Friday, June 20, 2025

Sebelas Ribu Langkah Diam, Dalam Keramaian

Me time adalah permasalahan pelik untuk emak-emak. 

Salah satu hal yang saya iri dari suami adalah keleluasaannya untuk bisa melakukan berbagai hal yang dia sukai: main game, menonton youtube, bermain basket, dan lain sebagainya, tanpa gangguan dan halangan. 

Sementara buat saya, menikmati hiburan tanpa gangguan adalah hal yang hampir mustahil. Apalagi kalau di rumah. Dengan dua bocah cilik, kesendirian dan ketenangan adalah sesuatu yang amat sangat jarang terjadi. Seperti penampakan super red moon. Mungkin terjadi tapi tak sampai setahun sekali.

Kalaupun saya sangat memerlukan waktu untuk sendiri, saya perlu melakukan berbagai usaha agar tidak “diganggu” para penunggu cilik tersebut: tebar janji manis, sedia sajen, sebar jatah screen time, dll dll. Belum lagi kalau ingin pergi keluar. Harus mengatur strategi agar bisa pergi dan pulang di waktu yang tepat.  

Setelah semua kerepotan tersebut, belum tentu saya berhasil menjalankan me time. Karena masalah terbesar sebenarnya ada pada kemampuan saya untuk fokus. Mau tenang-tenang baca buku, ada WA gosip masuk. Mau maraton nonton serial yang sudah lama tertunda, ada iklan market place yang menggoda untuk barang-barang yang "diperlukan". 

Sudah matiin notifikasi, tetap saja pikiran bercabang kemana-mana. Kepikiran hal ini itu yang tidak-tidak.

Karena gangguan-gangguan ini seringkali waktu "me time" habis bukan untuk melakukan hal-hal yang menyegarkan tapi malah tambah bikin ruwet pikiran. Kalau sudah begini biasanya berakhir dengan saya merasa menyesal juga kesal sendiri.

Bukannya merasa content biasanya saya malah merasa useless.

Jadinya malah marah-marah sendiri sama semua orang karena merasa tidak pernah bisa "me time".

***

Setelah berbagai percobaan untuk “me time” yang penuh kegagalan, saya jadi berpikir, jangan-jangan definisi me time saya yang salah.

Me time” itu bukan saat saya sedang santai leha-leha menonton drama Korea. Bukan juga saat saya bisa ngopi-ngopi cantik mengobrol dengan sahabat. Apalagi saat saya melamunkan berbagai macam hal sambil duduk di balkon memandangi kerlap-kerlip lampu malam. 

Me time buat saya ternyata justru ketika bisa fokus melakukan satu hal, entah apapun itu, tanpa perlu memikirkan hal yang lain. 

Karena setelah saya pikir-pikir, tujuan me time, buat saya, bukan untuk menenangkan diri, melainkan untuk menemukan diri saya di tengah hiruk pikuk pikiran dalam otak saya sendiri. 

Me time yang saya perlukan adalah memasuki kondisi mengalir (the flow). Kalau kata Johann Hari dalam bukunya Stolen Focus (2022), the flow adalah suatu bentuk konsentrasi mendalam dimana seseorang benar-benar tenggelam dalam suatu aktivitas. 

The flow membutuhkan fokus dan dapat dicapai hanya melalui "monotasking", atau mendedikasikan diri pada satu tugas tanpa gangguan.

Seperti seniman yang fokus membuat karya. Dalam hal itu kepuasan yang didapatkan berasal dari keberhasilan melewati proses berkarya. Bukan pada karya yang dihasilkan.

Dengan definisi ini lebih banyak pilihan me time yang bisa saya lakukan. Melaksanakan ibadah dan pekerjaan rumah bisa menjadi me time kalau perspektifnya diubah. 

Menikmati waktu sendiri, berkonsentrasi dalam pengerjaannya. Healing dengan dopamine dari kepuasan setelah berhasil menjalani berbagai kegiatan tersebut dengan segala tantangannya.

Dan sayapun jadi paham kenapa menyetrika (dan pekerjaan rumah lainnya) menyegarkan untuk Nikita Willy. Karena saat mengerjakan pekerjaan rumah dia bisa berkonsentrasi tanpa perlu memikirkan pekerjaan lainnya. 

 ***

Terkait dengan definisi saya tentang me time, kalau boleh jujur, me time saya sebenernya adalah saat sedang bekerja. Lebih spesifik lagi kalau sedang mengulik aplikasi excel (termasuk Google Sheet). Saya tidak hobi berhitung ataupun coding, tapi menyelesaikan masalah menggunakan excel bisa membuat saya fokus selama berjam-jam.

Mungkin sebetulnya bukan excelnya, tapi saya menyukai hal-hal yang berhubungan dengan data. 

Sesungguhnya sudah lama saya curiga kalau saya suka mengulik data. Tapi ketidakpercayaan diri membuat saya tidak berani menekuni bidang ini. Baru setelah kembali bekerja formal, saya terpaksa belajar kembali. 

Kembali ke permasalahan excel, karena judulnya kerja, biasanya saya memang tidak memikirkan hal yang lain. Gangguan juga nyaris tak ada. Semua orang membiarkan saya berkutat dengan berbagai formula. Bahkan ketika saya sedang di rumah.

Sedemikian hobinya, sehingga salah satu penyesalan saya adalah mengapa sebagian besar permasalahan dalam hidup ini tidak bisa diselesaikan dengan excel?

***
Andaikan Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni ini adalah tentang me time saja, sudah pasti saya akan menuliskan mengenai hobi saya ngulik G-Sheet dan pencapaian saya untuk bisa membuat otomasi ala ala di kantor dengan hanya bermodal Google Workspace. Tapi masalahnya, me time yang harus dituliskan ada embel-embel tanpa internet. Terpaksa saya memutar otak untuk mencari ide tulisan lainnya.

Masalahnya, seperti sebagian besar manusia modern, tidak banyak yang saya lakukan tanpa bantuan jaringan internet. Bahkan membaca buku dan mendengarkan musik saja sekarang saya membutuhkan koneksi internet global.

***

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sedang pusing berpikir, tetiba di surel saya muncul tawaran untuk mengikuti kegiatan jalan kaki santai dalam rangka ulang tahun ITB. Rute sejauh 3.5 km yang ditempuh dalam waktu 3 jam dengan berbagai intermezzo.

Tanpa banyak babibu saya mendaftar. Kegiatannya tidak membutuhkan internet. Kecuali kalau memang hobi update social media di setiap langkah kehidupan. Tak perlu khawatir, kalau ada satu hal yang bisa saya banggakan adalah bagaimana sampai sekarang saya belum tenggelam dalam dunia social media. 

Scrolling saya kebanyakan adalah youtube dan berita artis Korea.

***

Di hari H saya baru tau kalau ternyata dari unit kerja saya, cuma saya dan dua orang bapak-bapak, dari Program Studi lain, yang mengikuti kegiatan ini. 

Sendirian dalam keramaian.

Jadi bisa dibilang saya tidak kenal siapa-siapa di acara tersebut. Saya memang introvert tapi saya don’t mind dengan keramaian. Apalagi karena peserta lainnya sibuk dengan rekan-rekannya sendiri, tidak ada yang memperhatikan saya. Saya tentu saja senang, karena tidak perlu basa-basi. 

Dengan niat untuk menghabiskan waktu tanpa internet, saya matikan koneksi data di ponsel saya. Telepon masih menyala. Karena kan saya bukan mau menghilang, cuma mau menghabiskan waktu tanpa internet.  

***

Karena tidak disibukkan dengan membaca pesan WA atau laman-laman berita, saya memang jadi bisa memperhatikan banyak hal. Bahkan sebelum berangkat. Seperti misalnya unit kerja yang punya seragam dari topi sampai kaos kaki, unit kerja yang datang ke titik temu dengan menggunakan bandros, juga orang-orang yang sepertinya kenal dengan semua orang. Sibuk menyapa dan disapa.

Bahkan orang yang bolak balik mengambil lepeut dan arem-arem dari meja konsumsi juga tidak luput dari perhatian saya. Mungkin Ibu itu lapar. 

Semua hal tersebut tidak akan pernah saya perhatikan kalau sibuk dengan internet. Walaupun di saat itu tangan saya sudah gatal sih ingin lapor ke grup WA jualan musang isi 3 orang. Tapi saya bertahan. 

 ***

Melalui rute yang mengikuti aliran sungai, saya melihat berbagai hal biasa yang mulai saya lupakan. 

Rumah-rumah petak dengan anak-anak ramai bermain di luarnya, bantaran sungai dengan anjing dan kucing liar serta hewan ternak yang berkeliaran. Nenek-nenek yang duduk bersama menikmati hangat sinar matahari sambil makan gorengan dan menyapa semua orang yang lewat.

Tidak ada yang lebih menantang dari menjemur pakaian di pagar bertuliskan "Dilarang Menjemur Pakaian". Rebel!

Juga daerah perumahan di atas bukit dengan suasana yang masih asri dan rumah-rumah estetik seperti di majalah-majalah. Sungguh suatu impian untuk bisa tinggal di sana.

Kampung pelangi, inisiatif warga untuk membuat spot atraksi yang menarik.

Baru tau ada pesantren gratis untuk anak dhuafa di tengah kota Bandung. Tepat berada di tepi sungai, pemandangannya cukup spektakuler.

***
Di kegiatan ini peserta diberikan misi untuk mengumpulkan sampah di sepanjang jalan yang dilalui. Sampah tersebut kemudian akan dijadikan bahan untuk membuat karya seni yang nantinya akan dilombakan.

Tanpa pesan-pesan WA yang biasanya harus selalu saya balas, juga menahan keinginan untuk update status WA, kapasitas otak saya ternyata bisa digunakan untuk merancang karya seni yang akan saya buat dengan sampah yang saya kumpulkan.

Saya bahkan bisa memikirkan cerita pengantar karya tersebut. 

***
Tiga jam berlalu, saya pun tiba di pemberhentian akhir. Rancangan karya seni saya sudah jadi. Saya pun menyampaikan ide saya kepada mentor yang mengangguk-angguk setuju. 

***
Kembali ke "peradaban" saya pun menyalakan kembali ponsel saya. Ada 60 an pesan yang belum terbaca. Walaupun ketinggalan berita, tapi berdesir rasa bangga karena dalam 3 jam tersebut saya bisa mengerjakan beberapa hal sekaligus. Tanpa perlu memaksa diri. Memikirkan ide karya seni untuk lomba dan ide untuk memenuhi tantangan bulan ini. 

Nampaknya ini memang me time yang saya butuhkan. Produktif dan membuat pikiran lebih segar. Entah karena pengaruh tidak ada internet atau karena saya jalan kaki sampai 11 ribu langkah hari itu. 


Walaupun tentu saja saya tidak menolak kalau punya kesempatan untuk pijat setelahnya!

***
Sampai me time berikutnya!!





Read more ...

Friday, May 16, 2025

Tentang Opini Populer di Kalangan Anak Kecil yang Tidak Populer di Kalangan Orang Dewasa

Hembusan angin mendesir di telinga saya. Berusaha mengacuhkan, saya menarik selimut  hingga menutupi telinga. Seketika suara angin tersebut berubah menjadi raungan, “IBOOOKKK!!”. Getaran yang dahsyat membuat telinga saya seketika berdenging. 

Dengan terpaksa saya membuka mata dan menemukan Ragil nyengir tepat di samping kepala saya. Saya melirik jam di dinding. Pukul 05.30. “Dek, libur nih, tidur lagi yuk!”, rayu saya. “Nggak mau! Ibu harus keluar”, jawab anak bungsu saya itu sambil menunjuk pintu kamar. Saya mengerang, sebelum akhirnya menyerah dan bangkit dari kasur.

Saya punya banyak pertanyaan mengenai kehidupan. Salah satu yang paling menggelitik adalah : mengapa bocah kalau libur MasyaAllah rajin banget bangunnya, sementara kalau sekolah SubhanAllah tekadnya untuk tetap menutup mata?


***

Di ruang tengah saya menemukan Mbarep sudah mengeluarkan semua koleksi legonya dan sedang di tahap membuat mega proyek kota metropolitan. Kaki saya tak sengaja menginjak salah satu potongan lego yang berserakan. Rasa sakit menjalar sampai ke ubun-ubun. Untung saya tidak terbiasa mengumpat.

 “Ibu…Ibu…Ibu kan sudah besar. Harusnya bisa lebih hati-hati dong. Masa lego segitu banyaknya nggak kelihatan?”, kata Mbarep sambil menirukan gaya saya menasehati dia. Lengkap dengan gelengan kepala dan goyangan jari telunjuk. Bedanya dia menasehati dengan muka datar. Saya terlalu sibuk melompat-lompat meredakan rasa sakit sampai lupa merasa kesal.


“Oh iya Ibu, aku punya pertanyaan.”
, Lanjut Mbarep setengah detik kemudian, mengabaikan saya yang masih meringis kesakitan. “Siapa sih yang punya ide bentuk lego itu kotak-kotak? Eh, kalau gedung ada nggak yang bentuknya kayak bola? Oh ya Ibu, tadi malem yang menang bulu tangkis siapa? Kita hari ini mau pergi kemana?”, Selesai mengeluarkan rentetan pertanyaan tersebut, Mbarep menatap saya mengharapkan jawaban.

Saya merasa seperti sedang ikut mencongak. Kegiatan harian setiap jam 07.00 pagi, saat saya duduk di bangku SD 30 tahun lalu.

Ragil melompat-lompat diatas sofa.”Ayo Ibu, jawab dong pertanyaan Mas!”, katanya menyemangati. “Bentar Ibu minum dulu baru mikir”, kata saya sambil beranjak ke ruang makan. “Ih Ibu mah, kan udah besar, masa pertanyaan begitu saja harus mikir dulu!”, kata Mbarep. “ Iya, ih Ibu mah orang dewasa kan harusnya tau semua, tambah Ragil.


Hari libur ini baru berjalan selama 5 menit tapi saya sudah merasa lelah.

***

“Ibu, Ibu, kapan kita ke Luar Negeri?”, Kata Ragil tiba-tiba. “Ya Insya Allah nanti, kalau ada rezeki ya”, respon saya sesuai standar jawaban emak-emak di negeri Konoha, yang memegang teguh prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. “Ke Luar Negeri perlu uang banyak tau Dek. Iya kan Bu?”, kata Mbarep membantu. Saya mengangguk.

Ragil berpikir. ”Aha! Aku punya iden (ide). Ibu ambil uang aja lewat ATM. Kan di Bank ada banyak uang., kata Ragil. “Iya tapi bukan uang Ibu”, kata saya. “Ooh, punya ayah?”, lanjut Ragil. “Bukan, punya Ayah Ibu ada sih, tapi cuma sedikit, yang banyak punya orang lain”, jawab saya. 


“Kan Ayah Ibu kerja, harusnya uangnya banyak dong di Bank. Kenapa uangnya sedikit? Kan katanya kerja biar banyak uang, lanjut Ragil masih penasaran.


“Very…very sus..”, Komentar Mbarep ikut-ikutan dengan bahasa Gen Alphanya.

Sebetulnya saya ingin menjawab dengan teori-teori ekonomi makro. Lengkap dengan penjelasan bahwa kami ini termasuk golongan kelas menengah ngehe yang sedang menjadi subjek perdebatan. Termasuk miskin untuk ukuran Bank Dunia, mampu untuk ukuran Bank Indonesia, tapi pasti sangat kaya menurut bang Agus yang tiap bulan datang untuk pinjam uang.

Alhamdulillah.

Tapi lalu saya ingat kalau sedang bicara dengan anak 5 tahun. Lagian sampai sekarang pemahaman ekonomi saya hanya berdasarkan konten-konten semenjana di Tiktok, Instagram reels, dan Youtube short.

Hiburan yang saya konsumsi untuk melupakan permasalahan hidup yang nyata.

Batal jadi ekonom dadakan, saya berusaha mencari penjelasan yang lebih age appropriate untuk bocah. Tapi sebelum ketemu cara yang pas, Mbarep sudah memotong. “Aku tau! pasti Ibu kerjanya males-malesan. Makanya uangnya sedikit. Ibu kerjanya yang lebih rajin lah. Kalau rajin kan uangnya lebih banyak


“Iya tuuh. Kalau Ibu dapat uang jangan dibeliin makanan terus! Uangnya habis, ibu tambah gendut!, Timpal Ragil sambil cengengesan.


Saya hanya tertawa getir mendengarnya. Sementara suami tertawa terbahak-bahak melihat isterinya dirundung darah dagingnya sendiri. 

***

“Kalau sudah besar, aku mau jadi dokter bedah”, kata Ragil. “Bagus”, komentar saya pendek, mengingat 30 menit sebelumnya cita-citanya masih jadi pelatih renang. Pelatih renang buaya.

”Nanti aku tanya sama orang yang aku bedah, jahitannya mau bentuk apa? Labubu atau Cinnamoroll? Eh Bunga mawar juga bisa sih. Kalau orang besar perempuan kan biasanya suka bunga mawar”, lanjut Ragil.

“Aku nggak sabar jadi orang dewasa. Soalnya orang dewasa boleh ngapain aja!, seru Ragil mengakhiri monolognya.


Saya tentu saja tidak sampai hati memberitahu Ragil kalau orang besar justru banyak larangannya. Apalagi dokter yang  berkesenian terhadap tubuh pasiennya. Bisa masuk penjara.

Tapi daripada jadi pelatih renang buaya mendingan jadi dokter seniman kayaknya. Masih ada waktu sekitar 30 tahun kalau Ragil mau jadi spesialis bedah. Siapa tau tren berubah ya kan. Bekas operasi yang estetik. Supaya kalau timbul keloid malahan bagus jadi 3D.

***

Mbarep mendekati saya yang sedang menggoreng otak dengan doomscrolling Social Media. “Ibu coba denger ini, ibu tau nggak ini lagu apa?”, tanyanya dilanjut dengan menggumamkan suatu nada. “Enggak, lagu apa itu?”, jawab saya. “Aku pernah denger di Youtube, sekarang aku mau denger lagi tapi lupa”, lanjut Mbarep. “Ya sudah cari lagi aja di youtube. Baru kasih tau ibu lagi nanti. Coba cari di history”

Mbarep beranjak untuk scrolling Youtube. Semenit kemudian. “Ibuuu nggak nemu”, rengeknya. “Coba inget-inget videonya tentang apa”, saran saya. “Nggak inget, ibu cari di Google dong”, pinta Mbarep. “Lah kalau nyari di Google kan harus ada kata kuncinya, kata kuncinya apa?”, kata saya. “Nggak tau”, kata Mbarep setelah berpikir selama 5 detik.


”Coba ibu ketik aja…hmmm hmmm hmmm”, lanjutnya sambil kembali menggumam. Saya memutar mata, “Nggak bisa Mas kalau gitu caranya”. “Ih Ibu Mah, kata ibu kan kalau aku mau tau sesuatu bisa tanya Google. Katanya Google banyak taunya, kenapa yang sekarang nggak bisa?”, Mbarep mulai merajuk.

“Ya, kan…”, tiba-tiba saya kehabisan kata-kata. Entah mau menyalahkan siapa. Saya dan Mbarep kemudian sama-sama terdiam. Saya memikirkan ketidak sempurnaan Google sementara Mbarep mungkin memikirkan ketidak sempurnaan ibunya.

“Aku dengerin lagu yang lain saja deh”, kata Mbarep akhirnya. Saya pun kembali menggoreng otak saya. Mumpung libur. Mumpung bisa.

***
“Dek tidur siang yuk”, bujuk saya pada Ragil. Saya jarang punya kesempatan tidur siang.”Nggak mau, tidur siang itu buat BA..YI. Buat BA..LI…TA. Lagian tidur siang itu menyebalkan, jawab bocah yang baru 6 bulan lalu lepas dari status balita dan sampai nanti tua pun pasti akan tetap jadi bayi buat saya.


***

Ditulis untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Mei dengan Tema Unpopular Opinion.







Read more ...

Wednesday, April 23, 2025

Tradisi Lokal yang Masih Lestari dan Bikin Senewen

Kalau sebelumnya saya pernah menulis tentang kebiasaan-kebiasaan saya yang bikin senewen, kali ini saya ingin menuliskan mengenai tradisi-tradisi lokal yang bikin senewen. Coba dilihat adakah yang merasakan hal yang sama? 

Tradisi Petasan


Tradisi petasan di Indonesia disinyalir berasal dari negeri Cina. Bunyi petasan di negeri Cina dianggap sebagai simbol peringatan atau pertanda keberhasilan dalam berbagai acara, seperti pernikahan, upacara kematian, atau perayaan keagamaan. 

Menyalakan petasan di Tahun Baru Cina (Imlek) dipercaya oleh masyarakat Cina dapat memberikan keberuntungan sebagai pembuka awal tahun baru. Entah sejak kapan tradisi menyalakan petasan ini merembet ke perayaan lainnya. Seperti tahun baru masehi, tahun baru hijriah, dan Ramadan.

Sebetulnya tidak masalah kalau petasan dinyalakan hanya pada saat perayaannya saja. Semenit bunyi petasan memang mengganggu, tapi ya sudahlah masih bisa saya tolerir. Menjadi sangat menyebalkan ketika petasan dibunyikan terus menerus sepanjang malam. Apalagi jika tidak ada perayaan.

Menganggu orang-orang yang perlu istirahat. Hanya jadi sumber kedzoliman saja menurut saya.

Tradisi Voorijder dan Sirine Kendaraan



Di perkotaan yang padat lalu lintas, sering terlihat kendaraan dengan voorijder atau sirine kendaraan. Voorijder adalah istilah yang berasal dari bahasa Belanda yang secara harfiah berarti “pengendara depan”. Di Indonesia, voorijder merujuk pada pengawal jalan atau pembuka jalan. Kalau kata anak saya namanya tetot. Tadinya kebanyakan voorijder menggunakan motor, tapi lama-lama mobil bersirine juga bisa jadi tetot

Tidak semua tetot membuat saya kesal. Saya tentu saja mentolerir tetot yang dibunyikan oleh ambulans yang membawa orang sakit atau jenazah. Agak sebal dengan tetot yang mengiringi pengantin, tapi ya sudahlah.

Saya paling sebal dengan tetot yang mengiringi pejabat. Terutama pejabat polisi dan militer. Mohon maaf nih. Kenapa harus buru buru banget sih?

Rombongan Moge juga sering membuat senewen. Motornya kan sudah besar-besar, kenapa coba harus dikawal supaya lancar?

Kadang-kadang sudah tau kan ya macet, tetot tetot di belakang sambil menyalakan lampu seperti dikejar alien itu buat apa sih? Habis itu maksa mepet-mepet mobil orang. Kalau perlu sampai ambil jalan ke arah sebaliknya. Membuat jalan yang sudah macet semakin mampet.

Suatu waktu di tengah Bandung yang macet total dan hujan deras ada rombongan bis dengan tetot yang suaranya sudah terdengar 5 km di belakang. Rombongan tersebut mencoba bermanuver di antara kendaraan-kendaraan lain yang juga sudah berjejalan.

Pimpinannya menggunakan motor polisi berseru seru lewat TOA menyuruh mobil-mobil lain memberi jalan. Bukan tidak mau membantu, masalahnya mau minggir kemana lagi?

Akhirnya si pimpinan turun dari motor dan mengetuk kaca satu persatu mobil yang ada di depan rombongan meminta pengertian untuk beringsut sedikit memberi jalan. Para pengemudi yang sepertinya sudah sama lelahnya balas meneriaki si pimpinan. Di depan ada pohon tumbang, mau ada walikota bahkan Presiden juga tidak akan bisa lewat.

Setelah beberapa lama usahanya tidak membuahkan hasil sepertinya si pimpinan akhirnya menyerah. Suara tetot tetotnya tidak dimatikan, begitupun dengan lampu sirinenya. Menambah kejengkelan semua orang di sepanjang jalan. Isi bis tersebut? Ibu-ibu Bayangkari yang sepertinya sedang berwisata ke Kota Bandung. 

Tradisi Tahlilan yang Berlebihan.



Perlu saya tekankan disini pada kata berlebihan. Hal yang perlu dilakukan adalah mendoakan yang sudah berpulang. Tahlilan yang berbentuk kumpul-kumpul itu bukan suatu keharusan. 

Tradisi tahlilan awalnya bertujuan untuk menemani keluarga yang baru ditinggalkan. Sedikit menghibur dan mengurangi sedikit rasa kehilangan. Saya sendiri yang sudah mengalami tiga kali ditinggalkan orang tua, merasakan betapa keluarga dan handai taulan yang tidak langsung pulang setelah pemakaman, sangat membantu mengalihkan perhatian agar tidak larut pada kesedihan.

Masalahnya adalah tahlilan yang diadakan sekarang seringkali malah berubah menjadi semacam hajatan. Pengalaman saya sendiri, beberapa jam setelah Ibu saya dimakamkan ada tetangga yang menghampiri dan menyampaikan, “Nanti untuk tujuh harian souvenirnya ini saja ya. Bisa beli di saya”, sambil mengangsurkan sekotak ikan bandeng presto buatan sendiri.

Ketika Bapak saya meninggal, selentingan-selentingan terdengar karena saya dan adik saya menolak mengadakan tahlilan lebih dari 3 hari. Setelah lelah fisik dan mental, hal terakhir yang kami inginkan adalah berbasa basi dengan orang-orang tak dikenal di tengah rasa duka.  

Begitupun dengan cerita-cerita yang saya dengar dari para asisten rumah tangga mengenai acara tahlilan di desa. Dipaksa menyembelih sapi dan domba sampai puluhan kilo. Masak dan menyediakan konsumsi untuk ratusan tamu hingga 7 hari lamanya. Sampai harus berhutang kanan dan kiri. Demi menyelenggarakan tahlilan dan akikah bagi orang tua yang sudah meninggal. Buat apa coba?

Tradisi Lomba Bernuansa Feminin untuk Memperingati Hari Kartini



Di tahun 2025, menurut saya seharusnya orang-orang sudah bisa memaknai Kartini lebih dari sekedar perempuan Jawa yang berkebaya yang ingin bersekolah. Tapi sepertinya memperingati Kartini seringkali malah membatasi spirit perjuangan Kartini itu sendiri. 

Seperti kemarin di tanggal 21 April, ketika menemani Ragil berkegiatan di salah satu Mall di Bandung, saya melihat ada lomba peragaan busana tradisional dalam rangka memperingati hari Kartini. Lomba lainnya yang saya lihat adalah lomba merias wajah dan menggulung stagen. Bahkan saya lihat ada lomba vlog tapi temanya Di Rumah Saja

Karena diselenggarakannya di tahun 2024 saya tahu tema tersebut bukan karena pandemi. Tidak dijelaskan maksudnya, tapi saya tetap suudzon maksudnya perempuan diam di rumah saja.  

Saya yakin bahkan Kartini sendiri pasti akan cemberut kalau disuruh ikut lomba-lomba tersebut. Kenapa ya tidak ada yang bisa membuat lomba yang lebih mewakili Kartini. Lomba-lomba lebih bermutu seperti menulis surat, berpidato, atau beropini?

Padahal Kartini sendiri telah berjuang keras untuk membebaskan para perempuan dari stereotip yang melekat kepada mereka.

Kenapa coba kenapa?

Lomba menggulung stagen.

Ya ampun.

***

Ditulis untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan April dengan Tema Tradisi Lokal yang Masih Dilestarikan. 




Read more ...

Sunday, April 20, 2025

Berpikir dan Meracau Bagian 3: Gelembung

Beberapa tahun lalu saya ditugaskan untuk ikut pelatihan sebagai satgas pencegahan kekerasan seksual di kampus. Materi pelatihan yang kedua adalah tentang gender. Di awal pertemuan diputar video tentang budaya patriarki dan toxic masculinity. Lalu masing - masing peserta diminta untuk menyampaikan pendapatnya terhadap hal tersebut. 

Ketika giliran saya berbicara, saya sampaikan kalau video yang ditampilkan sudah tidak relevan buat saya. Karena di lingkungan saya, baik di rumah, pekerjaan, maupun pertemanan, gender inequility itu sudah sangat samar. Laki - laki perempuan ya sama saja. 

Saya dan suami sama - sama bekerja dan outsource urusan domestik ke orang-orang kepercayaan. Meskipun saat kami bekerja mereka dititipkan, pengasuhan utama anak - anak tetap kami pegang berdua. Tidak ada kompromi soal itu. Anak berdua ya urus berdua.

Sama seperti saya, suami saya tidak akan mendapatkan apresiasi lebih atau pujian karena momong anak. Wajar kan orang tua mengasuh anaknya sendiri?

*** 

Di tempat kerja, dari sisi posisi, pendidikan, maupun latar belakang, saya punya keuntungan, jadi saya tidak pernah merasa diremehkan. Kalaupun dengan orang yang jabatannya lebih tinggi, saya tidak pernah merasa tertekan atau terpaksa menuruti kehendaknya. I have my own voice. Saya bebas mengutarakan pendapat dan bertanya.

Saya memilih bekerja karena saya ingin bekerja. Suami saya sangat demokratis dan menghormati keputusan saya tentang hal - hal seperti ini. Dia dan saya bekerja sama menyeimbangkan kehidupan pribadi dan profesional. Sedemikian rupa berusaha agar tidak ada yang merasa terabaikan.

***
Tak lama setelah kegiatan tersebut berakhir, saya memikirkan kembali komentar yang saya berikan. 

Lalu dengan malu saya menyadari betapa entitled-nya saya dengan jawaban tersebut. Saya jelas punya priviledge yang tidak dimiliki oleh semua orang dan saya tidak sadar mengenai hal tersebut. 

Padahal saya sering ngerasani orang - orang yang punya priviledge tapi menolak disebut punya priviledge. Mungkin seperti Putri Tanjung yang menolak disebut bahwa salah satu faktor kesuksesannya sebagai pengusaha adalah karena orang tuanya yang adalah salah satu orang terkaya di Indonesia. 

 I'm living in the bubble

Dimana dunia saya sudah ideal sementara diluar ya belum tentu sama kondisinya. 

***
Lalu kemarin saya baru saja menyelesaikan serial Netflix Adolescence. Serial itu bercerita mengenai seorang anak usia 13 tahun yang membunuh temannya sendiri. Dalam empat episode diperlihatkan hal-hal yang mungkin menjadi motif terjadinya insiden tersebut. 

Walaupun tidak gamblang dijelaskan, tapi kecurigaan mengenai alasan terjadi pembunuhan tersebut adalah pengaruh pandangan misogini atau kebencian terhadap wanita.

Dunia Misogini membayangi para remaja terutama di dunia barat. Menyebar dengan cepat melalui sosial media, pandangan yang sangat berbahaya ini menjadi salah satu justifikasi kemarahan para remaja. 

Remaja dengan keinginan untuk bisa diterima dan disukai. 

Hal yang mengerikan, doktrin tersebut menyebar dalam senyap. Dari luar dunia mereka terlihat baik-baik saja, tapi ternyata di dalam pikiran mereka perlahan berubah menjadi gelap. 

***
Menonton serial tersebut membuat saya berpikir, mungkin anak-anak saya nanti tidak akan punya priviledge yang sama dengan orang tuanya. Dunia mereka akan lebih judgmental!

Kalau sudah begini rasanya tidak siap menghadapi kehidupan remaja anak-anak nanti.

Yah, tapi kan hidup tidak mengalir menuruti maunya kita. Makanya hanya bisa pasrah dan menyerahkan diri pada Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Untuk bisa melindungi anak-anak kita dari pikiran-pikiran gelap yang dengan mudahnya menghampiri. 

Ditulis sebagai tulisan ketiga Tantangan Blogging Level Up Mamah Gajah Ngeblog Periode Satu.


Read more ...

Saturday, April 19, 2025

Berpikir dan Meracau Bagian 2: Masa Muda


Bekerja di lingkungan pendidikan tinggi membuat saya banyak memperhatikan mahasiswa. Ya iyalah masa mengamati biawak. Wong di kampus isinya mahasiswa bukan biawak.

Berdasarkan pengamatan di berbagai kesempatan saya menyimpulkan kalau mahasiswa sekarang ini kebanyakan kurang bahagia. Saya curiga buat mereka masa kuliah bukan lagi masa-masa yang menyenangkan.

Masa kuliah adalah salah satu masa yang paling menyenangkan di hidup saya. Kalau dalam kepala saya digambarkan seperti film Inside Out, maka banyak ingatan masa kuliah yang menjadi memori inti. 

Mungkin memang saya beruntung punya pengalaman yang baik di kampus, tapi saya rasa bukan hanya saya yang merasakan sentimen tersebut. Kebanyakan orang seumuran yang saya kenal juga menikmati kehidupan saat di kampus. 

Apalagi saat memasuki kehidupan orang dewasa, dimana kesulitan saat di kampus menjadi tidak ada apa-apanya. Pasti jadi kangen dengan masa-masa di kampus.

Paling tidak saat masih jadi mahasiswa, tanggung jawab kehidupan belum jatuh sepenuhnya pada kita. Masih ada orang tua dan pihak kampus yang bisa diandalkan. Begitupun dengan teman-teman yang bisa diajak bahu membahu atas dasar senasib dan sepenanggungan.

Makanya saya kasihan sama anak sekarang yang menjalani kehidupan perkuliahannya semata-mata sebagai syarat menuju kesuksesan. Mencari pengalaman hanya untuk mempercantik CV. Mati-matian belajar demi transkrip yang mentereng. Berteman seperlunya karena dari awal sudah saling bersaing. 

Yah, tentu tidak ada yang salah dengan keinginan untuk sukses. Wajar kok di masa sekarang ini. Mungkin memang cari pekerjaan sangat susah sehingga harus dipersiapkan dengan sangat matang sedari awal. Mungkin memang tuntutannya juga berbeda dengan setiap orang saling sawang sinawang pencapaian masing-masing.

Makanya saya hanya nyengir saat salah satu dosen mengeluh mahasiswa minta jadwal kuliah diubah karena siangnya ada kuis. Saya juga hanya tertawa saat dosen lainnya curhat karena hanya segelintir mahasiswa yang masuk ke kelasnya karena sore ada ujian mata kuliah lain (kelasnya jam 07.00 ujiannya jam 15.00).

Tapi ketika salah satu mahasiswa mahasiswa meninggal, kemudian tidak ada satupun temannya yang melayat dengan alasan besok ada ujian. Saya kok merasa ada yang salah. Merasa kasihan. Baik ke yang meninggal maupun ke teman-temannya.

Sampai segitunya kah urusan belajar ini sampai tidak bisa ditinggalkan barang sedikitpun?

Lalu saya teringat pengalaman saya sendiri. Berbondong-bondong mengantarkan teman yang tangannya patah ke rumah sakit. Beramai-ramai ke kantor polisi saat ada teman yang motornya hilang. Bersama-sama mengurus arak-arakan wisuda walaupun besoknya ada ujian. Juga berbagai momen lainnya yang tak pernah lagi saya temui setelah lulus dan masuk kehidupan orang dewasa.

Tak pernah sekalipun saya merasa rugi melakukannya, bahkan ketika nilai ujian saya jadi jelek karenanya.

***

Kuliah buat saya adalah kesempatan terakhir untuk menikmati kebebasan sebelum memasuki kehidupan penuh tanggung jawab yang tidak bisa dielakkan.

Masa paling menyenangkan karena sudah besar dan bebas melakukan banyak hal, tapi masih punya orang-orang dewasa yang bisa diandalkan. Masih mudah dimaafkan kalau melakukan kesalahan. 

Sementara mahasiswa sekarang sudah sibuk mencari pengalaman kerja dari tahun kedua. Tidak ada waktu berteman karena setiap hari bagaikan persiapan ujian masuk ke dunia kerja. 

Paling menyedihkan untuk yang merasa tak ada celah untuk sedikitpun kegagalan dan ketidaksempurnaan. Bagaikan berjalan di sisi jurang yang dalam, kesalahan menyebabkan kejatuhan.  

Buat saya, mereka seperti dipaksa masuk ke kehidupan orang dewasa sebelum waktunya. Entah karena dorongan dari diri sendiri atau pihak luar.

***
Tapi perbedaan saya dengan mahasiswa-mahasiswa ini tak bisa dipungkiri sudah 20 tahun lamanya. Sudah beda zaman. Mungkin memang definisi kebahagiaannya sudah berbeda. Atau anak sekarang sudah terbiasa dengan kehidupan seperti itu.

Tapi lalu saya teringat pada Mbarep dan Ragil. Sepuluh dan dua belas tahun lagi kalau ada rezekinya mereka juga akan jadi mahasiswa. Di masa tersebut akankah mereka menikmati masa-masa di kampus seperti ayah ibunya?

Semoga ketika waktunya tiba saya masih ada untuk mengingatkan bahwa kesuksesan hidup tidak hanya dicapai dengan satu cara. Semoga mereka bisa menikmati masa mudanya. 

***

Ditulis sebagai tulisan kedua Tantangan Blogging Level Up Mamah Gajah Ngeblog Periode Satu.





Read more ...

Friday, April 18, 2025

Berpikir dan Meracau Bagian 1: Makanan



Seumur-umur saya nonton drama Korea, saya tidak pernah lihat adegan orang kelaparan. Orang mabuk atau sibuk sampai lupa makan sih banyak, tapi tidak punya makanan (rasanya) tidak pernah. 

Bahkan orang yang digambarkan sangat miskinpun masih bisa makan pakai nasi dan lauk pauk. Walaupun lauknya cuma telur, kimchi, atau bahkan ramyeon. Ingin daging juga tidak susah. Daging Babi murah harganya. Sepertinya segaja diregulasi agar harganya bisa rendah.

Harga bahan makanan sepertinya sangat terjangkau sehingga semua penduduk bisa membelinya tanpa masalah. Pantas saja, tinggi tubuh orang Korea sekarang hampir mirip orang kaukasia. Buat penduduk di negara-negara tersebut, perihal gizi sudah tidak menjadi suatu kekhawatiran. 

Makanya presiden saja bisa mereka gulingkan. 

Dengan kebutuhan dasar yang sudah sangat terpenuhi, permasalahan di negara-negara makmur sudah bergeser menjadi masalah sosial yang lebih asbtrak. Kriminalitas terjadi bukan lagi melulu mengenai masalah perut tapi sudah naik ke kepala.

Tentu bukan berarti lebih baik, karena kasus yang terjadi seringkali jauh lebih mengerikan.

***

Di Indonesia masalah pangan masih menjadi permasalahan utama. Orang-orang kelaparan ada dimana-mana. Kriminalitas terjadi utamanya karena permasalahan uang. Uang yang diperlukan untuk membeli makanan. Di sini masalah perut mendorong orang melakukan kejahatan. 

Sepertinya harga bahan makanan utama memang semakin tak terjangkau untuk masyarakat. Terutama masyarakat di kota besar. Tak mengherankan semakin banyak orang yang memilih mie instan dan jajanan warung sebagai diet utama. 

Harga yang murah dan rasa yang membuat ketagihan membuat makanan-makanan Ultra Processed Food (UPF) murah tersebut cukup memuaskan lidah dan perut.

Sebenarnya masyarakat kelas menengah keatas juga banyak yang beralih ke UPF. Tapi lebih karena alasan kepraktisan atau malah kesehatan. 

Tren kesehatan membuat dunia barat mulai tidak ramah dengan UPF. Hal ini membuat Big Food Company semakin gencar merongrong negara dunia ketiga. Negara-negara yang tidak mampu menyediakan real food untuk penduduknya. 

Tapi setelah saya pikir-pikir jangan-jangan permasalahan pangan ini kesalahan kita sendiri sebagai penduduk suatu negeri yang dulunya terkenal loh jinawi

Bangsa ini terbiasa makan lengkap 3 kali sehari. Pagi-pagi cari nasi rendang atau pecel kikil adalah suatu hal yang lumrah. Makan nugget sebelum sekolah adalah suatu simbol kemapanan. 

Bandingkan dengan orang-orang di Eropa Barat. Roti dingin dengan selapis daging atau kentang disiram saos sudah cukup untuk mengganjal perut. Harga roti, daging lapis, dan kentang cenderung stabil karena produksinya cukup di negara sendiri.

Kalaupun harus impor, memang hanya yang tidak bisa diproduksi di negara sendiri. Harganya pun masuk akal karena logistiknya tidak dikuasai oleh mafia. 

Rasanya tak pernah ada cerita orang-orang di Eropa Barat yang pusing karena harga makanan tiba-tiba meroket tinggi. Ngomel-ngomel sih iya, tapi tidak sanggup beli sepertinya tidak pernah terjadi. 

Begitupun dengan bangsa Korea dan Jepang yang mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Apalagi tradisi makannya juga sederhana. Tidak banyak bumbu. Tidak banyak ubo rampe. Di negara-negara tersebut hasil laut, ternak, pertanian, perkebunan semua berkualitas baik dengan kemampuan produksi yang tinggi. 

Di Indonesia penduduknya sudah terbiasa dengan makanan kaya rasa. Makanya ketika harga daging, bawang, cabai, bahkan sayur, melonjak tinggi semua orang pusing. 

Coba dari dulu kita sudah puas dengan makan nasi dan sayur saja seperti orang Korea. Dimana makan dengan nasi dan lauk sayur thok bukanlah suatu pertanda kekurangan melainkan hal yang normal dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu mungkin ketika harga cabai untuk sambal dan daging untuk gulai mahal kita tidak akan terlalu pusing. 

Sebetulnya tak ada salahnya punya tradisi kaya rasa asal tidak kelabakan sendiri untuk memenuhinya. Contoh saja Thailand dengan tradisi makanan yang juga penuh rempah. Tak jadi masalah bagi warganya karena pemerintahnya eling

Revolusi agrikultur di negara Gajah Putih tersebut sudah berlangsung semenjak lama, sehingga swasembada pangan sudah bukan lagi impian. 

Permasalahan pangan ini sebetulnya berpengaruh ke hal lainnya.

Sudah selesai dengan dirinya sendiri, Thailand mampu promosi ke negara-negara lain. Membuka keran pendapatan, seperti pariwisata, yang sangat menghasilkan. 

Selain pariwisatanya, makanan Thailand juga terkenal di seantero dunia. Apalagi bumbu-bumbunya mudah didapatkan sehingga membuka restoran Thailand tidak jadi hal yang rumit. 

Bumbu halal yang beredar di luaran biasanya asalnya dari Thailand. Padahal negaranya bukan negara muslim. Langkah jenius untuk membuka pasar ke negara-negara Timur Tengah yang masih menjadi sumber uang.

Industri pangan Thailand memang mengagumkan. Import buahnya menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Bahkan orang taunya Durian itu buah asli dari Thailand!

Kebalikan dari Thailand, dengan permasalahan pangan yang belum rampung dan semakin ruwet, Indonesia tidak bisa move on ke permasalahan lain yang lebih genting. 

Masalahnya menunggu pemerintah Indonesia jadi eling untuk mengelola agrikultur dan kebijakan impor kan hanya mimpi belaka. Pemerintahnya juga masih punya masalah perut, jadi siapa yang bisa kasih makan akan lebih diutamakan. 

Tidak ada yang tahu kan kalau bawang putih di Indonesia itu harus impor dan selama ini importirnya hanya ada satu orang saja? Sus banget kalau kata anak Gen Alpha.

Tapi bangsa Indonesia kan definisi nyata dari When Life Gives You Tangerine. Alias bisa mengambil hikmah yang baik dari segala kejadian. Makanya tidak ada yang ngamuk kalau tidak bisa makan. Kalau tidak terbeli itu protein dan lemak, paling tidak ada karbohidrat yang bisa diandalkan. 

Menurut salah satu penelitian yang saya baca, diet seseorang mempengaruhi status mentalnya. Mungkin diet orang Indonesia tanpa sadar membuat orang-orangnya jadi cuek saja!

***

Ditulis sebagai tulisan pertama Tantangan Blogging Level Up Mamah Gajah Ngeblog Periode Satu.



Read more ...