Mulai awal bulan April saya kursus bahasa Jerman di Volkhochschule Stuttgart. Volk artinya rakyat hoch artinya tinggi dan schule artinya sekolah. Jadi Volkhochschule, disingkat VHS, artinya kurang lebih sekolah tinggi rakyat. Jangan bayangkan VHS seperti sekolah rakyat yang didirikan oleh Budi Utomo dan Ki Hajar Dewantara pada jaman dahulu kala di Indonesia. Sekolah rakyat di sini tidak menyediakan pendidikan dasar melainkan memberikan layanan pendidikan tersier. Bahasa, komputer, musik, kesenian, memasak, olah raga adalah beberapa hal yang bisa dipelajari di sekolah ini.
Ngomong-ngomong soal sekolah rakyat, sebenarnya konsep VHS bagus banget kalau bisa diterapkan di Indonesia. Pengajarnya rakyat, yang sekolah rakyat, yang membiayai pemerintah. Asyik kan? Semua orang bisa belajar keahlian-keahlian baru dengan murah dan orang yang punya keahlian bisa menabung pahala dengan mengajarkan keahliannya pada orang lain. Akan tetapi seperti kata suami, di Indonesia pendidikan primer saja belum disediakan dengan layak oleh pemerintah, apalagi pendidikan tersier. Jadi sekolah rakyat seperti VHS akan sulit diwujudkan. Sedih ya? :(
Balik lagi ke kursus bahasa, pemerintah Jerman meng-encourage warga pendatang untuk dapat berbahasa Jerman dengan memberikan pendidikan bahasa Jerman yang murah. Warga pendatang yang ingin tinggal dan bekerja di Jerman diwajibkan untuk mengikuti kursus integrasi yang terdiri dari kursus bahasa (hingga level B1) dan kursus -kursus keahlian lain untuk membekali diri dalam menjalani hidup di Jerman. Biaya yang perlu dikeluarkan gratis atau sebagian, tergantung dari penilaian pemerintah Jerman atas kemampubayaran si pendatang.
Karena tidak berniat selamanya tinggal di Jerman, saya hanya mengikuti kursus bahasa. Biaya untuk kursus saya dapatkan dari DAAD, institusi yang memberikan beasiswa kepada suami. Sebenarnya saya dibebaskan untuk memilih tempat kursus yang saya inginkan asal jumlah biaya keseluruhannya tidak melebihi 1500 euro. Dengan jumlah uang yang terbatas saya memilih VHS yang paling murah di antara tempat kursus bahasa dengan pertimbangan agar uangnya cukup hingga saya mencapai level tinggi.
Beberapa rekan suami menyayangkan pilihan saya untuk mengikuti kursus bahasa di VHS karena menurut mereka pemberian pelajarannya kurang bagus dan teman-temannya kurang serius. Tapi berhubung saya kursus bahasa untuk senang-senang, bukan untuk cari sekolah atau hal hal serius lainnya, saya tidak keberatan.
Nyatanya sekolah bahasa di VHS merupakan pengalaman menarik bagi saya. Saya memang hobi mengamati orang, dan di kelas banyak sekali orang yang bisa saya amati.
Ada orang-orang dari Suriah yang mengungsi dari negaranya yang sedang digoncang perang saudara.
Ada orang-orang dari negara negara Eropa dengan krisis ekonomi parah seperti Yunani, Spanyol, Italia, Portugal yang mencoba mencari peruntungan di Jerman yang kondisi ekonominya masih kuat.
Ada orang-orang Amerika Selatan dan Russia yang jatuh cinta pada orang Jerman kemudian menikah dan tinggal di Jerman.
Ada orang-orang dari negara negara langganan imigran Jerman seperti Turki dan Tunisia yang mengikuti saudara-saudaranya mengadu nasib di Jerman.
Semua dengan latar belakang, keahlian, umur, dan cerita masing-masing. Ada ahli bioteknologi, guru TK, pedansa, pelatih tinju, pelatih taekwondo, pelatih fitness, arsitek, pebisnis, DJ radio, pembalap motor amatir, dan sebagainya. Semuanya berniat membuka lembaran hidup baru di Jerman. Kebanyakan meninggalkan keluarganya di negara asal. Kebanyakan nampak terlalu banyak pikiran (atau beban hidup) sehingga sudah tidak berniat belajar dan hanya ingin secepatnya memenuhi syarat lulus kursus B1. Apapun masalahnya setiap hari mereka datang dengan rajin dan duduk mengikuti kelas walaupun kadang sambil mainan handphone atau menerawang.
Ada banyak hal-hal menarik yang saya pelajari di VHS selain belajar bahasa Jerman, diantaranya :
Belajar berkomunikasi dengan orang asing dalam berbagai bahasa termasuk bahasa tubuh. Tidak semua orang di kelas bisa bahasa Inggris. Jadi komunikasi tidak hanya dilakukan dengan Jerman-Inggris tapi juga dengan Jerman-Spanyol, Jerman-Italia, Jerman-Yunani, Jerman-Arab, Jerman-Isyarat Tangan, dan bahkan Jerman-Isyarat Tubuh. Asal mudeng satu sama lain, bahasa apapun jadilah! Hal ini rasanya tidak akan bisa saya temui jika mengikuti kursus di tempat kursus "nggenah" berisi calon mahasiswa yang kemungkinan besar bisa berbahasa Inggris.
Belajar "tidak takut salah". Hal kecil yang sangat jarang bisa ditemui di Indonesia. Tidak ada yang menertawakan ketika saya melakukan kesalahan pun tidak ada yang menuduh saya sok pintar ketika terus menjadi orang pertama yang menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Semua orang di kelas berani bicara, walaupun salah, walaupun bahasanya campur campur, walaupun nggak nyambung. Asyik deh! :D
Belajar memperkenalkan Indonesia. Beberapa orang di kelas tidak tahu ada negara bernama Indonesia, beberapa mengira Thailand, Malaysia, dan Indonesia adalah satu negara, beberapa lainnya mengira Indonesia ada di Afrika, lainnya mengira Indonesia sama dengan India. Satu dua orang mengira pesawat MH-370 yang hilang di Samudera Hindia ada hubungannya dengan saya dan mengucapkan belasungkawa. Satu dua orang lain mengira Indonesia negara Budha karena ada candi Budha terbesar di dunia. Satu orang mengira Indonesia belum merdeka. Hehehe!
Rencananya saya akan belajar sampai level B2. Cukup tinggi untuk bisa berkomunikasi dengan lancar dan cari kerja haha hihi untuk mengisi waktu. Apapun, semoga lancar dan seterusnya menyenangkan. Amin :D
keren tu :)
ReplyDeleteHallo Mba Eka..
ReplyDeleteSalam kenal
Saya Ikha..rencana Februari 2015 mau ke Jerman utk au pair. Dan mencari kursus bahasa yang murah...
Mba menarik..ceritanya..untuk VHS biayanya berapa mba?
Makasih ya