Salah satu pengalaman paling unik yang saya rasakan selama di Jerman, yang saya yakin tidak banyak dialami oleh banyak orang yang tinggal di luar negeri adalah jadi ketua panitia pernikahan. Ini ceritanya.
Bulan Juni 2014 saya diminta oleh salah satu ibu ibu orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Stuttgart untuk menjadi ketua panitia pernikahan anaknya. Waktu pertama kali mendengar permintaan tersebut, terus terang saya kaget, soalnya di Indonesia biasanya yang jadi ketua panitia kan oom oom ya atau kakek kakek. Sesepuh lah. Lha saya kan oom oom atau kakek kakek bukan, sesepuh apalagi. Tapi setelah dipikir pikir mungkin alasannya adalah karena saya satu-satunya salah satu orang Indonesia yang tinggal di Stuttgart dan paling available a.k.a belum punya anak dan literally nggak lagi ngapa ngapain. Jadi saya memutuskan untuk menerima permintaan si ibu-ibu.
Mungkin banyak yang mikir, yaelah sesusah apa sih mengurus pesta pernikahan, jutaan orang sudah melakukannya. Iya kalau di Indonesia sih nggak susah, semua tinggal telepon. Tinggal pilih yang sesuai budget. Bikin pesta pernikahan di Jerman juga nggak susah kalau ala ala tradisional Jerman. Sama tinggal telepon juga. Yang susah bikin pesta pernikahan a la Indonesia di Jerman. Butuh kreatifitas, kesabaran, serta kemampuan negosiasi dan sok kenal sok dekat yang tinggi. Halah.
Masalah pertama bikin pesta pernikahan a la Indonesia di Jerman adalah semua harus dikerjain sendiri sementara tenaga yang bantuin nggak begitu banyak. Di sini semua orang cenderung sibuk dengan hidupnya masing-masing. Student sibuk belajar, yang ngurus anak sibuk antar jemput dan ngurus rumah, yang kerja ya sibuk kerja. Untungnya si ibu yang mau ngadain acara ini punya kehidupan sosial yang bagus. Ramah, suka nolong pehlus dikenal baik di semua golongan (student, orang Indonesia yang pasangannya bule, keluarga Indonesia asli, Islam, non Islam), jadi waktu diminta banyak yang bersedia bantuin. Walaupun constraintnya pada banyak banget. Sigh.
Masalah kedua adalah ternyata orang-orang yang tinggal di sini, jarang yang pernah datang ke kawinan, jadi kurang bisa membayangkan seluk beluk pelaksanaan pesta perkawinan. Ya iyalah. Orang udah pada lama tinggal di sini. Paling juga diundang pesta kawinan ala Jerman asli, itupun jarang-jarang kan. Sampai sampai saya sempat berantem sama salah satu bapak bapak di sini yang ribut doang tapi nggak ada usahanya kekeuh di pesta pernikahan adat Jawa di Indonesia sekarang masih pada pake patah (anak kecil yang ngipasin penganten) dan beliau kekeuh kalau patah juga harus ada di nikahan yang ini. Yah nyari orang gede aja susah apalagi anak kecil. Di sini minta tolong anak kecil syarat dari emaknya banyak banget. Malespun ngurusnya:)))
Jadi ada untungnya juga hampir tiap bulan dulu kami datang pesta pernikahan. Paling enggak saya lebih kebayang apa apa saja yang perlu disiapkan untuk melaksanakan pesta pernikahan a la Indonesia.
Masalah ketiga tentu saja perbedaan budaya. Di pesta itu yang diundang bukan cuma orang Indonesia, melainkan juga orang Jerman, karena pihak besan orang Jerman asli. Perkara jenis makanan dan cara pesta jadi perdebatan yang cukup panjang. Makanan tidak boleh terlalu pedas, tidak boleh yang aneh-aneh dan tidak boleh mencurigakan alias harus jelas bentuk rupanya (contoh puding nggak boleh berwarna terang). Harus ada meja, karena nggak semua orang Jerman bisa makan sambil berdiri. Pengantin nggak boleh cuma berdiri di depan kemudian disamperin oleh tamu undangan untuk salaman, karena itu dianggap tidak sopan. Dan sebagainya dan sebagainya.
Perkara perbedaan budaya ini saya tengahi dengan cara memberikan pengertian kepada calon pengantin perempuan yang kemudian harus menjelaskan kepada keluarga calon mertuanya. Sudah pake cemberut cemberut segala itu, karena takut keluarga calon mertuanya tidak berkenan. Hehehe!
Untungnya keluarga besan keluarga yang cukup terbuka, mau mau aja disuruh begini begitu :P
Ketiga masalah utama diatas bisa teratasi dengan bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak serta tentu saja rahmat Allah SWT. Ada gunanya juga waktu kuliah saya lumayan aktif di himpunan, walaupun kebanyakan cuma jadi penggembira, dan waktu kerja banyak bertemu dengan berbagai tipe orang. Paling tidak bekerja sama dengan orang lain dan menghadapi tingkah polah orang lain yang aneh aneh bukan lagi hal yang asing buat saya. Biarpun saya sadari saya seringkali terlalu pakai hati dalam menghadapi orang. Gampang jengkel gampang sebal walaupun cepat lupa. Kecuali orangnya sudah sangat keterlaluan, nah itu bisa sentimen lama :P
Setelah 3 bulan persiapan, yang akhirnya dikebut dalam dua minggu, pada bulan September 2014 terlaksanalah pesta pernikahan tersebut dengan lancar dan memuaskan. Alhamdulillah :)))
Ini saya share sedikit foto-fotonya :
Tentang Venue :
Venue |
Pesta pernikahannya diselenggarakan di gedung aula gereja. Di sini mah nggak bisa pilih-pilih karena gedung pesta hampir tidak ada. Pesta kawinan tradisional Jerman kan biasanya diadain di restoran karena tamunya paling juga cuma 20-an. Gedung yang tersedia kalau nggak kecil banget, gede banget kayak hall untuk konser, mahal banget, atau ribet banget syarat peminjamannya, misal nggak boleh bawa makanan dari luar. Saya sendiri tidak ikut cari gedung, karena saya nggak tau medan.
Setelah pencarian intensif selama beberapa bulan, keluarga mempelai wanita akhirnya berhasil mendapatkan ruangan yang sesuai, yang bisa menampung 300 orang (berdiri), boleh bawa makanan sendiri, dan dengan harga yang sesuai dengan budget yang mereka miliki. Ruangannya sendiri paling cuma segede aula SMA di Indonesia. Atau lebih kecil malah. Tapi ya sudah alhamdulillah ada :D
Tentang persiapan :
Jutlak (Petunjuk Pelaksanaan) |
Karena saya orangnya rapi (halah) saya bikin petunjuk teknis atau disingkat juknis. Percuma dong kalau saya sudah berkali kali kerja sama kementerian tapi nggak tau juknis :P
Si Juknis ini gunanya buat ngasih tau orang lain tentang alur acara dan buat check list kelengkapan. Sebenernya yang bener bener pake si Juknis ini cuma saya doang, yang laennya mah tetep aja nanya ke saya - -"
Saking rapinya saya, sampai sampai saya bikin tuh segala macam denah. Dari denah layout akad nikah sampai jalur kirab dan alur tamu. Bikinnya sih gampang tinggal pakai software semacam microsoft visio, tapi ternyata ada juga yang terkagum-kagum liat gambar denah bikinan saya. Sampai berkali kali nanya susah nggak bikinnya :)))
Cue Card Master of Ceremony |
Satu lagi yang saya bikin adalah cue card MC. Isinya literally kata-kata yang harus diucapkan si MC di sepanjang acara, misal penjelasan mengenai akad nikah dan acara adat. Saya bikin versi bahasa Indonesianya, sementara si MC yang udah jagoan bahasa Jermannya tinggal nerjemahin. Jeleknya MC yang sangat bergantung pada cue card adalah ngomongnya jadi kayak robot. Tapi ya udahlah ya, mau gimana lagi.
Pernak Pernik Nikahan Do It Yourself |
Di Indonesia mau ngehias mas kawin tinggal pesen, mau tempat cincin sama buku tamu tinggal beli di pasar ada banyak. Kalau di sini semua ya harus bikin sendiri.
Untung waktu kecil saya sempet hobi bikin prakarya. Jadilah dengan imajinasi dan kreatifitas tinggi saya bikin dah tuh mas kawin, tempat cincin, dan buku tamu.
Tempat cincin dari busa buat cuci piring, mas kawin pakai pigura yang nemu di toko loak, buku tamu pake buku sketsa. Seada adanya. Sebisa bisanya. Pokoknya jadi.
Persiapan |
Sudah saya bilang kan, di Jerman ini segala segala harus dikerjain sendiri. Mana adalah mamang-mamang yang bisa disuruh suruh terus tinggal dikasih uang rokok. Buat ngehias gedung dan menjalankan sound system harus mengiba meminta bantuan mahasiswa mahasiswa. Termasuk suami yang ikut juga dikaryakan.
Nggak cuma mahasiswa, pengantennya sendiri juga harus ikut turun tangan. Nggak ada istilahnya tuh malam sebelum nikahan dipingit dan diem manis di rumah luluran, yang ada sebelum nikahan sibuk bolak balik antar jemput barang dan bantuin bikin dekor.
Dekorasi |
Dekorasi 100% dikerjain sendiri oleh panitia. Untungnya dulu saya suka aktif kalau ada perayaan wisuda. Jadi kan udah pengalaman dekor dekor seadanya. Kain kain dekorasi beli meteran di eBay. Kursi pelaminan diambil dari kebun calon besan. Udah sedikit karatan, tapi anggap aja hiasan. Bunga yang dipakai sebagian besar bunga plastik beli di IKEA dan di toko 1 euroan, sebagian beli, sebagian lagi metik di kebun. Vas bunga dari botol susu Landliebe. Delapan botol dari saya semua. Nggak percuma tuh kan saya hobi minum susu :P
Pelaminan begini ternyata nggak ada loh di Jerman, pun dengan kain kain yang menjuntai juntai. Jadi waktu tamu tamu bule itu lihat dekorasi gedung, semua pada ber ooh dan ber ahh. Keren banget katanya. Nggak tau beneran terpesona nggak tau cuma sopan belaka. Padahal kan ya gini doang :)))
Makanan |
Sama halnya dengan dekorasi, makanan juga masak sendiri. Ibu-ibu dikerahkan. Mau jago masak mau engga siapa yang bersedia bantu dipersilahkan. Tentu saja dengan menu yang sudah ditentukan. Menunya makanan khas Indonesia, yang kira kira bisa diterima sama orang Jerman, ditambah menu-menu yang nggak asing buat orang Jerman seperti nugget dan roti dengan irisan daging serta keju. Masaknya nggak sekaligus melainkan dicicil.
Makanan-makanan yang bisa disimpan beku macam rendang, sambal, siomay, dimsum sudah dibikin 3-2 minggu sebelumnya. Sementara makanan lain dimasak di rumah masing-masing orang yang kebagian dimintain tolong masak. Hasil akhirnya sedikit suka suka. Ada yang terlalu kreatif jadi mie gorengnya dikasih segala macam seafood, ada yang nggak sempet belanja jadi mie gorengnya cuma ditemani bawang goreng. Apapun itu semua diterima dengan rasa terimakasih yang mendalam.
Makanan kemudian disajikan secara prasmanan. Waktu makanan disajikan, di depan masing-masing pinggan diberi keterangan mengenai makanan tersebut. Soalnya seperti sudah saya bilang di atas orang Jerman suka nggak mau makan kalau dia nggak tau ingredient-nya. Tapi syukur, sepertinya tamu yang datang memang yang terbuka dengan budaya lain. Hampir semuanya berani mencoba. Siomay, dimsum, rendang, cap cay semua ludes dalam sekejap.
Tentang acaranya sendiri :
Akad Nikah |
Akad nikah alhamdulillah berjalan sakral dipimpin oleh naib dari Berlin. Disini mau nikah aja naibnya harus minta dari Berlin. Sebagai catatan, nikah yang dilangsungkan pada pesta ini adalah nikah agama Islam dan belum tercatat di catatan sipil Jerman. Setelah pernikahan Indonesia, kedua mempelai melangsungkan lagi pernikahan a la Jerman untuk mencatatkan pernikahan mereka di catatan sipil Jerman.
Bagian menarik dari akad nikah ini adalah acara minta ijin. Nggak ada tuh acara begini begini di Jerman, orang biasanya anak nikah orang tuanya diundang juga udah syukur. Waktu acara minta ijin semua tamu pada nangis termasuk bule-bule. Apalagi bule-bule.
Sampai ada bule yang bilang ke saya, kalau dia kagum dan sedikit iri bahwa di Indonesia hubungan orang tua dan anak masih lekat sekali.
Lucunya, pak naib juga kagum sama acara yang berlangsung. Katanya baru sekali beliau menikahkan orang di Jerman dengan suasana layaknya di Indonesia. Biasanya cuma duduk lesehan di masjid. Belian sampai minta dikirimin foto foto untuk ditunjukkan ke teman-temannya :)))
Acara Adat |
Setelah akad nikah, berlangsunglah resepsi. Nggak ada adat khusus yang dipakai. Untuk baju karena pengantinnya sendiri dari Palembang, maka yang dipilih baju Palembang. Tapi karena mahkotanya nggak ada jadi pake mahkota Bali. Acara adat yang diselenggarakan adalah kirab, potong tumpeng, dan suapan terakhir. Tata caranya ya ngarang aja. Maknanya juga saya karang-karang saja. Pokoknya mereka pengen ada acara adat, saya kasih acara adat :P
Untuk hiburan ada beberapa teman-teman pengantin wanita yang menyumbangkan tarian. Waktu tarian tampil semua tamu duduk dengan seksama memperhatikan, seperti layaknya pertunjukan. Berbeda dengan kebanyakan nikahan di Indonesia dimana ketika tarian ditampilkan, tamu-tamu malah terjebak di antrian untuk salaman atau sudah sibuk berburu makanan. Hehehe!
Pesta! |
Selesai pesta, saya minta ijin untuk pulang duluan karena sudah terlalu capek. Saya pulang yang lain masih lanjut berbenah. Ibu pengantin wanita langsung beralih jadi pemimpin bersih bersih. Karena gedung yang sudah disewa harus dikembalikan dalam kondisi bersih kalau tidak bisa kena denda yang jumlahnya tidak sedikit.
Begitulah cerita mengenai pengalaman saya menjadi ketua panitia pesta pernikahan a la Indonesia di Jerman. Cukup seru kok, tapi nggak mau sering-sering. Capek! Hehehe!
No comments:
Post a Comment