku ini dan jadi penasaran. Jujur, aku malah belum pernah baca buku yang spesifik tentang sejarah Jerman. Terima kasih rekomendasinya.

    ReplyDelete