Tampilan di dalam warung tersebut seperti stereotip yang aku pikirkan dari warung-warung kopi di pinggiran jalan pantura. Bangku panjang berbentuk U mengelilingi meja saji sekaligus meja tempat sang empunya mempersiapkan hidangan dan minuman yang dipesan pelanggan. Tak beda jauh tata letaknya dengan kedai kopi kekinian, hanya saja disini satu-satunya mesin yang terlihat adalah sebuah radio. Bukan mesin-mesin pembuat latte dan ekspreso.
Aku mengucapkan salam."Kulo nuwun. "
Sepasang orang tua, laki-laki dan perempuan, menjawab salamku. Keduanya sedang ada dibalik meja saji. Si Bapak nampak sedang mengaduk segelas minuman, sementara si Ibu sibuk dengan wajan penggorengan.
"Mogok mbak?", kata Bapak tersebut tanpa basa-basi, sambil menyuruhku duduk. Dia kemudian mengulurkan gelas berisi minuman yang tadi diracik kepadaku. Padahal aku belum bilang apa-apa. Nampaknya mereka sudah mempersiapkan kedatanganku.
"Mogok mbak?", kata Bapak tersebut tanpa basa-basi, sambil menyuruhku duduk. Dia kemudian mengulurkan gelas berisi minuman yang tadi diracik kepadaku. Padahal aku belum bilang apa-apa. Nampaknya mereka sudah mempersiapkan kedatanganku.
"Nggih", kataku singkat. Atas dasar kesopanan aku menerima gelas yang Bapak itu berikan.
"Monggo. Diunjuk sek", katanya sambil mengisyaratkan agar aku minum.
"Masalah radiator nopo baterai? Sampun nelepon bengkel?", lanjutnya lagi.
"Sudah Pak, radiator kayaknya", jawabku sambil masih memegang gelas berisi minuman dari si Bapak dengan kedua tangan. Aku mencium aroma hangat jahe dan manis susu dari minuman berwarna krem tersebut. Juga sedikit aroma kopi. Segera kujauhkan tanganku.
"Monggo, anget-anget", sekarang giliran si Ibu yang menyodorkan piring berisi pisang goreng panas ke hadapanku. Aku ragu-ragu. Mungkin aku terlalu banyak membaca dan menonton berita-berita kriminal. Mungkin juga aku terngiang-ngiang dongeng Hansel and Gretel. Makan rumah kue jahe lalu ditangkap penyihir. Tapi sungguh rasanya tak sopan kalau aku serta merta menolak, padahal aku sendiri yang datang kesana dan akan minta tolong.
Bapak dan Ibu tersebut sepertinya paham dilemaku.
"Mung Kopi Susu kok Mbak. Ora aneh-aneh", kata Bapak itu sambil tersenyum.
"Sing iki yo mung gedhang kok Mbak", lanjut si Ibu. Kemudian keduanya tertawa.
"Mung Kopi Susu kok Mbak. Ora aneh-aneh", kata Bapak itu sambil tersenyum.
"Sing iki yo mung gedhang kok Mbak", lanjut si Ibu. Kemudian keduanya tertawa.
Aku nyengir. Mari kita pasrahkan saja pada kehendak yang kuasa. Aku memakan pisang goreng buatan si Ibu. Kehangatannya memenuhi perutku. Aku baru ingat pagi itu hanya sempat makan selembar roti tawar karena terburu-buru.
"Mau ikut ngecas HP bisa Pak?", kataku.
Si Bapak berpikir sebentar kemudian mencabut kabel radionya. "Monggo", katanya sambil menunjuk ke kabel extension listrik yang menggantung di dinding. Aku pun menancapkan kabel charger-ku ke sana. Hujan turun dengan deras di luar warung.
***
Sungguh tidak mudah mengikuti rapat online dari tengah hutan. Dengan sinyal yang timbul tenggelam dan suara hujan yang bergemuruh. Aku sama sekali tak bisa mengikuti isi rapat. Setelah 15 menit atasanku mengirim pesan memintaku untuk meninggalkan ruang rapat saja.
Aku menutup laptopku dengan kecewa. Merutuki diri sendiri yang keras kepala. Orang bengkel belum sampai juga. Mungkin terhambat hujan deras.
***
Aku tidak punya hal lain yang bisa dilakukan selain menunggu. Kopi susu di hadapanku sudah menjadi dingin.
"Nggak diminum kopinya mbak?", tanya si Ibu sambil mengamatiku. "Anak muda sekarang to ya sukanya kopi di kafe-kafe itu aja lho padahal kopi tradisional gini juga nuikmat".
"Saya nggak suka kopi Bu", kataku sebelum Ibu tersebut semakin berasumsi macam-macam.
"Oh lha ngopo?", kata si Bapak, tiba-tiba ikut nimbrung.
"Pusing kalau nyium baunya", jawabku singkat.
"Walah kok yo aneh-aneh wae", komentar si Ibu. Aku hanya mengangkat bahu.
"Tapi iki nganggo kopine gor suitik Mbak. Ora mambu. Sampeyan jajalen wae", kata Bapak itu meyakinkanku.
"O lha Bapak iki, jenenge wae kopi susu, mosok yo orak mambu kopi", sanggah si Ibu. Si Bapak menyikut si Ibu agar diam. Lalu mengedip padaku. Aku tersenyum.
***
"Bapak ini, sueneng banget ada yang datang ke sini. Makane tadi langsung mbikin kopi susu", Lanjut si Ibu. "Habis ada jalan tol itu lho mbak, yang lewat jadi suepi".
Aku mengangguk-angguk. Rasanya pernah membaca berita tersebut juga.
Aku mengangguk-angguk. Rasanya pernah membaca berita tersebut juga.
"Kemarin pas jaman riyoyo saja, cuma motor yang mampir. Itu juga sehari cuma berapa to. Paling sembilan opo sepuluh", lanjut si Ibu berapi-api.
"Jenenge kuwi jaman wes berubah Bu", kata Si Bapak menenangkan.
"Di sini dulu ruame mbak. Sepanjang jalan wong dodolan. Ono sing jagung bakar, dawet, kelapa muda. Sing dodol cawet wae onok. Weslah, kabeh didol. Saiki yo mung warung iki tok to sing bertahan", Si Ibu melanjutkan ceritanya sambil terkekeh geli.
"Bapak tu dulu mandor di perkebunan karet dekat sini. Lha nek kulo ket mbiyen yo mbuka warung ini. Bar corona iki lho, Bapak di PHK. Lha pripun, wes sepuh juga sih", kata si Ibu sambil menggerling ke arah si Bapak.
"Pengsiun dini orak PHK. Kakehan ngerungoke berita sing orak-orak iki", kata si Bapak menimpali, sambil memandang isterinya dengan gemas.
"Halah podo wae. Kuwi kan yo mung istilah tok. Untung anak-anak wes nggak perlu. Yo mung nggo hiburan wae lah Mbak", pungkasnya sambil tersenyum.
Pasangan tersebut gantian menceritakan kisah kehidupannya. Dalam perkawinanya yang sudah 34 tahun mereka dikaruniai 3 anak yang saat ini sudah berkeluarga. Tiga-tiganya lulus dari perguruan tinggi negeri di Semarang. Saat ini si Sulung meniti karir sebagai pegawai negeri di Kabupaten Batang. Si tengah bekerja sebagai guru di Kudus, dan si bungsu merantau ke Jakarta dan menjadi teller di sebuah Bank swasta.
"Sing penting iki pendidikan Mbak. Tak belo-beloni 30 puluh tahun kerjo bendino durr, nggo mbiyayai anak-anak. Ibu juga mbuka warung sampe mbengi-mbengi. Kabeh yo ben anak-anak iso sekolah dhuwur", jelas si Bapak.
***
Selama 20 tahun Bapak tersebut menyempurnakan resep kopi susunya, hingga dia peroleh takaran yang pas. Istimewa. Dengan kopi hitam merk tertentu, susu kental manis, sedikit gula jawa, sedikit jahe, dan sedikit cengkeh, jika dia sedang beruntung bisa mendapatkannya di pasar. Semua pelanggannya menyukai rasa tersebut. Menurutnya bahkan ada yang sengaja memilih jalan lama ketimbang tol untuk sekedar meminum kopi buatannya.
Katanya hanya aku orang yang pertama kali menolak meminum kopi istimewa buatannya.
***
Hujan perlahan mereda. Seorang kakek tua dengan punggung bungkuk datang ke warung tersebut. Di punggungnya ada keranjang rotan berisi daun-daun jati.
"Entuk katah daune Mbah?", kata si Ibu sambil menyambut si Kakek. "Kopi ireng nopo kopi susu? Gedang? mendoan? nopo tape?", lanjut si Ibu menyerocos sambil membantu si Kakek melepas keranjangnya dan duduk. Kakek tua tersebut hanya mengangguk-angguk. Tangannya memberi isyarat yang sepertinya sudah sangat dipahami si Ibu dan Bapak. Mereka langsung bergerak menyiapkan pesanan si Kakek.
Sat set. Secangkir kopi hitam kental dan piring berisi pisang goreng dan mendoan disajikan di hadapan Kakek tersebut. Pria tua itu pun dengan lahap langsung menyantap hidangan di depannya.
***
Tak berapa lama makanan si Kakek habis, tanpa babibu beliau langsung berdiri dan memberikan uang dua ribu ke si Ibu. "Matur suwun Mbah", kata si Ibu sambil menerima uang dari si Kakek. Aku menatap si Ibu bingung. Masa harga pesanannya hanya dua ribu?
"Mbah Kadir wes langganan neng kene suwe Mbak. Ket pertama warung iki buka", jelas si Bapak seperti paham kebingunganku. "Wes sepuh, 100 tahun mungkin onok. Wes lali nek rego-rego munggah kabeh, dipikir koyok tahun 90 an", lanjutnya sambil terkekeh.
"Tapi yowes, sopo ngerti goro-goro dungone Mbah Kadir uripku karo keluarga tentrem, ayem, ngene. Iyo orak Bu", katanya sambil menoleh ke arah isterinya yang hanya mengangguk singkat. Perempuan itu nampak seperti tiba-tiba ingat sesuatu.
"Pak, jarene kan malaikat sering nyamar dadi wong tuwo. Tapi piye ngertine yo, kuwi Mbah Kadir tenan opo malaikat", tanya si Ibu, sambil memegang lengan si Bapak.
"Owalah Bu, yo gampang to, nek malaikat ngomonge arab", jawab si Bapak asal.
"Owalah Bu, yo gampang to, nek malaikat ngomonge arab", jawab si Bapak asal.
Aku menyadari dari tadi nyengir-nyengir sendiri melihat mereka.
***
Setelah dua jam akhirnya orang bengkel datang. Sambil menunggu mereka memeriksa mobilku, aku berkontemplasi sejenak. Tenggorakanku terasa kering, tapi aku tak enak hati meminta air putih kepada si Bapak dan Ibu lalu membiarkan kopi susu kebanggaan mereka tak tersentuh. Akhirnya kuberanikan diri menyeruput minuman itu sedikit. Kupejamkan mataku, menunggu rasa kopi yang kukenal menyerangku. Biarlah pusing, toh aku tak akan pulang sendiri, pikirku. Aroma manis melingkupi rongga mulut lalu masuk kerongkonganku. Sedetik dua detik, rasa pusing yang kutunggu ternyata tak datang. Kuberanikan meminum seteguk lagi. Ada sedikit aroma kopi tapi kalah dengan rasa gula yang dominan. Lagi-lagi aku merasa biasa saja.
Seperti menemukan momen eureka, perlahan aku menghabiskan kopi susuku beserta satu pisang goreng lagi. Lalu sebelum meneruskan perjalanan kembali ke kota, aku mempersilahkan para tukang bengkel untuk ikut menikmati kopi di warung si Bapak juga. Setelahnya aku membayar dengan harga yang pantas untuk hidangan yang telah diberikan. Hari itu aku pulang dengan hati yang hangat.
***
Aku masih tak suka kopi sampai sekarang, tapi sekali dua kali aku memberanikan diri meminum kopi susu. Seperti Bapak itu bilang, mungkin kuncinya adalah seduikit kopi dan buanyak susu.
***
Kembali ke tulisan awal.
***
Kembali ke tulisan awal.
Kalau saya mungkin nggak akan menikmati kopinya justru karena ada jahe, tapi bisa jadi tetap aya habiskan dengan alasan kesopanan. Semoga bapak dan ibu pemilik warung kopi sehat-sehat selalu.
ReplyDelete