Ibu saya tutup usia pada tanggal 31 Januari 2017 pukul 07.30 pagi.
Baru 56 tahun usianya.
Kanker usus kata dokter. Lebih ilmiahnya Adenocarsinoma stage 4 di kolon kanan yang telah
bermetastasis ke 15 titik jaringan limpa, suatu jaringan lain yang saya lupa namanya, dan appendiks. Itu yang saya baca di kesimpulan analisis patologi yang kertasnya saya temukan di tas berisi kumpulan dokumen-dokumen dari rumah sakit.
Maag akut. Begitu keluhan awalnya. Setelah dua kali kunjungan ke dokter spesialis penyakit dalam dan empat hari pemeriksaan menyeluruh organ pencernaan. Ditemukan tumor besar di perut kanan.
Operasi pengangkatan tumornya berjalan lancar. Mungkin terlalu lancar. Sel kanker yang ada di tubuhnya sudah terlalu menyebar. Tak bisa dibersihkan hanya dengan operasi.
Ibu pergi selamanya hanya dua minggu setelah dirawat di rumah sakit. Tiga minggu setelah diagnosa penyakitnya.
Sadar penuh sampai saat-saat terakhirnya dan tidak pernah mengeluh sakit sedikitpun. Saya harap memang begitulah adanya tentang penyakitnya. Tidak menyakitkan.
Sehari sebelum ibu pergi saya datang dari Bandung. Tidak ada firasat. Tidak ada pertanda. Kami masih bercanda. Kami masih tertawa. Saya harap memang begitulah adanya tentang perasaannya. Bahagia sampai saat terakhirnya.
Tidak ada yang menyangka ibu akan pergi secepat itu. Tidak dengan kami orang-orang terdekatnya. Tidak dengan teman-teman di sekolah tempatnya mengajar. Tidak dengan tetangga dan kerabat. Bagaimana orang bisa menduga, padahal tiga minggu sebelumnya ibu masih menyetir mobil sendiri ke tempat kerjanya dan pergi ke Jakarta untuk mengunjungi cucunya.
Tapi begitulah adanya takdir yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Tak ada yang pernah tahu kapan akan terjadinya.
Ada menyelinap secercah perasaan lega setelah saya membaca-baca hasil analisis penyakitnya dan mengobrol dengan beberapa orang yang kompeten dan berpengalaman dalam bidang penyakit yang diderita ibu. Saya yang orang awam jadi paham, betapa berat dan menyakitkan jalan yang harus dilalui ibu jika penyakitnya terus berlanjut. Allah sayang pada ibu sehingga tidak dibiarkan oleh-Nya ia menderita terlalu lama. Ibu pergi sebelum penyakitnya semakin menjadi dan tak tertahankan sakitnya.
Saya tahu yang diberikan oleh Allah pasti yang terbaik untuk kami semua. Begitupun dengan kepergian ibu yang kami rasa terlalu cepat. Walaupun tentu saja sangat berat rasanya. Seikhlas-ikhlasnya saya, tetap terasa lubang hampa di hati, yang mungkin sakitnya akan terhapus seiring perjalanan waktu, tapi saya yakin tak akan pernah tertutup dengan apapun sampai kapapun.
Insyaallah, saya sudah ikhlas perihal kepergiannya.
Selamat jalan ibu sayang. Semoga tenang di sana. Sampai kita bertemu lagi ya. Insyaallah 😘
No comments:
Post a Comment