Me time adalah permasalahan pelik untuk emak-emak.
Masalahnya, seperti sebagian besar manusia modern, tidak banyak yang saya lakukan tanpa bantuan jaringan internet. Bahkan membaca buku dan mendengarkan musik saja sekarang saya membutuhkan koneksi internet global.
***
Read more ...
Salah satu hal yang saya iri dari suami adalah keleluasaannya untuk bisa melakukan berbagai hal yang dia sukai: main game, menonton youtube, bermain basket, dan lain sebagainya, tanpa gangguan dan halangan.
Sementara buat saya, menikmati hiburan tanpa gangguan adalah hal yang hampir mustahil. Apalagi kalau di rumah. Dengan dua bocah cilik, kesendirian dan ketenangan adalah sesuatu yang amat sangat jarang terjadi. Seperti penampakan super red moon. Mungkin terjadi tapi tak sampai setahun sekali.
Kalaupun saya sangat memerlukan waktu untuk sendiri, saya perlu melakukan berbagai usaha agar tidak “diganggu” para penunggu cilik tersebut: tebar janji manis, sedia sajen, sebar jatah screen time, dll dll. Belum lagi kalau ingin pergi keluar. Harus mengatur strategi agar bisa pergi dan pulang di waktu yang tepat.
Setelah semua kerepotan tersebut, belum tentu saya berhasil menjalankan me time. Karena masalah terbesar sebenarnya ada pada kemampuan saya untuk fokus. Mau tenang-tenang baca buku, ada WA gosip masuk. Mau maraton nonton serial yang sudah lama tertunda, ada iklan market place yang menggoda untuk barang-barang yang "diperlukan".
Sudah matiin notifikasi, tetap saja pikiran bercabang kemana-mana. Kepikiran hal ini itu yang tidak-tidak.
Karena gangguan-gangguan ini seringkali waktu "me time" habis bukan untuk melakukan hal-hal yang menyegarkan tapi malah tambah bikin ruwet pikiran. Kalau sudah begini biasanya berakhir dengan saya merasa menyesal juga kesal sendiri.
Bukannya merasa content biasanya saya malah merasa useless.
Jadinya malah marah-marah sendiri sama semua orang karena merasa tidak pernah bisa "me time".
***
Jadinya malah marah-marah sendiri sama semua orang karena merasa tidak pernah bisa "me time".
***
Setelah berbagai percobaan untuk “me time” yang penuh kegagalan, saya jadi berpikir, jangan-jangan definisi me time saya yang salah.
“Me time” itu bukan saat saya sedang santai leha-leha menonton drama Korea. Bukan juga saat saya bisa ngopi-ngopi cantik mengobrol dengan sahabat. Apalagi saat saya melamunkan berbagai macam hal sambil duduk di balkon memandangi kerlap-kerlip lampu malam.
Me time buat saya ternyata justru ketika bisa fokus melakukan satu hal, entah apapun itu, tanpa perlu memikirkan hal yang lain.
Karena setelah saya pikir-pikir, tujuan me time, buat saya, bukan untuk menenangkan diri, melainkan untuk menemukan diri saya di tengah hiruk pikuk pikiran dalam otak saya sendiri.
Me time yang saya perlukan adalah memasuki kondisi mengalir (the flow). Kalau kata Johann Hari dalam bukunya Stolen Focus (2022), the flow adalah suatu bentuk konsentrasi mendalam dimana seseorang benar-benar tenggelam dalam suatu aktivitas.
The flow membutuhkan fokus dan dapat dicapai hanya melalui "monotasking", atau mendedikasikan diri pada satu tugas tanpa gangguan.
Seperti seniman yang fokus membuat karya. Dalam hal itu kepuasan yang didapatkan berasal dari keberhasilan melewati proses berkarya. Bukan pada karya yang dihasilkan.
Dengan definisi ini lebih banyak pilihan me time yang bisa saya lakukan. Melaksanakan ibadah dan pekerjaan rumah bisa menjadi me time kalau perspektifnya diubah.
Dengan definisi ini lebih banyak pilihan me time yang bisa saya lakukan. Melaksanakan ibadah dan pekerjaan rumah bisa menjadi me time kalau perspektifnya diubah.
Menikmati waktu sendiri, berkonsentrasi dalam pengerjaannya. Healing dengan dopamine dari kepuasan setelah berhasil menjalani berbagai kegiatan tersebut dengan segala tantangannya.
Dan sayapun jadi paham kenapa menyetrika (dan pekerjaan rumah lainnya) menyegarkan untuk Nikita Willy. Karena saat mengerjakan pekerjaan rumah dia bisa berkonsentrasi tanpa perlu memikirkan pekerjaan lainnya.
***
Terkait dengan definisi saya tentang me time, kalau boleh jujur, me time saya sebenernya adalah saat sedang bekerja. Lebih spesifik lagi kalau sedang mengulik aplikasi excel (termasuk Google Sheet). Saya tidak hobi berhitung ataupun coding, tapi menyelesaikan masalah menggunakan excel bisa membuat saya fokus selama berjam-jam.
Mungkin sebetulnya bukan excelnya, tapi saya menyukai hal-hal yang berhubungan dengan data.
Mungkin sebetulnya bukan excelnya, tapi saya menyukai hal-hal yang berhubungan dengan data.
Sesungguhnya sudah lama saya curiga kalau saya suka mengulik data. Tapi ketidakpercayaan diri membuat saya tidak berani menekuni bidang ini. Baru setelah kembali bekerja formal, saya terpaksa belajar kembali.
Kembali ke permasalahan excel, karena judulnya kerja, biasanya saya memang tidak memikirkan hal yang lain. Gangguan juga nyaris tak ada.
Semua orang membiarkan saya berkutat dengan berbagai formula. Bahkan ketika saya sedang di rumah.
Sedemikian hobinya, sehingga salah satu penyesalan saya adalah mengapa sebagian besar permasalahan dalam hidup ini tidak bisa diselesaikan dengan excel?
***
Andaikan Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni ini adalah tentang me time saja, sudah pasti saya akan menuliskan mengenai hobi saya ngulik G-Sheet dan pencapaian saya untuk bisa membuat otomasi ala ala di kantor dengan hanya bermodal Google Workspace.
Tapi masalahnya, me time yang harus dituliskan ada embel-embel tanpa internet. Terpaksa saya memutar otak untuk mencari ide tulisan lainnya.
Masalahnya, seperti sebagian besar manusia modern, tidak banyak yang saya lakukan tanpa bantuan jaringan internet. Bahkan membaca buku dan mendengarkan musik saja sekarang saya membutuhkan koneksi internet global.
***
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sedang pusing berpikir, tetiba di surel saya muncul tawaran untuk mengikuti kegiatan jalan kaki santai dalam rangka ulang tahun ITB. Rute sejauh 3.5 km yang ditempuh dalam waktu 3 jam dengan berbagai intermezzo.
Tanpa banyak babibu saya mendaftar. Kegiatannya tidak membutuhkan internet. Kecuali kalau memang hobi update social media di setiap langkah kehidupan. Tak perlu khawatir, kalau ada satu hal yang bisa saya banggakan adalah bagaimana sampai sekarang saya belum tenggelam dalam dunia social media.
Scrolling saya kebanyakan adalah youtube dan berita artis Korea.
***
Di hari H saya baru tau kalau ternyata dari unit kerja saya, cuma saya dan dua orang bapak-bapak, dari Program Studi lain, yang mengikuti kegiatan ini.
Sendirian dalam keramaian.
Jadi bisa dibilang saya tidak kenal siapa-siapa di acara tersebut. Saya memang introvert tapi saya don’t mind dengan keramaian. Apalagi karena peserta lainnya sibuk dengan rekan-rekannya sendiri, tidak ada yang memperhatikan saya. Saya tentu saja senang, karena tidak perlu basa-basi.
Dengan niat untuk menghabiskan waktu tanpa internet, saya matikan koneksi data di ponsel saya. Telepon masih menyala. Karena kan saya bukan mau menghilang, cuma mau menghabiskan waktu tanpa internet.
***
Karena tidak disibukkan dengan membaca pesan WA atau laman-laman berita, saya memang jadi bisa memperhatikan banyak hal. Bahkan sebelum berangkat. Seperti misalnya unit kerja yang punya seragam dari topi sampai kaos kaki, unit kerja yang datang ke titik temu dengan menggunakan bandros, juga orang-orang yang sepertinya kenal dengan semua orang. Sibuk menyapa dan disapa.
Bahkan orang yang bolak balik mengambil lepeut dan arem-arem dari meja konsumsi juga tidak luput dari perhatian saya. Mungkin Ibu itu lapar.
Semua hal tersebut tidak akan pernah saya perhatikan kalau sibuk dengan internet.
Walaupun di saat itu tangan saya sudah gatal sih ingin lapor ke grup WA jualan musang isi 3 orang. Tapi saya bertahan.
***
Melalui rute yang mengikuti aliran sungai, saya melihat berbagai hal biasa yang mulai saya lupakan.
Rumah-rumah petak dengan anak-anak ramai bermain di luarnya, bantaran sungai dengan anjing dan kucing liar serta hewan ternak yang berkeliaran. Nenek-nenek yang duduk bersama menikmati hangat sinar matahari sambil makan gorengan dan menyapa semua orang yang lewat.
Tidak ada yang lebih menantang dari menjemur pakaian di pagar bertuliskan "Dilarang Menjemur Pakaian". Rebel!
Juga daerah perumahan di atas bukit dengan suasana yang masih asri dan rumah-rumah estetik seperti di majalah-majalah. Sungguh suatu impian untuk bisa tinggal di sana.
Kampung pelangi, inisiatif warga untuk membuat spot atraksi yang menarik.
Baru tau ada pesantren gratis untuk anak dhuafa di tengah kota Bandung. Tepat berada di tepi sungai, pemandangannya cukup spektakuler.
***
Di kegiatan ini peserta diberikan misi untuk mengumpulkan sampah di sepanjang jalan yang dilalui. Sampah tersebut kemudian akan dijadikan bahan untuk membuat karya seni yang nantinya akan dilombakan.
Di kegiatan ini peserta diberikan misi untuk mengumpulkan sampah di sepanjang jalan yang dilalui. Sampah tersebut kemudian akan dijadikan bahan untuk membuat karya seni yang nantinya akan dilombakan.
Tanpa pesan-pesan WA yang biasanya harus selalu saya balas, juga menahan keinginan untuk update status WA, kapasitas otak saya ternyata bisa digunakan untuk merancang karya seni yang akan saya buat dengan sampah yang saya kumpulkan.
Saya bahkan bisa memikirkan cerita pengantar karya tersebut.
***
Tiga jam berlalu, saya pun tiba di pemberhentian akhir. Rancangan karya seni saya sudah jadi. Saya pun menyampaikan ide saya kepada mentor yang mengangguk-angguk setuju.
Tiga jam berlalu, saya pun tiba di pemberhentian akhir. Rancangan karya seni saya sudah jadi. Saya pun menyampaikan ide saya kepada mentor yang mengangguk-angguk setuju.
***
Kembali ke "peradaban" saya pun menyalakan kembali ponsel saya. Ada 60 an pesan yang belum terbaca. Walaupun ketinggalan berita, tapi berdesir rasa bangga karena dalam 3 jam tersebut saya bisa mengerjakan beberapa hal sekaligus. Tanpa perlu memaksa diri. Memikirkan ide karya seni untuk lomba dan ide untuk memenuhi tantangan bulan ini.
Nampaknya ini memang me time yang saya butuhkan. Produktif dan membuat pikiran lebih segar. Entah karena pengaruh tidak ada internet atau karena saya jalan kaki sampai 11 ribu langkah hari itu.
Kembali ke "peradaban" saya pun menyalakan kembali ponsel saya. Ada 60 an pesan yang belum terbaca. Walaupun ketinggalan berita, tapi berdesir rasa bangga karena dalam 3 jam tersebut saya bisa mengerjakan beberapa hal sekaligus. Tanpa perlu memaksa diri. Memikirkan ide karya seni untuk lomba dan ide untuk memenuhi tantangan bulan ini.
Nampaknya ini memang me time yang saya butuhkan. Produktif dan membuat pikiran lebih segar. Entah karena pengaruh tidak ada internet atau karena saya jalan kaki sampai 11 ribu langkah hari itu.
Walaupun tentu saja saya tidak menolak kalau punya kesempatan untuk pijat setelahnya!
***
Sampai me time berikutnya!!
Sampai me time berikutnya!!