Aku melongokkan kepala ke dalam warung kopi tersebut. Mulutku tak sadar menganga. Tak kusangka di dalamnya ternyata ramai sekali. Padahal aku tak melihat satu kendaraanpun terparkir di depannya. Suara geledek menggelegar di langit. Petir berkilat. Aku segera melangkahkan kakiku ke dalam. Sedetik kemudian hujan turun dengan derasnya.
"Mungkin mereka penduduk sekitar sini", pikirku. Kesibukan terlihat di belakang meja saji. Tiga orang asyik dengan pekerjaannya masing-masing. Ada yang mengaduk tiga gelas minuman sekaligus lalu menyajikan ke hadapan pembeli, ada yang nampak mencuci piring gelas di pojokan, dan ada yang tak henti menyemplungkan bahan-bahan gorengan lalu mengangkat yang sudah matang dengan tangan yang penuh adonan tepung.
Karena tidak ada yang bisa aku lakukan, akhirnya aku memutuskan untuk duduk sejenak. Masih ada sejengkal tempat di sudut. Aku menyelipkan diriku diantara dua orang Bapak-Bapak yang asyik menyesap kopi dan mengunyah singkong goreng. Tidak ada yang berbicara. Semua sibuk melayani atau menyantap hidangan di depannya. Aku melihat ke sekeliling, tidak nampak ada peralatan listrik disana. Kecuali radio tua yang sepertinya beroperasi dengan baterai. Jadi kuurungkan niatku untuk nekad mengikuti meeting. Kukirimkan pesan pada atasanku menjelaskan kondisiku. Biarlah aku tidak ditunjuk sebagai pimpinan proyek. Mungkin memang belum rezekiku. Pesan kukirimkan juga ke petugas bengkel. Meminta mereka meneleponku lewat telepon biasa untuk menghemat baterai.
Aku kembali mengamati sekelilingku. Selain aku ada 8 pelanggan yang sedang duduk berdesakan di bangku pembeli. Sebagian besar laki-laki. Sisanya ada 1 orang wanita yang sibuk menyuapi anaknya yang terlihat masih balita. Penjual di warung tersebut ada 3. Dua diantaranya, yang terlihat sibuk membuat minuman dan makanan, sepertinya berusia sekitar 40 tahunan, sementara satu orang lagi,yang sibuk mencuci gelas dan piring, nampak seperti remaja. Mungkin keluarga, pikirku.
Merasa tak enak hati kalau hanya duduk bengong aku memutuskan untuk memesan sesuatu. Aku mencoba menarik perhatian penjual yang membuat minuman dengan melambai lambaikan tanganku. Tapi si penjual diam saja. Aku mencoba memanggilnya, tapi suaraku sepertinya tenggelam dalam suara gemuruh hujan. Akhirnya aku menyerah. Mungkin mereka sangat sibuk. Suara kencang geledek kembali terdengar. Hanya aku yang terkaget-kaget. Pembeli lain dan penjual tetap tenang meneruskan kesibukannya.
Tiba-tiba aku merasa lapar. Jadi kuulurkan tanganku, mencoba mengambil gorengan di salah satu piring di meja saji. Gorengan tersebut sangat dingin. Mungkin aku salah ambil yang sudah lama matang. Perutku bergemuruh tanda minta diisi. Dengan cuek aku makan juga gorengan tersebut. Rasanya alot. Kupandangi si gorengan yang bagaikan ban karet. Bahan apa yang mereka gunakan sampai bisa membuat gorengan sealot ini. Tapi kulihat yang lainnya tidak memiliki masalah yang sama. Jadi mungkin aku saja yang salah makan.
Mulutku terasa kering setelah makan gorengan alot tersebut. Aku mencoba memanggil salat satu penjual, tapi ketiganya bergeming. Kutengok kanan dan kiri. Ada teko enamel dan tumpukan gelas di pojok meja saji, dekat dengan tempat cuci piring. Tak berapa lama, seorang pembeli terlihat berdiri lalu menghampiri teko tersebut dan menuangkan isinya ke gelas. Aku memutuskan berdiri dan mengikuti jejaknya. Mungkin disini ada budaya self service.
Kuharap isi teko tersebut adalah air putih. Tapi ternyata isinya cairan berwarna cokelat muda. Aku ragu-ragu sejenak. kucium aroma dari gelas tersebut. Ada hint aroma kopi tapi hanya samar saja. Hanya saja karena kering mulutku sudah berganti menjadi rasa haus, kuberanikan diri meminumnya. Rasa manis krim dan sekilas pahit kopi meluncur masuk ke mulutku. Ditingkahi aroma melati yang segar. Secara mengejutkan rasanya lezat sekali. Wow minuman apa ini? Pikirku sambil mengamati gelas berisi cairan tersebut. Mungkinkan kopi dengan creamer rasanya bisa seenak ini? Atau memang selalu seenak ini tapi aku saja yang takut mencoba?
Lalu aku menyadari, sedari tadi kepalaku tidak pusing sama sekali. Padahal melihat kopi-kopi hitam yang diminum pembeli dan juga yang diracik oleh si penjual, seharusnya aku dikelilingi aroma kopi. Kuhabiskan minumanku dalam beberapa kali teguk saja. Aku melihat bungkusan kopi sachet bermacam merk yang tergantung di atas penjual yang meracik minuman. Mencoba memutuskan merk mana yang menghasilkan rasa kopi enak tersebut.
Aku memutuskan kembali mengisi gelas dengan minuman yang ada di teko. Saat aku mengangkat teko besar itu, geledek kembali mengelegar. Suaranya bahkan sampai membuat meja saji dan jendela-jendela bergetar. Karena kaget, tanganku tersentak sehingga pegangan teko kopi yang licin dan berat tersebut tergelincir dari peganganku kemudian jatuh kelantai. Tutupnya lepas dan isinya muncrat ke segala arah. Sebagian besar mengenaiku membuatku jadi basah kuyup.
Lalu samar-samar kudengar ada yang memanggil namaku. Makin lama makin keras. Kali ini aku merasa disentakkan lalu kemudian pandanganku gelap dan aku hilang kesadaran.
***
Perlahan kubuka mataku. Aku ada di sebuah tempat tidur yang asing. Badanku terasa sangat pegal. Di beberapa bagian bahkan ada yang terasa perih. Aku duduk dan memandang sekeliling. Sepertinya aku ada di sebuah fasilitas kesehatan. Seorang perawat menyadari aku bangun lalu menghampiriku.
"Masih pusing Mbak? Mbak tadi ditemukan pingsan di samping mobil", kata si perawat perlahan-lahan. Dia menyerahkan segelas air putih untukku. Aku mencoba mencerna kata-katanya. Berusaha mengingat-ingat kejadian sebelumnya.
"Tadi saya di ke warung kopi, terus ada suara geledek, terus saya pingsan sepertinya ya?", kataku sambil sedikit tidak yakin. Si perawat memandangku dengan bingung.
"Mbak sekarang ada di puskesmas desa. Tadi mbak dibawa sama bapak-bapak bengkel, yang nderek mobil mbak, ke sini. Seorang langsung pulang sama mobil mbak, sementara satunya lagi masih nunggu di depan. Kita tadi coba telepon keluarga mbak, mereka sedang menuju kesini".
"Terus warung kopinya?", tanyaku masih sedikit linglung. Si perawat menggigit bibirnya. Mungkin berpikir apakah aku memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
"Mbak mampir warung kopi mana?", tanyanya hati-hati.
"Di dekat mbak pingsan tadi kayaknya tidak ada warung kopi", lanjutnya lagi.
Aku terdiam. Mungkin ingatanku salah. Tapi rasa melati dari kopi di gelas itu masih sedikit tersisa di mulutku. Jadi tadi aku kemana?
***
"Kak, berhenti dulu di sini dong", kataku sambil menunjuk lokasi tempat tadi mobilku mogok, kala mobil kami melaju melewatinya menuju kota. Tidak ada warung disitu.
"Mau ngapain?", tanya kakakku heran.
"Ini tadi tempat mobil aku mogok. Aku mau memastikan sesuatu", jawabku singkat.
Kakakku hanya mengangkat bahu lalu menuruti mauku. Aku turun dengan perasaan campur aduk.
Bekas ban mobilku dan mobil derek masih terlihat di tanah yang becek. Jadi aku yakin ini pasti tempat yang aku datangi tadi. Hanya saja tidak ada sedikitpun bekas adanya warung disitu.
Bagaikan pencari jejak aku memeriksa jengkal demi jengkal daerah itu dengan teliti.
Kutemukan bertebaran beberapa bungkus kopi sachet yang masih utuh tapi terkubur diantara tanah dan lumpur.
Kopi sachet dengan merk yang sama yang kulihat di warung tadi pagi.
***
Kembali ke mobil aku segera membuka telepon genggamku, mencoba menemukan petunjuk di mesin pencarian.
Kuketikkan saja "warung kopi alas jati".
Deretan berita muncul. Tajuk utamanya: Kecelakaan Maut di Alas Jati.
Sebuah truk tronton mengalami rem blong dan menabrak sebuah warung kopi di Alas Jati. Sebelas orang meninggal termasuk seorang balita...
Terbaca olehku paragraf pertama. Seketika aku merasa sangat pusing. Di mobil tiba-tiba tercium bau melati.
Kurasa traumaku bertambah satu lagi.
***
Kembali ke tulisan awal.
Restu, kerennnnn as usual, 5 jempol ini mah
ReplyDeleteWow keren abis ini idenya Restu. Ada 3 petualangan yang berbeda to. Padahal tadinya sempat kesel loh karena nggak ngerti maksudnya apa dengan cerita yang ngegantung begitu.
ReplyDeleteHhooo... ternyata cerita horornya di sini. Kadung baca, ya sudah, dituntaskan saja.
ReplyDelete