Monday, May 20, 2024

Meskipun Katanya "Ojo Dibanding-Bandingke"

Akibat Penasaran

Sebagai penggemar konten hiburan dari Korea Selatan (variety show, podcast, dsb), akhir-akhir ini saya sering mendengar pembahasan mengenai MBTI. MBTI yang merupakan singkatan dari Myers-Briggs Type Indicator adalah tabel yang berisi berbagai jenis tipe kepribadian manusia. 

Konsep MBTI sendiri dikemukakan pada tahun 1942 oleh pasangan Ibu dan anak Isabel Briggs Myers dan Katharine Cook Briggs berdasarkan teori kepribadian manusia di buku Psychologische Typen karya Carl Jung yang terbit pada tahun 1921. 

Lebih dari 60 tahun setelah konsep ini muncul, MBTI menjadi populer di Korea Selatan ketika pandemi melanda pada tahun 2020. Bermula dari website 16personalities yang menawarkan tes MBTI secara gratis, MBTI segera menggantikan kepopuleran golongan darah untuk menentukan tipe kepribadian di negeri gingseng tersebut. 

Orang-orang di Korea Selatan nampaknya memang sangat menyukai semua hal terkait tipe kepribadian. Kesukaan ini katanya didorong oleh sifat masyarakat Korea yang memiliki kebutuhan yang kuat untuk mengidentifikasi sifat diri sendiri. Dengan ritme kehidupan yang cepat dan kompetitif di Korea Selatan, mengenali tipe kepribadian diri merupakan jalan pintas dalam berbagai hal: mencari pekerjaan yang sesuai, jodoh yang serasi, komunitas yang cocok, teman yang sepadan dan sebagainya.

Apalagi dengan sifat umum generasi X (millenial) dan Z yang selalu ingin melabeli diri, MBTI menjadi sangat populer sebagai jalan ninja bagi masyarakat Korea (menjalar ke negara lain) untuk memahami dirinya (dan orang-orang disekitarnya). 

Tergoda Mencoba

Karena sering mendengar mengenai MBTI, saya jadi tergoda untuk mencari tahu. Setelah baca-baca dan mencoba tesnya, ternyata memang cukup seru. Walaupun tidak sekocak komik golongan darah (anak 90-an pasti paham). Pantas MBTI sudah merasuk ke hidup orang Korea Selatan sedemikian rupanya.

Setelah ikut tes gratis saya jadi sedikit lebih bisa memahami diri sendiri. At least saya bisa ngaku-ngaku paham diri sendiri. Kemudian setelah mengetahui mengenai diri sendiri, saya jadi penasaran membandingkan kepribadian saya dengan kepribadian orang-orang di sekitar saya. 
Contoh komik golongan darah yang dulu pernah populer

Tujuannya tentu saja bukan membanding-bandingkan kepribadian mana yang lebih baik tapi justru untuk mengenal lebih dekat. Sebagai INFP katanya saya memang hobi mengamati orang lain. Nggak mau kenal dekat tapi suka mengamati dari jauh saja. Creepy juga ya sifat ini. 

Tentu saja, orang dekat yang saya minta ikut tes, hanya yang kelihatannya paham dan berminat ikut tes ya. Kan saya bisa dikutuk kalau nanya-nanya sama mertua: “Apakah Ibu lebih terpengaruh oleh perasaan Ibu atau argumen yang logis?” atau “Apakah ibu pernah memikirkan perasaan orang lain saat bertindak?”.  Daripada dikira saya mau resign jadi menantu, saya cuma minta suami dan 3 orang teman dekat untuk tes diri sendiri, menggunakan tools yang sama.

Memahami MBTI

Sebelum saya masuk ke hasil perbandingan MBTI saya dan orang-orang tersebut, saya beri penjelasan sedikit mengenai MBTI. 

MBTI sendiri dibagi kedalam 4 faktor kepribadian : 1. Arah energi (I - Introversion atau E - Ekstroversion), 2. Kemampuan mengumpulkan informasi (N - Intuition atau S - Sensing), 3. Kemampuan analisis dan membuat keputusan (T- Thinking atau F - Feeling), dan 4. Pola tingkah laku (J - Judging atau P - Perceiving). 

Kombinasi huruf dari keempat faktor ini yang disebut menggambarkan kepribadian seseorang. Ada 16 kombinasi yang dimungkinkan, masing-masing dengan penjelasannya tersendiri: 


Katanya MBTI ini bisa berubah. Yah namanya juga deskripsinya berdasarkan jawaban pertanyaan-pertanyaan yang diisi sendiri. Beberapa waktu lalu MBTI saya INTP, tapi kemarin setelah mencoba lagi, MBTI saya berubah jadi INFP. Mungkin semakin tua, saya semakin tidak logis? Atau kalau mau berpikir positif makin kesini saya jadi lebih punya empati. 

Hasil Eksperimen

Kembali ke “eksperimen” saya dengan orang-orang terdekat, saya mendapatkan fakta bahwa dari keempat orang yang dekat dengan saya ini, semua punya tipe kepribadian yang mirip-mirip. Paling  cuma beda satu huruf. 

Ini hasil pengamatan saya mengenai perbedaan kepribadian antara saya dan masing-masing orang tersebut: 

Saya (INFP) VS Suami (INTP)

Walaupun sama absurdnya dengan saya soal kehidupan, suami saya adalah orang yang sangat logis dan rasional. Semua hal, buat dia, pasti ada penjelasannya (thinking). Sementara saya, walaupun cukup rasional, lebih percaya pada perasaan (feeling). 

 Masalah utama kami terkait perbedaan ini adalah pada cara pandang kami terhadap masalah. Buat saya, yang namanya masalah itu tidak selalu harus diselesaikan. Kadang hanya perlu dikeluhkan saja. Untuk suami, masalah hanya benar-benar jadi masalah kalau memang ada alasan kuat dibaliknya dan harus diselesaikan.

Jadi kalau saya curhat atau mengeluh mengenai suatu hal, pilihan respon suami cuma 2: pertama diam saja, karena tidak mengerti masalahnya dimana (menurut dia yang saya keluhkan bukan masalah), kedua memberikan solusi. Seringkali, suami langsung memberikan solusi dari masalah yang saya kemukakan. Dimana solusinya seringkali tidak bisa saya terima. Karena saya curhat bukan buat cari solusi. Coba yang sepaham angkat tangan!

Apalagi karena saking logisnya dia, kalau menanggapi cerita saya, saya rasanya seperti diinterogasi atau sidang TA. Saking saya harus tau A-Z tentang semua hal yang saya curhatkan. Kan jengkel juga saya. Niatnya curhat biar nggak stress malah makin mumet.

Sampai 12 tahun pernikahan kami, suami masih belum bisa paham persoalan “curhat bukan untuk cari solusi” ini. Tapi paling tidak sekarang kalau saya curhat atau mengeluh, sebelum menanggapi dia nanya dulu: kamu ini curhat aja atau pengen dapet solusi? Lalu memberikan reaksi sesuai jawaban saya. Lumayanlah menghindari ngambek-ngambekan karena merasa salah dimengerti. Walaupun kalau lagi seru curhat dia cuma mengangguk angguk, kadang saya kesel juga sih. Sungguh wanita, maunya apa ya? Haha. 

Saya (INFP) VS Teman Dekat 1 (INFJ)

Saya sudah berteman dekat dengan teman saya ini selama lebih dari 15 tahun. Dia kakak kelas saya saat kuliah, tapi kami sempat menghabiskan waktu beberapa tahun bekerja keliling Indonesia. Termasuk juga beberapa kali berpergian ke luar negeri.

Saya dan teman saya ini sama-sama santai menghadapi kehidupan. Untungnya hidup agak ramah pada kami. Walaupun tentu saja sekali dua kali ada badai besar menerpa. Keluhan dan permasalahan kami masih sama dari usia dua puluhan hingga menjelang empat puluhan. What if adalah tema utamanya. Percakapan berandai-andai yang segera terlupakan begitu badai mulai mereda.

Walaupun sama-sama santai, pendekatan kami dalam melakukan sesuatu jauh berbeda. Sebagai J, teman saya ini sangat terencana dan terorganisir. Sementara saya sebagai P jauh lebih impulsif. Dulu waktu kami masih sering terbang-terbang ke sana kemari, teman saya ini yang mengambil peran scheduling dan itinerary. Sementara saya adalah pengambil keputusan. Kapan harus serius kapan harus bersenang-senang. 

Sekarang setelah lebih dewasa dan punya kehidupan masing-masing, perbedaan kami terlihat dari folder komputer dan catatan (mengenai apapun) teman saya yang tersusun rapi. Sementara semua file di komputer saya ada di folder download dan bahkan mental notes saya saja berantakan.

Saya (INFP) VS Teman Dekat 2 (ENFP)

Teman saya yang satu ini baru saya kenal setelah bekerja. Dia junior saya di kampus dengan usia terpaut 6 tahun. Perbedaan usia tidak menghalangi kami untuk berteman, karena dia nggak ada pilihan lain saya memang berijwa muda. Lingkungan kami sama dan situasi kami sedikit banyak mirip. Sama-sama ibu dengan dua anak dan kroco di tempat kami bekerja. Saya karena posisi saya sebagai tenaga pendukung, sementara dia karena usianya yang termasuk junior diantara koleganya.

Kami berdua hobi menunda-nunda, jadi di kantor sering dapat masalah terkait deadline. Hanya saja masalah teman saya ini seringkali lebih banyak dari saya, karena sebagai orang ekstrovert, dia tidak bisa bilang “tidak” ke orang lain. Apalagi orang yang minta tolong.

Akibat hal itu kepusingannya sering kali berkali lipat dari kepusingan saya. Pekerjaannya terus bertambah tapi semakin menumpuk karena ditunda-tunda. Mengenai hal ini, saya sebagai introvert lebih beruntung, karena saya lebih bisa mengungkapkan keberatan tidak sungkan menghilang sebelum dimintain tolong. Haha.

Saya (INFP-A) VS Teman Dekat 3 (INFP-T)

Kalau saya kerja berdua dengan teman saya ini, kami bisa menghabiskan waktu bicara tentang hal yang kami suka dan melupakan hal yang harus kami kerjakan. Sebetulnya saya agak heran kenapa kepribadian teman saya ini bisa sama persis dengan saya. Padahal kami cukup beda. 

Teman saya ini sangat brilian. Selalu bisa menemukan pemecahan masalah sesederhana mungkin. Prinsip hidupnya adalah jangan merepotkan diri sendiri. Hanya saja memang, sama seperti saya, teman saya ini hanya fokus kalau mengerjakan hal yang dia suka. 

Tipe INFP konon memang cocoknya jadi seniman. Kreatif dan bisa melakukan pekerjaan yang sangat bagus, asalkan sesuai mood. Kami berdua bisa tidak melakukan suatu pekerjaan kalau tidak yakin hasilnya akan sempurna. Makanya saya juga sering menunda-nunda karena menunggu momen dimana semesta mendukung. 

Mengenai hal ini, di tempat kerja atasan saya bahkan sudah sampai tahap legowo kalau memberikan saya tugas lalu saya mengerjakannya entah kapan. Haha. Pantas saja tipe kepribadian INFP konon adalah tipe kepribadian yang paling tidak disukai sebagai pekerja di perusahaan Korea Selatan. Korporasi mana coba yang bisa bekerja kalau semua karyawannya macam saya? Suka-suka sendiri.

Perbedaan saya dan teman saya ini ada di keterangan di belakang INFP. Di website 16personalities ada tambahan klasifikasi untuk masing-masing kepribadian. Assertive dan Turbulent. Saya assertive sementara teman saya turbulent

Karena assertive, saya lebih kalem dan pede dengan tindakan yang saya lakukan, sementara teman saya, masih suka mempertanyakan keputusannya. Istilah lokalnya galau. Karena dia jauh lebih perfeksionis daripada saya. 

Penutup 

Terlepas dari benar atau tidaknya analisis tipe kepribadian dengan MBTI ini, paling tidak kita bisa mencari pembenaran latar belakang cukup ilmiah terkait sifat yang kita miliki atau tindakan yang kita lakukan. Bukan berarti setelah mengetahui kepribadian kita, lalu menyerah pada hal tersebut ya. Justru mari dijadikan jalan untuk berjuang. (Kalau moodnya sesuai haha).

Ditulis untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Mei dengan Tema Perbandingan (Versus).



Read more ...

Saturday, April 20, 2024

No Buy Year

Merasa Bersalah

Entah sejak kapan sebetulnya saya selalu merasa bersalah kalau beli baju baru. Awalnya mungkin karena baju-baju lama saya masih banyak menumpuk tak terpakai di lemari. Tapi walaupun selalu tidak enak hati, namanya wanita terkadang tergoda tetap ingin coba trend baru. Padahal sebagai orang yang tak terlilit tali pusar saat lahir tak modis, baju-baju itu jatuhnya sama-sama saja di saya. Gitu-gitu saja apapun modelnya. Lebih sering bahkan tak pantas. Sehingga tak jarang pakaian yang baru datang langsung saya hibahkan. 

Soalnya tinggal masih numpang. Minim lemari penyimpanan.

Sebagai orang yang hobinya menyalahkan keadaan, mari kita salahkan platform belanja online atas meningkatnya volume pembelian barang fashion. Kemudahan akses ke toko-toko, kapanpun dan dimanapun memang menggoda. Jempol ternyata lebih susah ditahan daripada derasnya aliran air di pintu Bendungan Katulampa. Paling tidak untuk bendungan sudah ada peringatannya. 

Untuk toko online, kalau sedang kurang eling belanja, kadang sampai lupa apa yang dipesan. Lalu Kang Paket datang membawa tumpukan bungkusan. Kemudian saya harus menyiapkan sejuta alasan kepada suami yang biasanya hanya geleng-geleng kepala tanpa berkata apa-apa. 

Rasa bersalah yang saya rasakan, sepertinya semakin naik setelah pernah membaca statistik mengenai sampah yang dihasilkan oleh industri pakaian. Wajar saja pakaian menjadi salah satu sumber sampah terbesar. Hampir seluruh manusia di bumi, yang jumlahnya hampir 8 miliar ini, menggunakan pakaian. Ada yang pakaiannya itu-itu saja, tapi lebih banyak yang terus menerus beli. Makanya fashion menjadi salah satu industri yang menggiurkan. Pasarnya besar dan nilai industrinya diperkirakan mencapai 3000 Miliar USD. Menggiurkan sekali.

Apalagi disetir oleh media atas nama tren musiman. Makin semangat para produsen menggenjot pabrik menghasilkan tren pakaian terkini.

Fast fashion adalah sebutan untuk proses produksi pakaian secara masal dalam jumlah besar. Produk industri ini menggunakan bahan baku murah, yang sebagian besarnya tidak ramah lingkungan, untuk menekan biaya produksi. Perubahan tren yang cepat membuat produk fast fashion sangat diminati dengan alasan ekonomi.

Statistik yang Mengerikan

Saat ini diperkirakan ada 100 miliar pakaian yang diproduksi oleh industri pakaian setiap tahunnya (1). Volume produksi yang sangat besar menjadikan industri ini sebagai penyumbang ketiga terbesar polusi di muka bumi (2). Hanya kalah dari industri bahan bakar dan industri pertanian. Polusi yang dihasilkan bukan hanya dari emisi karbon tapi juga pencemaran air. Terutama akibat produksi dan penggunaan bahan polyester. Garmen murah untuk produksi masal pakaian (fast fashion). 

Tumpukan sampah fast fashion di tempat pembuangan sampah akhir. Banyak dari pakaian-pakaian ini dibuang ke negara-negara berkembang di Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Pelarangan impor pakaian bekas di Indonesia telah diberlakukan mulai tahun 2023.

Selain produksi pakaian itu sendiri, produksi bahan material tekstil untuk pakaian juga menghabiskan banyak sumber daya alam: air dan tanah. Diperkirakan untuk menghasilkan 1 T-Shirt berbahan dsar katun diperlukan 2700 liter air (3). Cukup untuk minum 1 manusia dewasa selama 2.5 tahun. Sementara itu untuk menanam 1 kg kapas sebagai bahan mentah T-Shirt tersebut diperlukan lahan sebesar 400 meter persegi. 

Lahan sebesar itu tidak bisa dipakai berulang dalam jangka waktu yang lama. Tanaman kapas yang rentan hama memerlukan pestisida dalam jumlah yang banyak, sehingga lahan yang digunakan cepat rusak. Selain itu, karena kebutuhan airnya sangat besar, ladang kapas juga seringkali menyebabkan kekeringan untuk lingkungan sekitar. Karena kebutuhan airnya banyak, seluruh sumber daya air diarahkan ke ladang kapas. Hingga tak jarang habis tak bersisa.

Masalahnya setelah semua usaha dan sumberdaya yang besar untuk produksinya, sebanyak 87% pakaian yang dihasilkan berakhir di tong sampah. Di Indonesia sendiri, dari 33 juta ton tekstil yang diproduksi di Indonesia, 1 juta ton diantaranya berakhir di pembuangan sampah (4). Daro jutaan ton sampah pakaian, tak sedikit juga yang berakhir di sungai dan laut. Menambah kemeriahan sampah yang bertebaran di muka bumi.

Inisiatif yang Belum Cukup

Inisiatif daur ulang bahan pakaian sesungguhnya sudah bermunculan di berbagai tempat di dunia, baik dalam skala kecil maupun besar. Tapi tentu saja kapasitas daur ulang pakaian saat ini belum bisa menyamai kapasitas produksi pakaian setiap tahunnya. Masih terlalu jauh skalanya. Sebagai gambaran pabrik daur ulang pakaian Renewcell di Swedia memiliki kapasitas daur ulang 60.000 Kg per hari atau sekitar 20 ribu ton pertahun (5). Sementara sampah yang dihasilkan sudah dalam hitungan juta ton.
Tumpukan pakaian di pusat daur ulang. Kecepatan proses daur ulang tidak sebanding dengan barang yang datang.

Sebetulnya di Indonesia sendiri, menurut saya, umur pemakaian pakaian masih lebih panjang daripada di negara barat. Disini masih banyak orang yang dengan senang hati menerima pakaian bekas. Selain itu dengan kreativitasnya, orang Indonesia juga bisa menggunakan pakaian lusuh dan tidak pantas pakai untuk berbagai macam hal: Lap bekas, saringan air, penyekat ruangan, peredam suara, dan sebagainya. 

Tapi tetap saja, laju kecepatan jempol untuk klak-klik memasukkan blouse dan gamis lucu kedalam keranjang sangat tidak sebanding dengan keinginan otak untuk memilah dan menyumbangkan pakaian. Jadi, buat saya, kalau memang ingin menuntaskan rasa bersalah karena urusan pakaian, jempol saya yang harus disetop. Seluruhnya. 

Maka dari itu salah satu resolusi saya di tahun 2024 adalah: No Buy Year Pakaian. Resolusi ini berlaku untuk saya sendiri. Tidak berlaku untuk anak-anak. Tentu saja karena mereka tumbuh dengan cepat dan secara berkala perlu baju baru. Juga tidak perlu diberlakukan untuk suami karena dia memang tidak pernah beli baju baru kecuali sudah sobek atau sangat usang.

Tak Beli Baju

Untuk melakukan "No Buy Year" hal pertama yang saya lakukan tentu saja uninstall semua platform belanja. Sebelum lebaran kemarin, saya berhasil belanja baju anak hanya secara offline. Tidak nyaman tentu saja, tapi efektif mencegah saya kalap belanja. Lagipula saya sudah lupa rasanya ke toko serba-ada dan membeli baju. Saya jadi ingat kalau alasan saya belanja online adalah saya tidak pandai berkomunikasi dengan pramuniaga toko. Selalu canggung. 

Membuat saya tidak ingin sering-sering belanja baju. 

Setelah uninstall platform belanja, saya keluarkan semua baju saya dari lemari kemudian saya pilah dan susun ulang. Setelah diamati banyak yang bisa di mix match. Ada juga yang baru dipakai dalam hitungan jari. Pakai hitungan kombinasi sepertinya bisa setiap hari ganti penampilan. Kalaupun saya tidak ganti-ganti baju sepertinya juga tidak ada yang peduli. Artis juga bukan. 

Selanjutnya, saya berusaha mengubah mindset, apalagi kalau mulai tergoda beli ini itu untuk “melengkapi” penampilan saya. Pakaian itu yang penting pantas, rapi, dan sopan. Tidak perlu neko-neko. Karena toh baik pekerjaan saya maupun kehidupan saya tidak perlu dress to impress. Pakai baju karena ya memang karena harus pakai baju saja. 

Setelah memantapkan hati dan pikiran juga mengkondisikan suasana, sekarang tinggal berdoa saja banyak-banyak supaya diberikan kelapangan hati dan rezeki untuk konsisten tidak beli baju sampai akhir tahun. Karena waktu mudik kemarin juga sempat ada insiden yang menyebabkan saya harus beli celana panjang baru. Untungnya masih ada kesempatan beli di toko baju yang sudah menerapkan prinsip fashion berkelanjutan. Tidak merasa bersalah-bersalah amatlah. 

Semoga bisa sukses sampai akhir tahun.

Saya mendapatkan ide No Buy Year dari salah satu video di youtube shorts. Di video tersebut No Buy Year-nya lebih ekstrim. Memang tidak beli apa-apa selain kebutuhan pokok. Karena saya belum bisa seperti itu, akhirnya pakaian saja dulu. Siapa tau bisa setitik membantu bumi dan juga dompet saya. Karena sebetulnya orang lain melakukan No Buy Year kebanyakan ingin tahu penghasilan mereka yang sesungguhnya bisa dihemat kalau tidak digunakan untuk hal-hal yang tidak esensial.

Pelajaran Dari Masa Lalu

Suatu hari, saat saya sedang duduk di bangku kuliah S2, dosen saya menunjukkan sebuah poster. Gambarnya seorang lelaki tua kurus kering yang sudah keriput. Mukanya menunjukkan rasa bersalah dan penyesalan. Ada tulisan di samping gambar tersebut. Saya lupa tepatnya kata-katanya. Tapi intinya si lelaki itu meminta maaf kepada anak-anaknya.

Pada masa mudanya pria itu telah menghabiskan sumber daya di bumi tanpa menyisakan sedikitpun untuk anak-anaknya. Sehingga saat anak-anaknya dewasa, mereka hidup kesulitan. Pria itu berpikir bumi akan selalu baik-baik saja. Tapi ternyata kapasitas alam ini tidak mampu mengakomodasi rasa serakah manusia. Penyesalan pria tua itu datang karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk anak-anaknya. 

Isi poster itu masih terbayang oleh saya sampai sekarang. Padahal tidak ada satupun pelajaran S2 yang saya ingat. Semakin terasa relatable saat punya anak-anak. Walaupun otak saya sering lupa, tapi di hati kecil ada rasa bersalah pada anak-anak kalau saya mulai “serakah”. Gimana nanti kalau tidak ada yang tersisa untuk mereka? Kan saya jadi berdosa.

Bumi sudah semakin tua.
Ilustrasi Rotten Erath oleh Leon Quinn di Platform Dribble

Penutup

Selama masih berputar, bumi akan terus mencari keseimbangan. Maka dari itu, selama manusia masih terus melakukan kerusakan, selama itu juga bumi tidak akan berhenti “melawan”. Saat ini belum banyak yang bisa saya lakukan untuk Bumi, kecuali menahan diri. Menahan diri untuk tidak konsumtif lebih tepatnya.

Konsumsi seperlunya saja dari sumber daya yang ada di bumi ini. Memilih untuk melakukan hal lain yang lebih bermanfaat daripada menghabiskan uang untuk belanja. Berharap semoga di masa anak cucu kita permasalahan alam di Bumi bisa diatasi. Sehingga kehidupan mereka bisa lebih baik dari hari ini. Amin. 


Read more ...

Wednesday, March 20, 2024

Antara Krisis Nasi dan Isi Piringku

Sebuah analisis suka-suka berbasis cocokologi.

Sego is Lyfe

Pasti banyak yang mengamini, kalau dalam hidupnya kebanyakan orang Indonesia tidak bisa dipisahkan oleh nasi. Bahkan ketika makan karbohidrat lainnya, tetap saja ada nasi yang setia menemani. Nasi berlauk mie goreng, perkedel kentang, bakwan jagung, siomay, dan lain-lain. Karbohidrat kuadrat bahkan pangkat tiga. Nasi is in our blood.

Standar sarapan anak-anak tahun 90-an (atau saya saja ya?). Pantesan dulu jam 9 pagi sudah nguap-nguap di kelas. Kebanyakan karbohidrat.
(Sumber Gambar Nasi Lauk Mie)

Konon nasi sudah lama menjadi bagian sejarah makanan di Indonesia. Bahkan situs purbakala Minanga Sipakko di Pulau Sulawesi menjadi saksi bahwa semenjak 3500 tahun SM pertanian padi sudah ada di bumi nusantara. Akan tetapi, walaupun jejaknya ada sejak zaman purbakala, makanan utama orang indonesia pada zaman kerajaan ternyata bukanlah nasi, melainkan tepung sagu. Setelah hindu masuk ke nusantara, barulah nasi menjadi populer, terutama di daerah Sumatera dan Jawa karena diperkenalkan oleh pedagang dari India. 

Sebetulnya sampai sekarang, di Indonesia timur sagu masih menjadi salah satu makanan pokok, tapi jumlah konsumsinya juga terus menurun. (Sumber Gambar Pepeda)

Tepung Sagu sering digunakan sebagai pengganti tepung aci. Jadi kesukaan kita pada cireng, pempek, bakso dan segala hal yang kenyal-kenyal ini ternyata bawaan nenek moyang! Embrace it folks! (Sumber Gambar Cireng)

Dari sisi kepraktisan, sagu memang lebih mudah tersedia daripada nasi. Pohon sagu sendiri tumbuh dengan mudah di iklim tropis. Tinggal ditebang dan diolah. Sementara nasi memerlukan proses yang jauh lebih panjang. Itupun kemampuan adaptasinya sangat rendah. Hanya saja tekstur dan rasa nasi yang netral memang lebih cocok dimakan oleh apapun, dibandingkan dengan tepung sagu yang lembek dan kenyal. Mungkin itu sebabnya, ketika mulai dikenal, posisi nasi dengan mudah menggeser sagu sebagai makanan pokok. 

Bangsa "Budak" Nasi

Mari kita salahkan pemerintah orde baru. Dimana ambisinya untuk mendapatkan predikat swa sembada pangan diraih dengan “memaksa” seluruh rakyat Indonesia mengkonsumsi nasi putih. Subsidi beras murah diberikan dari sabang sampai merauke. Insentif pertanian terbesar diberikan untuk masyarakat yang bersedia menjadi petani padi. Alhasil puluhan tahun setelahnya bangsa Indonesia menjadi “budak nasi”. 

Tak ada nasi, rungsing. Harga beras naik pusing. 

Tipikal makanan orang Indonesia, 7/8 nya karbohidrat. Asal kenyang!
(Sumber Gambar Ramesan)

Predikat negara agraris dan swa sembada pangan sebetulnya sudah sejak lama tidak layak disandang oleh Indonesia. Sudah kalah dengan negara penghasil beras lainnya. Teknologi yang tertinggal dan manajemen yang buruk menjadi biang keroknya. Beras impor merajalela dengan harga murah, mencekik leher para petani lokal yang tidak punya kemampuan produksi yang sebanding. Tak heran jika para petani memilih untuk menjual sawah-sawah mereka. Lahan pertanian tersebut, sekarang banyak digantikan oleh bangunan-bangunan beton. 

Sudah jadi pemandangan jamak sawah di tengah bangunan pabrik. Mungkin sudah saatnya pengelolaan pertanian berubah model menjadi korporasi. Tapi ini argumen di tulisan lainnya.
(Sumber Gambar Sawah)

Mungkin memang saatnya bangsa ini mengurangi ketergantungan pada nasi. Selain karena harganya semakin mahal, karena suplai terus berkurang dengan kualitas yang menurun, dari sisi kesehatan nasi juga merupakan jenis karbohidrat yang kurang baik bagi tubuh. Indeks glikemik yang tinggi memicu kenaikan gula darah secara drastis (penyebab diabetes). Selain itu rasa kenyang yang ditimbulkan dari mengkonsumsi nasi juga hanya sebentar dibandingkan karbohidrat lain. Makanya setelah makan nasi, setengah jam kemudian kita masih cari seblak.

Mengurangi Nasi, Menyukseskan Program Isi Piringku

Sesuai arahan UNICEF, konsep “Isi Piringku” diperkenalkan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2018 untuk menggantikan konsep 4 Sehat 5 Sempurna. Perbedaan mendasar dari kedua konsep ini ada pada proporsi makanan yang dikonsumsi. Di 4 sehat 5 sempurna yang penting adalah kelengkapannya. Sementara di Isi piringku selain lengkap juga harus seimbang porsinya. 

Berdasarkan prinsip Isi Piringku, asupan makanan kita harus dibagi menjadi : 1/3 karbohidrat (sumber energi), 1/3 protein (nabati maupun hewani), dan 1/3 sayur dan buah (sumber serat, vitamin, dan mineral), dan . Konsep isi piringku utamanya dijadikan ujung tombak dalam melawan stunting: kasus kekurangan gizi pada anak-anak Indonesia. 

Untuk orang yang tidak punya masalah kekurangan gizi, mengikuti prinsip isi piringku sesungguhnya bermanfaat untuk metabolisme tubuh. Metabolisme tubuh sendiri adalah hal mendasar dari kesehatan manusia. Hal ini yang seringkali tidak disadari oleh orang, apalagi jika tidak punya masalah kelebihan berat badan. Berbagai hasil penelitian menyimpulkan kalau mengatur asupan makro dan mikro nutrien serta serat berpengaruh pada kemampuan tubuh untuk bekerja dengan baik.

Bukan tanpa sebab orang Jepang berumur panjang. Makanan yang mereka konsumsi seimbang dari sisi gizi. You are what you eat memang benar adanya. (Sumber Gambar Tipikal Makanan Orang Jepang

Prinsip Sehat yang Tidak Mudah

Masalahnya, mengikuti prinsip Isi Piringku bukanlah hal yang mudah. Setelah bertahun-tahun terbiasa makan dengan segunung nasi, kok ya rasanya ada yang kurang melihat nasi yang hanya secimit. Ketakutan akan rasa lapar terus menghantui, membuat banyak orang menyerah dan kembali memenuhi piring dengan nasi. Padahal jika diikuti dengan benar, makan sesuai isi piringku menjamin orang untuk kenyang lebih lama, karena badannya terpuaskan kebutuhannya. 

Godaan nasi memang dahsyat.

Tahun 2023 dalam usaha saya untuk hidup lebih sehat, saya sedikit banyak menerapkan prinsip isi piringku. Makan nasi lebih sedikit dan sayur buah lebih banyak. Tidak ketinggalan sumber protein dalam bentuk utuh dan bukan karbohidrat menyamar sebagai lauk bak udang dibalik bakwan. Walaupun tidak selalu khusyuk menjalankannya, karena masih sering tergoda yang tidak-tidak, ini beberapa prinsip yang saya pegang supaya Isi Piringku jadi lebih doable:
  1. Membiasakan diri menjadikan sayur sebagai makanan pokok sementara nasi sebagai pelengkap. Saya pakai centong nasi untuk menyendok sayur dan pakai sendok makan untuk mengambil nasi.
  2. Memilih sayur dengan kandungan serat tinggi seperti brokoli, terong, wortel, selada, bayam. Serat bikin kenyang lebih lama. 
  3. Memilih makanan dalam bentuk aslinya. Walaupun terdengar snobbish, tapi makanan dalam bentuk asli memang lebih mudah dihitung komposisinya daripada makanan yang sudah diolah sedemikian rupa. Coba deh hitung komposisi protein, karbo, dan sayur di sekantong lumpia basah. Pasti pusing kan?
  4. Fokus pada after effect. Di usia saya yang hampir kepala empat ini, saya menyadari makan nasi banyak-banyak menyebabkan ngantuk dan setelahnya craving  makanan manis. Sebaliknya makan lebih banyak sayur membuat badan lebih enteng dan mood lebih baik.
  5. Tidak terlalu memusingkan cara masak. Paling penting adalah komposisi. Lama-lama sadar sendiri. 
  6. Telen saja. Tidak usah dirasa-rasa. Sudah bukan waktunya hidup untuk makan. Umur segini sudah waktunya makan yang baik untuk hidup sehat sampai lama.
Kalau sedang berniat, begini isi piring saya. Setengahnya sayur, seperempat protein, seperempat nasi. Sambal dianggap sayur lah ya. Untuk mempermudah, saya pakai piring bersekat. Kalau makan diluar atau ke undangan saya juga tetap mengusahakan isi piringku. Sekali lagi kalau sedang niat. Tapi lama-lama, walaupun menjalankannya on off, diri ini secara otomatis mengambil lebih banyak sayur daripada nasi. (Sumber Dokumentasi Pribadi)


Demikian sepenggal kisah antara krisis nasi dan isi piringku. Semoga bisa diambil hikmahnya. Tulisan ini dibuat untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Maret dengan Tema Cerita Kuliner.



Read more ...

Tuesday, February 20, 2024

Kalau Emak Boleh Berharap

Tentang Pentingnya Kebahagiaan Seorang Emak 

Emak-emak adalah golongan penting di tataran kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimanapun negaranya, kapanpun masanya, pasti selalu ada peran besar emak-emak di dalamnya. Baik yang terlihat maupun tersembunyi di belakang layar. 

Menurut beberapa literatur yang saya baca, kebahagiaan keluarga, lebih besar dipengaruhi oleh kebahagiaan seorang emak daripada oleh kebahagiaan seorang bapack. Tentu saja bukan maksud saya mengesampingkan peran bapack-bapack, karena jelas peran bapack-bapack dalam kebahagiaan keluarga tidaklah kecil. But it just happens that way. Suasana hati dan energi emak-emak, baik sebagai individu, isteri, atau orang tua, konon sangat berpengaruh pada kondisi rumah.Seperti saklar lampu yang menentukan gelap terangnya suatu ruangan.

Sepertinya hampir semua orang pasti bisa mengamini hal ini. Ketika emak merasa sedih, lelah, kesal, ataupun marah, suasana rumah langsung terasa rungsing, muram, dan suram. Sebaliknya ketika emak merasa bahagia dan puas pada dirinya, suasana keluarga terasa lebih nyaman dan tenang. 
Happy emak-emak, happy family.

Tentang Hubungan Kebahagiaan Emak dan Kebahagiaan Negara 

Sementara itu, kebahagiaan setiap keluarga sendiri sangat berpengaruh pada kebahagiaan lingkungan/komunitas, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada tingkat kebahagiaan suatu negara. Ini beberapa alasannya (dirangkum dari beberapa artikel): 
  1. Keluarga yang bahagia disinyalir lebih produktif karena energinya tersalurkan untuk hal yang bermanfaat. Dengan masyarakat yang produktif negara bisa lebih maju. 
  2. Keluarga yang bahagia juga mengurangi beban masyarakat yang terjadi karena masalah kesehatan mental termasuk frustasi dan stress karena beban hidup. Dua hal ini termasuk salah satu faktor pendorong kriminalitas. Jadi saat semakin banyak keluarga yang tidak frustasi dan stress, negara akan semakin aman. 
  3. Keluarga yang bahagia, biasanya punya hubungan anggota keluarga yang erat satu dengan lainnya, sehingga kondisi keluarga lebih stabil dan kuat secara sosial. Unit “kerja” atau motor penggerak terkecil dari negara sejatinya adalah keluarga. Jadi semakin banyak keluarga dengan kondisi stabil, akan tercipta stabilitas wilayah yang lebih luas. Stabilitas wilayah akan mendorong stabilitas nasional. Negara dengan kondisi sosial yang stabil, jelas lebih mudah mencapai kemajuan. Kapal yang oleng kan susah majunya.
  4. Keluarga yang bahagia, menghasilkan generasi yang kuat. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang bahagia cenderung memiliki peluang yang lebih baik untuk tumbuh dan berkembang secara positif, yang dapat menghasilkan generasi yang lebih bahagia, produktif, dan berkontribusi pada kemajuan negara.
NAH! Dengan berbagai alasan diatas, tidak ada salahnya bagi para pemimpin negara untuk mulai memikirkan kebahagiaan emak-emak, sebagai salah satu jurus ninja untuk mencapai negara yang bahagia.

Karena percayalah, membahagiakan emak-emak di negara sendiri lebih gampang dan berkah daripada membahagiakan pihak lain. Investor luar contohnya. Eh?

Ingat, doa ibu adalah salah satu yang bisa menembus langit ketujuh dan surga ada di telapak kakinya. Kekuatan tersembunyi negara Indonesia, sebagai bangsa beragama, yang belum tentu dimiliki oleh negara lain. 
Happy family, happy country. 

Hal yang Membuat Emak Bahagia

Kebahagiaan, menurut KBBI adalah kesenangan dan ketenteraman hidup (lahir batin); keberuntungan; kemujuran yang bersifat lahir batin. 

Lalu pertanyaannya, "apa sejatinya yang membuat para emak bahagia?"

Jawaban pertanyaan ini tentu saja bisa beraneka ragam, tergantung dari konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Plus ambisi dari emak yang berharap tersebut. Tapi, secara umum, kebahagiaan emak-emak ada di seputar kesejahteraan keluarga. Ada yang tidak setuju? 

Perkara kesejahteraannya mau hanya keluarga inti atau sampai tujuh turunan, itu sih diserahkan kepada kebijakan masing-masing emak ya. Tapi intinya hampir semua emak-emak bahagia kalau keluarganya sejahtera. 

Sebetulnya kesejahteraan keluarga, tidak melulu hanya diukur oleh banyaknya materi yang dipunya. A life well lived adalah slogan yang lebih tepat menurut saya. Mencapai kepuasaan dan kebahagiaan melalui kehidupan yang punya tujuan dan arti (purposeful living). Tak harus seperti Sultan Andhara untuk punya kehidupan yang punya tujuan dan berarti. Semua orang, apapun kondisi ekonominya, (harusnya) bisa juga. 

Asal sudah bisa memenuhi tingkatan kedua dari diaram kebutuhan Maslow: kebutuhan fisiologi dan kebutuhan akan keamanan. Pemenuhan sebagian besar dari kedua kebutuhan ini seharusnya, adalah kewajiban negara. 

Sumber: www.thoughtco.com 

Kebahagiaan yang Semakin Hilang 

Emak-emak Indonesia, seperti orang Indonesia pada umumnya, sebetulnya gampang dibuat bahagia. Entah karena standar kebahagiaanya memang rendah, sangat positif thinking, atau memang sifat standarnya adalah happy go lucky..

Tapi, kalau lihat kanan kiri sekarang ini sepertinya semakin banyak emak-emak (dan orang-orang) yang frustasi. Bahkan tak jarang sampai kehilangan akal dan melakukan hal-hal nekad. Lihat saja berita-berita kriminal di televisi. Senggol bacok karena hal sepele semakin jamak di negeri ini. 

Pasti ada yang salah dengan negeri ini, kalau sampai semakin banyak rakyatnya yang semakin tidak bahagia. Berkaca pada pengalaman diri sendiri, yang akhir-akhir ini ingin jambak-jambak rambut saat membayar groceries, pantas saja banyak orang yang emosi. Bahkan untuk keluarga dengan tingkat sosio ekonomi menengah (keatas) seperti kami ini, hidup semakin sulit di negeri ini. 

Dengan negara yang cenderung membiarkan rakyatnya untuk survive sendiri, emak-emak sebagai ujung tombak keluarga pasti adalah yang pertama merasakan segala kesulitan tersebut. 

Harga barang-barang melambung tinggi, membuat daya beli semakin menurun. Kualitas kesehatan memburuk karena lingkungan hidup yang semakin tidak kondusif. Adab yang semakin menghilang membuat rasa aman perlahan sirna terganti ketakutan akan perilaku manusia lainnya. Kesejahteraan (dan kebahagiaan) semakin menghilang dari bumi pertiwi.

Banyak emak-emak mulai mencari kebahagiaan semu dari hal-hal yang tak penting. Mungkin untuk sekedar melupakan masalah yang sebenarnya dihadapi. 

Situasi ini, mengkhawatirkan buat saya, karena seperti saya sampaikan diatas, kondisi emak-emak berpengaruh pada kondisi keluarga dan pada akhirnya pada kondisi negara. Tidak ada negara yang baik-baik saja kalau rakyatnya frustasi. Seperti menyetir kelompok zombie yang gentayangan tanpa arti kesana dan kemari untuk menuju arah yang sama. 

Harapan untuk Mencapai Kesejahteraan (Bersama)

Katanya, kita tidak boleh menggantungkan harapan pada manusia. Karena manusia, terntu saja adalah tempatnya salah dan lupa. Tapi sebagai emak-emak yang punya privilese sebagai bagian dari 1% orang Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi di universitas ternama, izinkan saya memberikan saran pada pemimpin Indonesia. 

Siapa tau suatu saat ada yang melihat. Syukur-syukur ada yang bersedia memperjuangkan. Mana tau kan pikiran saya sama dengan elite pimpinan diatas sana. 

So here we go, saran saya kepada pemimpin Indonesia, untuk paling tidak membuat emak-emak bahagia: 
  1. Jaminan universal basic income untuk seluruh keluarga di Indonesia. Karena seperti amanat undang-undang, orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Tak perlu khawatir tak bisa makan kalau tak punya pekerjaan. Dengan perut terisi, paling tidak punya tenaga (dan kewarasan) untuk mencari pekerjaan. 
  2. Emak-Emak (atau Bapack-Bapack) DIGAJI negara untuk menjadi ibu/bapak rumah tangga. Karena stay at home mom/dad is the most underated and underpaid job in the world. Padahal nilai investasinya besar untuk generasi mendatang. 
  3. Pemenuhan basic necessities untuk seluruh keluarga di Indonesia. Saluran air bersih, tempat tinggal yang layak dengan pembuangan limbah yang memadai, seta akses ke bahan pangan yang bervariasi, berkualitas, dan TERJANGKAU. Oh come on, we can do that.
  4. Pendidikan adab (dan literasi) yang mumpuni untuk seluruh rakyat Indonesia. Saya tahu yang selama ini diributkan adalah skor PISA kita yang rendah. Tapi buat saya, daripada skor matematika dan ilmu pengetahuan lainnya, yang paling penting sekarang ini adalah terlebih dahulu mengembalikan jiwa orang Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat. Tak ada gunanya kepintaran kalau tidak punya adab. Hanya akan menyebabkan kemunduran. Sebaliknya, dengan adab yang baik orang bisa lebih mudah mendapatkan ilmu dan memperoleh kemajuan. 
  5. Dukungan untuk memajukan usaha/pekerja lokal yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan basic necessities di seluruh wilayah Indonesia. Semakin banyak service yang diberikan, semakin banyak pekerja yang dibutuhkan. Peluang kerja terbuka lebar. Biar nggak pada cari kerja di Jakarta saja, atau mimpi jadi yutuber terus terusan. 
  6. Penyediaan ruang terbuka hijau di seluruh wilayah Indonesia. Termasuk penghijauan kembali tanah bekas tambang dan reboisasi hutan. Lingkungan yang asri, hati adem, stress hilang. Kalau perlu adakan playground/lahan bermain gratis di setiap RW atau kelurahan, terutama di daerah perkotaan. Sehingga anak-anak punya kesempatan bermain fisik daripada hanya menggunakan gadget seharian. Healthy children build healthy nations.
  7. TERPENTING! Apapun kebijakan yang diambil, Bapak dan Ibu yang terhormat, selalu ingat pada akhirat. Ketika seluruh perbuatan, baik atau buruk, akan mendapatkan balasan yang sesuai. 

Penutup

Cara mengukur kebahagiaan suatu negara menurut United Nations Sustainable Development Solutions Network adalah menggunakan indikator Human Development Index. Ranking kebahagiaan Indonesia, berdasarkan index tersebut, jauh dibawah. Kalau orang lain lihat, pasti nampaknya menyedihkan. 

Sebetulnya, dibalik segala kekacauan yang ada di negeri ini, saya masih bersyukur tinggal di negara yang relatif damai. Walaupun orang-orangnya kelakuannya makin hari makin ajaib.



Read more ...

Monday, November 20, 2023

Ngukur Jalan

Semuanya dimulai di awal pandemi. Situasi baru yang cukup memusingkan, membuat satu rumah kelelahan sepanjang hari. Anak-anak rungsing, orang tua pusing. Kondisi semakin memburuk kala matahari sudah tenggelam. Emosi sudah di ubun-ubun. Badan sudah remuk redam. Otak sudah tak bisa berpikir.

Ingin hati menggeletak di atas kasur, tapi mata makhluk-makhluk kecil itu malah semakin terang. Sekuat tenaga menolak untuk tidur. Padahal badan dan otaknya sepertinya sudah minta diistirahatkan. Alhasil pecah perang setiap malam. Tentu diwarnai tangisan dan teriakan. Tak jarang sampai jauh hingga pekatnya malam. Sungguh menguji kesabaran.

Suatu malam, si Ragil, yang kala itu usianya masih sekitar 7 bulan, menangis tak henti-henti. Dari Magrib sampai lewat jam 1 malam. Segala usaha sudah dilakukan. Mulai dari yang duniawi seperti eyong-eyong hingga yang spiritual seperti baca quran. Tidak ada yang bisa membuatnya berhenti menjerit. Ingin hati lari ke UGD. Mana tau dia kesakitan dan dokter disana bisa memberikan jawaban. Tapi kondisi tidak memungkinkan. UGD kala itu tak ubahnya medan perang. Lagian kalau masih bisa jerit sampai lampu gantung bergoyang sih kayaknya sehat-sehat saja badannya.

Mbarep, yang cuma bisa tidur di kelek emaknya, tentu saja tidak berkenan mengalah untuk tidur dengan bapaknya. Apalagi semua perhatian tercurah ke adeknya, tentu saja tak afdol kalau tak ikut berulah. Merengek-rengeklah dia. Andaikan itu musik mungkin kombinasinya bisa jadi backsound film thriller. Tapi berhubung ini rengekan, tangisan, dan jeritan secara live, jadinya seperti konser Queen dengan nada klimaks yang sumbang. Sungguh bikin puyeng. Saya sampai dengan serius mempertimbangkan untuk memanggil ustad karena takut Ragil kesurupan. 

Di suatu titik, karena merasa sangat kepanasan dan sumpek, saya bilang ke suami supaya kami pergi saja naik mobil. Paling tidak di mobil ada AC-nya jadi saya bisa sedikit ngadem. Akhirnya kami gotong dua bocah itu ke mobil, kami kunci di carseat. Lalu kami berkendara keliling-keliling Bandung. Sambil jalan, kami berdua diam, memandang kelebat lampu kota di tengah pekat malam. Tanpa sadar, lama kelamaan suara jeritan berubah jadi tangisan, lalu isakan, dan terakhir hanya sesenggukan. Dua jam di dalam mobil. Putar-putar tanpa tujuan, akhirnya kedua bocah lucu itupun tertidur. Setelahnya saya dan suami sibuk toyor-toyoran, kenapa nggak dari tadi saja jalan-jalan. 

***


Semenjak itu, jalan-jalan malam menjadi ritual kami. Apalagi setelah melalui hari yang terlalu melelahkan. Supaya anak-anak cepat tidur dan Emak Bapak bisa me time dengan tenang. Alias melakukan kegiatan favorit keluarga yang sebenarnya: Bapak dengerin podcast/nonton film, Emak nonton Drama Korea. Atau youtube short kalau lagi nggak mau mikir. Walaupun nonton tetap mikir sih ya.

Saking seringnya dilakukan, jalan-jalan malam akhirnya jadi ajang saya dan suami ngobrolin berbagai hal. Terutama hal-hal yang serius atau ribet. Karena kalau di rumah terlalu riweuh dengan bocah-bocah yang berlompatan kesana kemari dengan teriakan “Ibu Ibu Ibu Ibu” setiap 10 detik. Boro-boro mau serius, baru mau sampai salam pembuka saja, pasti sudah diinterupsi bocah 30 kali. Kalau di mobil entah kenapa ini bocah-bocah bisa anteng. Kadang disogok tontonan/game sih, tapi tak jarang mereka berdiam dengan sendirinya. Melihat-lihat dengan asyik ke kanan dan kiri. Tapi tidak naik becak dan tidak sambil tumpang kaki.  

Waktu pandemi, jalan-jalan malam juga menjadi sedikit hiburan melepas kepenatan setelah terkurung terus di dalam rumah. Walaupun sering sedih juga melihat daerah-daerah yang sepi seperti kota mati. Kala itu, kalau jalan-jalan malam seringnya saya cuma pakai daster yang ditutup kaos lengan panjang plus bergo. Kadang-kadang kalau apes, Mbarep kebelet pipis dan terpaksa mampir buat ke toilet di SPBU. Anggap saja fashion statement malam-malam. Perpaduan daster kembang-kembang dan kaos garis-garis atau polkadot. Tergantung dari sudut pandang mana dilihatnya. Bisa merusak mata. Bisa juga menyegarkan mata. Sayang karena tidak boleh ada kerumunan, tidak jadi viral seperti Citayam.

Setelah keadaan kembali normal, jalan-jalan malam sering diselingi dengan kegiatan lain seperti beli keperluan mendadak ke minimarket, ambil uang di ATM drive thru, beli es krim juga via drive thru atau iseng saja cari lokasi suatu tempat yang ingin didatangi. Biasanya restoran. Sengaja pergi ke seberang kota supaya waktunya cukup untuk anak-anak tidur. Karena ini adalah esensi dari jalan-jalan malam. Bikin anak-anak terlelap. Tentu saja, karena tak jarang mampir-mampir, sekarang saya sudah tak pakai daster lagi. Rada niat sedikitlah. Walaupun tak sampai pakai gincu.

Kadang kalau sedang tidak mampir-mampir dan sedang malas ngobrol, kami menghabiskan waktu dengan mendengarkan podcast favorit suami atau lagu-lagu random di situs musik. Tapi kadang juga hanya diam saja, menikmati suasana hening. Karena keheningan itu langka di kota.

Satu hal yang mengusik hati dari kegiatan ini. Karena belum ada mobil yang ramah lingkungan (mobil listrik kalau di Indonesia jadi nggak ramah juga), plus kalaupun ada, kemungkinan besar belum akan sanggup belinya, sebetulnya jalan-jalan malam ini menambah emisi karbon tak perlu sih. Heuheu. Cuma gimana ya, demi kewarasan, maafkan aku bumi. Anggap saja investasi (loh salah tema tantangan nih). Siapa tau kalau sudah besar salah satu core memory anak-anak adalah jalan-jalan malam menyusuri gemerlap dan heningnya kota sambil mengobrol ngalor ngidul tentang segala hal. Siapa tau kelak, mereka juga akan mengajak keluarganya jalan-jalan keliling-keliling di saat malam. Di manapun takdir mereka nantinya. Mungkin pakai mobil terbang.  ***

Hampir tidak jadi menulis untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog kali ini. Tapi sayanglah ya tinggal 1 bulan lagi. Memenuhi janji kepada diri sendiri untuk tamat tantangan sampai akhir tahun ini.



Read more ...

Friday, October 20, 2023

Investasi Sesuai Indonesia Raya

Semua berawal saat sofa di rumah patah kakinya dan jebol dudukannya karena dijadikan trampolin oleh Mbarep. Pamannya yang prihatin melihat kondisi sofa tersebut, menyarankan Mbarep ikut parkour. Olahraga yang intinya adalah melompat dari satu titik ke titik lainnya. Setelah mencari-cari di sosial media, saya menemukan kalau di Bandung ternyata ada komunitas parkour. Beberapa anggotanya berminat melatih anak-anak. Sudah setahun ini Mbarep ikut parkour. Sampai sekarang masih happy ikut latihannya. Jadi atlit sih nggak akan kayaknya, tapi paling nggak sekarang lompatnya nggak di sofa yang itu-itu saja. Merambah ke sofa-sofa lain. Jadi mereka bisa berbagi penderitaan satu sama lainnya. 

Mbarep ikut parkour

***

Kegiatan fisik yang terarah untuk anak-anak memang jadi perhatian saya dan suami. Belajar dari pengalaman diri saya sendiri yang sekarang tidak menguasai olahraga apapun, saya ingin anak-anak saya punya dasar olahraga. Tidak perlu jago sampai jadi atlit, tapi supaya mereka punya suatu hal untuk ditekuni dalam waktu lama. Syukur-syukur sampai tua. 


Hal ini rupanya sejalan dengan arahan dari sekolah Mbarep (dan calon sekolah Ragil) yang amat sangat concern pada kesiapan fisik anak sebagai bekal untuk belajar di jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Fisik yang baik, terbukti mendukung daya tahan tubuh dan konsentrasi. Biar bisa duduk tenang dan fokus menghadapi majelis ilmu gaes. Jangan kayak Ibunya yang duduk diem 15 menit aja pegel-pegel. Terus jam 2 siang sudah nguap-nguap di kantor. Jompo sebelum waktunya. 

Ragil gymnastic di rumah

Karena pentingnya kegiatan fisik ini buat kami, semenjak awal tahun ini, kesibukan saya, suami, Ibu mertua, dan bibi yang mengasuh anak-anak, bertambah dengan antar jemput bocah les. Mbarep les parkour, renang, sementara Ragil les gymnastic dan "pramuka". 

Ragil ikut "pramuka"

Sebetulnya buat kami merupakan keputusan agak heroik mengikutsertakan anak-anak pada segala kegiatan ekstrakurikuler tersebut. Sudahlah biayanya besar, waktu dan tenaga untuk antar jemputnya juga tidak sedikit. Tapi mari kita anggap saja ini investasi untuk bangsa dan negara, seperti diamanatkan dalam lagu Indonesia raya:

Bangunlah Jiwanya Bangunlah badannya untuk Indonesia Raya
Kalau lihat deretan kegiatan anak-anak can’t be helped merasa seperti Ibu-Ibu Korea di Crash Course Romance. Tapi tenang saja, saya nggak seambisius itu kok. Ada prinsip-prinsip yang saya dan suami pegang ketika memutuskan mengikutsertakan anak-anak di kegiatan ekstrakurikuler. Ini saya bagikan ya: 


  1. Jangan Memaksa

Kami dengan sadar menyadari, tidak ada hal baik yang akan dihasilkan dari pemaksaan. Seberbakat apapun anak di suatu kegiatan, kami tidak akan memaksakan dia mengikuti kegiatan tersebut, kalau dia tidak menikmatinya. 

  1. Jangan Hitung-Hitungan

Namanya anak-anak, apalagi balita, moodnya masih naik turun. Kalau sesekali Mbarep atau Ragil ngambek, nggak mau ikut latihan, saya dan suami tidak pernah membujuk dia mati-matian untuk tetap mengikuti kegiatan. Kalau mereka sedang tidak mau latihan, ya kami biarkan saja. Paling dibawa pulang kalau tidak kondusif dan mengganggu peserta lainnya. Tak usah hitung-hitung kerugian biaya les yang sudah dibayarkan. Hanya menambah kepusingan saja.

  1. Konsisten adalah yang Utama

Buat kami ikut ekstrakurikuler itu bukan buat jadi jagoan. Tapi cari kegiatan rutin yang bisa konsisten dilakukan. Sampai jauh ke masa mendatang. Konsisten datang. Konsisten ikut latihan. Seperti kata pepatah: alah bisa karena biasa. Alon-alon asal kelakon. Lama-lama juga bisa kok. Biar yang jadi jagoan, Sadam dan Sherina sajalah (kemudian nyanyi)

  1. Bukan untuk Saingan

Sejalan dengan prinsip nomor 3, ikut ekstrakurikuler juga bukan karena ingin mencari prestasi. Kalau ternyata berbakat dan bisa berprestasi ya syukur. Tapi kalau tidak, ya tidak ada masalah. Paling penting adalah bisa menikmati. Enjoy aja kalau kata iklan. Tantangan sesulit apapun asal senang dan tekun menjalaninya pasti akan bisa terlewati. Tidak perlu dibebani dengan harus jadi juara atau yang terhebat. Ingat kelinci saja kalah lomba lari dengan kura-kura. Walaupun dalam dongeng tentunya.


Ragil ikut gymnastic di gym

Penutup

Doa saya untuk anak-anak yang utama adalah mereka bisa tumbuh besar jadi orang yang tidak merepotkan. Tidak merepotkan diri sendiri, tidak merepotkan keluarganya sekarang dan nanti, juga tidak merepotkan umat agama dan masyarakat. Repotnya tidak sesederhana bikin riweuh orang disekitarnya ya. Kalau itu sih tergantung konteksnya. Kerepotan yang saya maksud adalah kerepotan yang merugikan. Melanggar dan menghalangi hak diri sendiri dan orang lain. Apalagi sambil mengambil yang bukan hak-nya. Kecanduan narkoba itu merepotkan diri sendiri, jadi koruptor itu merepotkan masyarakat, jadi orang tua/pasangan tidak bertanggung jawab itu merepotkan keluarga.


Tapi doa saja tentu tidak cukup, harus ada ikhtiar dari kami supaya anak-anak bisa tumbuh jadi orang yang tidak merepotkan. Memilih ekstrakurikuler yang sesuai adalah salah satu hal yang kami lakukan. Karena kami percaya, jika orang terbiasa memiliki fokus kepada hal-hal yang baik dan bermanfaat, maka kedepan tidak akan mudah mengalihkan fokus tersebut pada hal-hal yang merugikan. Demi diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. (Kejauhan ya? haha) Tulisan ini dibuat untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober: Investasi yang Ingin atau Sudah Dilakukan.


Mbarep dan ragil hobinya manjat-manja tapi nggak/belum ada yang minat ikut panjat dinding




Read more ...