Friday, May 16, 2025

Tentang Opini Populer di Kalangan Anak Kecil yang Tidak Populer di Kalangan Orang Dewasa

Hembusan angin mendesir di telinga saya. Berusaha mengacuhkan, saya menarik selimut  hingga menutupi telinga. Seketika suara angin tersebut berubah menjadi raungan, “IBOOOKKK!!”. Getaran yang dahsyat membuat telinga saya seketika berdenging. 

Dengan terpaksa saya membuka mata dan menemukan Ragil nyengir tepat di samping kepala saya. Saya melirik jam di dinding. Pukul 05.30. “Dek, libur nih, tidur lagi yuk!”, rayu saya. “Nggak mau! Ibu harus keluar”, jawab anak bungsu saya itu sambil menunjuk pintu kamar. Saya mengerang, sebelum akhirnya menyerah dan bangkit dari kasur.

Saya punya banyak pertanyaan mengenai kehidupan. Salah satu yang paling menggelitik adalah : mengapa bocah kalau libur MasyaAllah rajin banget bangunnya, sementara kalau sekolah SubhanAllah tekadnya untuk tetap menutup mata?


***

Di ruang tengah saya menemukan Mbarep sudah mengeluarkan semua koleksi legonya dan sedang di tahap membuat mega proyek kota metropolitan. Kaki saya tak sengaja menginjak salah satu potongan lego yang berserakan. Rasa sakit menjalar sampai ke ubun-ubun. Untung saya tidak terbiasa mengumpat.

 “Ibu…Ibu…Ibu kan sudah besar. Harusnya bisa lebih hati-hati dong. Masa lego segitu banyaknya nggak kelihatan?”, kata Mbarep sambil menirukan gaya saya menasehati dia. Lengkap dengan gelengan kepala dan goyangan jari telunjuk. Bedanya dia menasehati dengan muka datar. Saya terlalu sibuk melompat-lompat meredakan rasa sakit sampai lupa merasa kesal.


“Oh iya Ibu, aku punya pertanyaan.”
, Lanjut Mbarep setengah detik kemudian, mengabaikan saya yang masih meringis kesakitan. “Siapa sih yang punya ide bentuk lego itu kotak-kotak? Eh, kalau gedung ada nggak yang bentuknya kayak bola? Oh ya Ibu, tadi malem yang menang bulu tangkis siapa? Kita hari ini mau pergi kemana?”, Selesai mengeluarkan rentetan pertanyaan tersebut, Mbarep menatap saya mengharapkan jawaban.

Saya merasa seperti sedang ikut mencongak. Kegiatan harian setiap jam 07.00 pagi, saat saya duduk di bangku SD 30 tahun lalu.

Ragil melompat-lompat diatas sofa.”Ayo Ibu, jawab dong pertanyaan Mas!”, katanya menyemangati. “Bentar Ibu minum dulu baru mikir”, kata saya sambil beranjak ke ruang makan. “Ih Ibu mah, kan udah besar, masa pertanyaan begitu saja harus mikir dulu!”, kata Mbarep. “ Iya, ih Ibu mah orang dewasa kan harusnya tau semua, tambah Ragil.


Hari libur ini baru berjalan selama 5 menit tapi saya sudah merasa lelah.

***

“Ibu, Ibu, kapan kita ke Luar Negeri?”, Kata Ragil tiba-tiba. “Ya Insya Allah nanti, kalau ada rezeki ya”, respon saya sesuai standar jawaban emak-emak di negeri Konoha, yang memegang teguh prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. “Ke Luar Negeri perlu uang banyak tau Dek. Iya kan Bu?”, kata Mbarep membantu. Saya mengangguk.

Ragil berpikir. ”Aha! Aku punya iden (ide). Ibu ambil uang aja lewat ATM. Kan di Bank ada banyak uang., kata Ragil. “Iya tapi bukan uang Ibu”, kata saya. “Ooh, punya ayah?”, lanjut Ragil. “Bukan, punya Ayah Ibu ada sih, tapi cuma sedikit, yang banyak punya orang lain”, jawab saya. 


“Kan Ayah Ibu kerja, harusnya uangnya banyak dong di Bank. Kenapa uangnya sedikit? Kan katanya kerja biar banyak uang, lanjut Ragil masih penasaran.


“Very…very sus..”, Komentar Mbarep ikut-ikutan dengan bahasa Gen Alphanya.

Sebetulnya saya ingin menjawab dengan teori-teori ekonomi makro. Lengkap dengan penjelasan bahwa kami ini termasuk golongan kelas menengah ngehe yang sedang menjadi subjek perdebatan. Termasuk miskin untuk ukuran Bank Dunia, mampu untuk ukuran Bank Indonesia, tapi pasti sangat kaya menurut bang Agus yang tiap bulan datang untuk pinjam uang.

Alhamdulillah.

Tapi lalu saya ingat kalau sedang bicara dengan anak 5 tahun. Lagian sampai sekarang pemahaman ekonomi saya hanya berdasarkan konten-konten semenjana di Tiktok, Instagram reels, dan Youtube short.

Hiburan yang saya konsumsi untuk melupakan permasalahan hidup yang nyata.

Batal jadi ekonom dadakan, saya berusaha mencari penjelasan yang lebih age appropriate untuk bocah. Tapi sebelum ketemu cara yang pas, Mbarep sudah memotong. “Aku tau! pasti Ibu kerjanya males-malesan. Makanya uangnya sedikit. Ibu kerjanya yang lebih rajin lah. Kalau rajin kan uangnya lebih banyak


“Iya tuuh. Kalau Ibu dapat uang jangan dibeliin makanan terus! Uangnya habis, ibu tambah gendut!, Timpal Ragil sambil cengengesan.


Saya hanya tertawa getir mendengarnya. Sementara suami tertawa terbahak-bahak melihat isterinya dirundung darah dagingnya sendiri. 

***

“Kalau sudah besar, aku mau jadi dokter bedah”, kata Ragil. “Bagus”, komentar saya pendek, mengingat 30 menit sebelumnya cita-citanya masih jadi pelatih renang. Pelatih renang buaya.

”Nanti aku tanya sama orang yang aku bedah, jahitannya mau bentuk apa? Labubu atau Cinnamoroll? Eh Bunga mawar juga bisa sih. Kalau orang besar perempuan kan biasanya suka bunga mawar”, lanjut Ragil.

“Aku nggak sabar jadi orang dewasa. Soalnya orang dewasa boleh ngapain aja!, seru Ragil mengakhiri monolognya.


Saya tentu saja tidak sampai hati memberitahu Ragil kalau orang besar justru banyak larangannya. Apalagi dokter yang  berkesenian terhadap tubuh pasiennya. Bisa masuk penjara.

Tapi daripada jadi pelatih renang buaya mendingan jadi dokter seniman kayaknya. Masih ada waktu sekitar 30 tahun kalau Ragil mau jadi spesialis bedah. Siapa tau tren berubah ya kan. Bekas operasi yang estetik. Supaya kalau timbul keloid malahan bagus jadi 3D.

***

Mbarep mendekati saya yang sedang menggoreng otak dengan doomscrolling Social Media. “Ibu coba denger ini, ibu tau nggak ini lagu apa?”, tanyanya dilanjut dengan menggumamkan suatu nada. “Enggak, lagu apa itu?”, jawab saya. “Aku pernah denger di Youtube, sekarang aku mau denger lagi tapi lupa”, lanjut Mbarep. “Ya sudah cari lagi aja di youtube. Baru kasih tau ibu lagi nanti. Coba cari di history”

Mbarep beranjak untuk scrolling Youtube. Semenit kemudian. “Ibuuu nggak nemu”, rengeknya. “Coba inget-inget videonya tentang apa”, saran saya. “Nggak inget, ibu cari di Google dong”, pinta Mbarep. “Lah kalau nyari di Google kan harus ada kata kuncinya, kata kuncinya apa?”, kata saya. “Nggak tau”, kata Mbarep setelah berpikir selama 5 detik.


”Coba ibu ketik aja…hmmm hmmm hmmm”, lanjutnya sambil kembali menggumam. Saya memutar mata, “Nggak bisa Mas kalau gitu caranya”. “Ih Ibu Mah, kata ibu kan kalau aku mau tau sesuatu bisa tanya Google. Katanya Google banyak taunya, kenapa yang sekarang nggak bisa?”, Mbarep mulai merajuk.

“Ya, kan…”, tiba-tiba saya kehabisan kata-kata. Entah mau menyalahkan siapa. Saya dan Mbarep kemudian sama-sama terdiam. Saya memikirkan ketidak sempurnaan Google sementara Mbarep mungkin memikirkan ketidak sempurnaan ibunya.

“Aku dengerin lagu yang lain saja deh”, kata Mbarep akhirnya. Saya pun kembali menggoreng otak saya. Mumpung libur. Mumpung bisa.

***
“Dek tidur siang yuk”, bujuk saya pada Ragil. Saya jarang punya kesempatan tidur siang.”Nggak mau, tidur siang itu buat BA..YI. Buat BA..LI…TA. Lagian tidur siang itu menyebalkan, jawab bocah yang baru 6 bulan lalu lepas dari status balita dan sampai nanti tua pun pasti akan tetap jadi bayi buat saya.


***

Ditulis untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Mei dengan Tema Unpopular Opinion.







Read more ...

Wednesday, April 23, 2025

Tradisi Lokal yang Masih Lestari dan Bikin Senewen

Kalau sebelumnya saya pernah menulis tentang kebiasaan-kebiasaan saya yang bikin senewen, kali ini saya ingin menuliskan mengenai tradisi-tradisi lokal yang bikin senewen. Coba dilihat adakah yang merasakan hal yang sama? 

Tradisi Petasan


Tradisi petasan di Indonesia disinyalir berasal dari negeri Cina. Bunyi petasan di negeri Cina dianggap sebagai simbol peringatan atau pertanda keberhasilan dalam berbagai acara, seperti pernikahan, upacara kematian, atau perayaan keagamaan. 

Menyalakan petasan di Tahun Baru Cina (Imlek) dipercaya oleh masyarakat Cina dapat memberikan keberuntungan sebagai pembuka awal tahun baru. Entah sejak kapan tradisi menyalakan petasan ini merembet ke perayaan lainnya. Seperti tahun baru masehi, tahun baru hijriah, dan Ramadan.

Sebetulnya tidak masalah kalau petasan dinyalakan hanya pada saat perayaannya saja. Semenit bunyi petasan memang mengganggu, tapi ya sudahlah masih bisa saya tolerir. Menjadi sangat menyebalkan ketika petasan dibunyikan terus menerus sepanjang malam. Apalagi jika tidak ada perayaan.

Menganggu orang-orang yang perlu istirahat. Hanya jadi sumber kedzoliman saja menurut saya.

Tradisi Voorijder dan Sirine Kendaraan



Di perkotaan yang padat lalu lintas, sering terlihat kendaraan dengan voorijder atau sirine kendaraan. Voorijder adalah istilah yang berasal dari bahasa Belanda yang secara harfiah berarti “pengendara depan”. Di Indonesia, voorijder merujuk pada pengawal jalan atau pembuka jalan. Kalau kata anak saya namanya tetot. Tadinya kebanyakan voorijder menggunakan motor, tapi lama-lama mobil bersirine juga bisa jadi tetot

Tidak semua tetot membuat saya kesal. Saya tentu saja mentolerir tetot yang dibunyikan oleh ambulans yang membawa orang sakit atau jenazah. Agak sebal dengan tetot yang mengiringi pengantin, tapi ya sudahlah.

Saya paling sebal dengan tetot yang mengiringi pejabat. Terutama pejabat polisi dan militer. Mohon maaf nih. Kenapa harus buru buru banget sih?

Rombongan Moge juga sering membuat senewen. Motornya kan sudah besar-besar, kenapa coba harus dikawal supaya lancar?

Kadang-kadang sudah tau kan ya macet, tetot tetot di belakang sambil menyalakan lampu seperti dikejar alien itu buat apa sih? Habis itu maksa mepet-mepet mobil orang. Kalau perlu sampai ambil jalan ke arah sebaliknya. Membuat jalan yang sudah macet semakin mampet.

Suatu waktu di tengah Bandung yang macet total dan hujan deras ada rombongan bis dengan tetot yang suaranya sudah terdengar 5 km di belakang. Rombongan tersebut mencoba bermanuver di antara kendaraan-kendaraan lain yang juga sudah berjejalan.

Pimpinannya menggunakan motor polisi berseru seru lewat TOA menyuruh mobil-mobil lain memberi jalan. Bukan tidak mau membantu, masalahnya mau minggir kemana lagi?

Akhirnya si pimpinan turun dari motor dan mengetuk kaca satu persatu mobil yang ada di depan rombongan meminta pengertian untuk beringsut sedikit memberi jalan. Para pengemudi yang sepertinya sudah sama lelahnya balas meneriaki si pimpinan. Di depan ada pohon tumbang, mau ada walikota bahkan Presiden juga tidak akan bisa lewat.

Setelah beberapa lama usahanya tidak membuahkan hasil sepertinya si pimpinan akhirnya menyerah. Suara tetot tetotnya tidak dimatikan, begitupun dengan lampu sirinenya. Menambah kejengkelan semua orang di sepanjang jalan. Isi bis tersebut? Ibu-ibu Bayangkari yang sepertinya sedang berwisata ke Kota Bandung. 

Tradisi Tahlilan yang Berlebihan.



Perlu saya tekankan disini pada kata berlebihan. Hal yang perlu dilakukan adalah mendoakan yang sudah berpulang. Tahlilan yang berbentuk kumpul-kumpul itu bukan suatu keharusan. 

Tradisi tahlilan awalnya bertujuan untuk menemani keluarga yang baru ditinggalkan. Sedikit menghibur dan mengurangi sedikit rasa kehilangan. Saya sendiri yang sudah mengalami tiga kali ditinggalkan orang tua, merasakan betapa keluarga dan handai taulan yang tidak langsung pulang setelah pemakaman, sangat membantu mengalihkan perhatian agar tidak larut pada kesedihan.

Masalahnya adalah tahlilan yang diadakan sekarang seringkali malah berubah menjadi semacam hajatan. Pengalaman saya sendiri, beberapa jam setelah Ibu saya dimakamkan ada tetangga yang menghampiri dan menyampaikan, “Nanti untuk tujuh harian souvenirnya ini saja ya. Bisa beli di saya”, sambil mengangsurkan sekotak ikan bandeng presto buatan sendiri.

Ketika Bapak saya meninggal, selentingan-selentingan terdengar karena saya dan adik saya menolak mengadakan tahlilan lebih dari 3 hari. Setelah lelah fisik dan mental, hal terakhir yang kami inginkan adalah berbasa basi dengan orang-orang tak dikenal di tengah rasa duka.  

Begitupun dengan cerita-cerita yang saya dengar dari para asisten rumah tangga mengenai acara tahlilan di desa. Dipaksa menyembelih sapi dan domba sampai puluhan kilo. Masak dan menyediakan konsumsi untuk ratusan tamu hingga 7 hari lamanya. Sampai harus berhutang kanan dan kiri. Demi menyelenggarakan tahlilan dan akikah bagi orang tua yang sudah meninggal. Buat apa coba?

Tradisi Lomba Bernuansa Feminin untuk Memperingati Hari Kartini



Di tahun 2025, menurut saya seharusnya orang-orang sudah bisa memaknai Kartini lebih dari sekedar perempuan Jawa yang berkebaya yang ingin bersekolah. Tapi sepertinya memperingati Kartini seringkali malah membatasi spirit perjuangan Kartini itu sendiri. 

Seperti kemarin di tanggal 21 April, ketika menemani Ragil berkegiatan di salah satu Mall di Bandung, saya melihat ada lomba peragaan busana tradisional dalam rangka memperingati hari Kartini. Lomba lainnya yang saya lihat adalah lomba merias wajah dan menggulung stagen. Bahkan saya lihat ada lomba vlog tapi temanya Di Rumah Saja

Karena diselenggarakannya di tahun 2024 saya tahu tema tersebut bukan karena pandemi. Tidak dijelaskan maksudnya, tapi saya tetap suudzon maksudnya perempuan diam di rumah saja.  

Saya yakin bahkan Kartini sendiri pasti akan cemberut kalau disuruh ikut lomba-lomba tersebut. Kenapa ya tidak ada yang bisa membuat lomba yang lebih mewakili Kartini. Lomba-lomba lebih bermutu seperti menulis surat, berpidato, atau beropini?

Padahal Kartini sendiri telah berjuang keras untuk membebaskan para perempuan dari stereotip yang melekat kepada mereka.

Kenapa coba kenapa?

Lomba menggulung stagen.

Ya ampun.

***

Ditulis untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan April dengan Tema Tradisi Lokal yang Masih Dilestarikan. 




Read more ...

Sunday, April 20, 2025

Berpikir dan Meracau Bagian 3: Gelembung

Beberapa tahun lalu saya ditugaskan untuk ikut pelatihan sebagai satgas pencegahan kekerasan seksual di kampus. Materi pelatihan yang kedua adalah tentang gender. Di awal pertemuan diputar video tentang budaya patriarki dan toxic masculinity. Lalu masing - masing peserta diminta untuk menyampaikan pendapatnya terhadap hal tersebut. 

Ketika giliran saya berbicara, saya sampaikan kalau video yang ditampilkan sudah tidak relevan buat saya. Karena di lingkungan saya, baik di rumah, pekerjaan, maupun pertemanan, gender inequility itu sudah sangat samar. Laki - laki perempuan ya sama saja. 

Saya dan suami sama - sama bekerja dan outsource urusan domestik ke orang-orang kepercayaan. Meskipun saat kami bekerja mereka dititipkan, pengasuhan utama anak - anak tetap kami pegang berdua. Tidak ada kompromi soal itu. Anak berdua ya urus berdua.

Sama seperti saya, suami saya tidak akan mendapatkan apresiasi lebih atau pujian karena momong anak. Wajar kan orang tua mengasuh anaknya sendiri?

*** 

Di tempat kerja, dari sisi posisi, pendidikan, maupun latar belakang, saya punya keuntungan, jadi saya tidak pernah merasa diremehkan. Kalaupun dengan orang yang jabatannya lebih tinggi, saya tidak pernah merasa tertekan atau terpaksa menuruti kehendaknya. I have my own voice. Saya bebas mengutarakan pendapat dan bertanya.

Saya memilih bekerja karena saya ingin bekerja. Suami saya sangat demokratis dan menghormati keputusan saya tentang hal - hal seperti ini. Dia dan saya bekerja sama menyeimbangkan kehidupan pribadi dan profesional. Sedemikian rupa berusaha agar tidak ada yang merasa terabaikan.

***
Tak lama setelah kegiatan tersebut berakhir, saya memikirkan kembali komentar yang saya berikan. 

Lalu dengan malu saya menyadari betapa entitled-nya saya dengan jawaban tersebut. Saya jelas punya priviledge yang tidak dimiliki oleh semua orang dan saya tidak sadar mengenai hal tersebut. 

Padahal saya sering ngerasani orang - orang yang punya priviledge tapi menolak disebut punya priviledge. Mungkin seperti Putri Tanjung yang menolak disebut bahwa salah satu faktor kesuksesannya sebagai pengusaha adalah karena orang tuanya yang adalah salah satu orang terkaya di Indonesia. 

 I'm living in the bubble

Dimana dunia saya sudah ideal sementara diluar ya belum tentu sama kondisinya. 

***
Lalu kemarin saya baru saja menyelesaikan serial Netflix Adolescence. Serial itu bercerita mengenai seorang anak usia 13 tahun yang membunuh temannya sendiri. Dalam empat episode diperlihatkan hal-hal yang mungkin menjadi motif terjadinya insiden tersebut. 

Walaupun tidak gamblang dijelaskan, tapi kecurigaan mengenai alasan terjadi pembunuhan tersebut adalah pengaruh pandangan misogini atau kebencian terhadap wanita.

Dunia Misogini membayangi para remaja terutama di dunia barat. Menyebar dengan cepat melalui sosial media, pandangan yang sangat berbahaya ini menjadi salah satu justifikasi kemarahan para remaja. 

Remaja dengan keinginan untuk bisa diterima dan disukai. 

Hal yang mengerikan, doktrin tersebut menyebar dalam senyap. Dari luar dunia mereka terlihat baik-baik saja, tapi ternyata di dalam pikiran mereka perlahan berubah menjadi gelap. 

***
Menonton serial tersebut membuat saya berpikir, mungkin anak-anak saya nanti tidak akan punya priviledge yang sama dengan orang tuanya. Dunia mereka akan lebih judgmental!

Kalau sudah begini rasanya tidak siap menghadapi kehidupan remaja anak-anak nanti.

Yah, tapi kan hidup tidak mengalir menuruti maunya kita. Makanya hanya bisa pasrah dan menyerahkan diri pada Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Untuk bisa melindungi anak-anak kita dari pikiran-pikiran gelap yang dengan mudahnya menghampiri. 

Ditulis sebagai tulisan ketiga Tantangan Blogging Level Up Mamah Gajah Ngeblog Periode Satu.


Read more ...

Saturday, April 19, 2025

Berpikir dan Meracau Bagian 2: Masa Muda


Bekerja di lingkungan pendidikan tinggi membuat saya banyak memperhatikan mahasiswa. Ya iyalah masa mengamati biawak. Wong di kampus isinya mahasiswa bukan biawak.

Berdasarkan pengamatan di berbagai kesempatan saya menyimpulkan kalau mahasiswa sekarang ini kebanyakan kurang bahagia. Saya curiga buat mereka masa kuliah bukan lagi masa-masa yang menyenangkan.

Masa kuliah adalah salah satu masa yang paling menyenangkan di hidup saya. Kalau dalam kepala saya digambarkan seperti film Inside Out, maka banyak ingatan masa kuliah yang menjadi memori inti. 

Mungkin memang saya beruntung punya pengalaman yang baik di kampus, tapi saya rasa bukan hanya saya yang merasakan sentimen tersebut. Kebanyakan orang seumuran yang saya kenal juga menikmati kehidupan saat di kampus. 

Apalagi saat memasuki kehidupan orang dewasa, dimana kesulitan saat di kampus menjadi tidak ada apa-apanya. Pasti jadi kangen dengan masa-masa di kampus.

Paling tidak saat masih jadi mahasiswa, tanggung jawab kehidupan belum jatuh sepenuhnya pada kita. Masih ada orang tua dan pihak kampus yang bisa diandalkan. Begitupun dengan teman-teman yang bisa diajak bahu membahu atas dasar senasib dan sepenanggungan.

Makanya saya kasihan sama anak sekarang yang menjalani kehidupan perkuliahannya semata-mata sebagai syarat menuju kesuksesan. Mencari pengalaman hanya untuk mempercantik CV. Mati-matian belajar demi transkrip yang mentereng. Berteman seperlunya karena dari awal sudah saling bersaing. 

Yah, tentu tidak ada yang salah dengan keinginan untuk sukses. Wajar kok di masa sekarang ini. Mungkin memang cari pekerjaan sangat susah sehingga harus dipersiapkan dengan sangat matang sedari awal. Mungkin memang tuntutannya juga berbeda dengan setiap orang saling sawang sinawang pencapaian masing-masing.

Makanya saya hanya nyengir saat salah satu dosen mengeluh mahasiswa minta jadwal kuliah diubah karena siangnya ada kuis. Saya juga hanya tertawa saat dosen lainnya curhat karena hanya segelintir mahasiswa yang masuk ke kelasnya karena sore ada ujian mata kuliah lain (kelasnya jam 07.00 ujiannya jam 15.00).

Tapi ketika salah satu mahasiswa mahasiswa meninggal, kemudian tidak ada satupun temannya yang melayat dengan alasan besok ada ujian. Saya kok merasa ada yang salah. Merasa kasihan. Baik ke yang meninggal maupun ke teman-temannya.

Sampai segitunya kah urusan belajar ini sampai tidak bisa ditinggalkan barang sedikitpun?

Lalu saya teringat pengalaman saya sendiri. Berbondong-bondong mengantarkan teman yang tangannya patah ke rumah sakit. Beramai-ramai ke kantor polisi saat ada teman yang motornya hilang. Bersama-sama mengurus arak-arakan wisuda walaupun besoknya ada ujian. Juga berbagai momen lainnya yang tak pernah lagi saya temui setelah lulus dan masuk kehidupan orang dewasa.

Tak pernah sekalipun saya merasa rugi melakukannya, bahkan ketika nilai ujian saya jadi jelek karenanya.

***

Kuliah buat saya adalah kesempatan terakhir untuk menikmati kebebasan sebelum memasuki kehidupan penuh tanggung jawab yang tidak bisa dielakkan.

Masa paling menyenangkan karena sudah besar dan bebas melakukan banyak hal, tapi masih punya orang-orang dewasa yang bisa diandalkan. Masih mudah dimaafkan kalau melakukan kesalahan. 

Sementara mahasiswa sekarang sudah sibuk mencari pengalaman kerja dari tahun kedua. Tidak ada waktu berteman karena setiap hari bagaikan persiapan ujian masuk ke dunia kerja. 

Paling menyedihkan untuk yang merasa tak ada celah untuk sedikitpun kegagalan dan ketidaksempurnaan. Bagaikan berjalan di sisi jurang yang dalam, kesalahan menyebabkan kejatuhan.  

Buat saya, mereka seperti dipaksa masuk ke kehidupan orang dewasa sebelum waktunya. Entah karena dorongan dari diri sendiri atau pihak luar.

***
Tapi perbedaan saya dengan mahasiswa-mahasiswa ini tak bisa dipungkiri sudah 20 tahun lamanya. Sudah beda zaman. Mungkin memang definisi kebahagiaannya sudah berbeda. Atau anak sekarang sudah terbiasa dengan kehidupan seperti itu.

Tapi lalu saya teringat pada Mbarep dan Ragil. Sepuluh dan dua belas tahun lagi kalau ada rezekinya mereka juga akan jadi mahasiswa. Di masa tersebut akankah mereka menikmati masa-masa di kampus seperti ayah ibunya?

Semoga ketika waktunya tiba saya masih ada untuk mengingatkan bahwa kesuksesan hidup tidak hanya dicapai dengan satu cara. Semoga mereka bisa menikmati masa mudanya. 

***

Ditulis sebagai tulisan kedua Tantangan Blogging Level Up Mamah Gajah Ngeblog Periode Satu.





Read more ...

Friday, April 18, 2025

Berpikir dan Meracau Bagian 1: Makanan



Seumur-umur saya nonton drama Korea, saya tidak pernah lihat adegan orang kelaparan. Orang mabuk atau sibuk sampai lupa makan sih banyak, tapi tidak punya makanan (rasanya) tidak pernah. 

Bahkan orang yang digambarkan sangat miskinpun masih bisa makan pakai nasi dan lauk pauk. Walaupun lauknya cuma telur, kimchi, atau bahkan ramyeon. Ingin daging juga tidak susah. Daging Babi murah harganya. Sepertinya segaja diregulasi agar harganya bisa rendah.

Harga bahan makanan sepertinya sangat terjangkau sehingga semua penduduk bisa membelinya tanpa masalah. Pantas saja, tinggi tubuh orang Korea sekarang hampir mirip orang kaukasia. Buat penduduk di negara-negara tersebut, perihal gizi sudah tidak menjadi suatu kekhawatiran. 

Makanya presiden saja bisa mereka gulingkan. 

Dengan kebutuhan dasar yang sudah sangat terpenuhi, permasalahan di negara-negara makmur sudah bergeser menjadi masalah sosial yang lebih asbtrak. Kriminalitas terjadi bukan lagi melulu mengenai masalah perut tapi sudah naik ke kepala.

Tentu bukan berarti lebih baik, karena kasus yang terjadi seringkali jauh lebih mengerikan.

***

Di Indonesia masalah pangan masih menjadi permasalahan utama. Orang-orang kelaparan ada dimana-mana. Kriminalitas terjadi utamanya karena permasalahan uang. Uang yang diperlukan untuk membeli makanan. Di sini masalah perut mendorong orang melakukan kejahatan. 

Sepertinya harga bahan makanan utama memang semakin tak terjangkau untuk masyarakat. Terutama masyarakat di kota besar. Tak mengherankan semakin banyak orang yang memilih mie instan dan jajanan warung sebagai diet utama. 

Harga yang murah dan rasa yang membuat ketagihan membuat makanan-makanan Ultra Processed Food (UPF) murah tersebut cukup memuaskan lidah dan perut.

Sebenarnya masyarakat kelas menengah keatas juga banyak yang beralih ke UPF. Tapi lebih karena alasan kepraktisan atau malah kesehatan. 

Tren kesehatan membuat dunia barat mulai tidak ramah dengan UPF. Hal ini membuat Big Food Company semakin gencar merongrong negara dunia ketiga. Negara-negara yang tidak mampu menyediakan real food untuk penduduknya. 

Tapi setelah saya pikir-pikir jangan-jangan permasalahan pangan ini kesalahan kita sendiri sebagai penduduk suatu negeri yang dulunya terkenal loh jinawi

Bangsa ini terbiasa makan lengkap 3 kali sehari. Pagi-pagi cari nasi rendang atau pecel kikil adalah suatu hal yang lumrah. Makan nugget sebelum sekolah adalah suatu simbol kemapanan. 

Bandingkan dengan orang-orang di Eropa Barat. Roti dingin dengan selapis daging atau kentang disiram saos sudah cukup untuk mengganjal perut. Harga roti, daging lapis, dan kentang cenderung stabil karena produksinya cukup di negara sendiri.

Kalaupun harus impor, memang hanya yang tidak bisa diproduksi di negara sendiri. Harganya pun masuk akal karena logistiknya tidak dikuasai oleh mafia. 

Rasanya tak pernah ada cerita orang-orang di Eropa Barat yang pusing karena harga makanan tiba-tiba meroket tinggi. Ngomel-ngomel sih iya, tapi tidak sanggup beli sepertinya tidak pernah terjadi. 

Begitupun dengan bangsa Korea dan Jepang yang mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Apalagi tradisi makannya juga sederhana. Tidak banyak bumbu. Tidak banyak ubo rampe. Di negara-negara tersebut hasil laut, ternak, pertanian, perkebunan semua berkualitas baik dengan kemampuan produksi yang tinggi. 

Di Indonesia penduduknya sudah terbiasa dengan makanan kaya rasa. Makanya ketika harga daging, bawang, cabai, bahkan sayur, melonjak tinggi semua orang pusing. 

Coba dari dulu kita sudah puas dengan makan nasi dan sayur saja seperti orang Korea. Dimana makan dengan nasi dan lauk sayur thok bukanlah suatu pertanda kekurangan melainkan hal yang normal dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu mungkin ketika harga cabai untuk sambal dan daging untuk gulai mahal kita tidak akan terlalu pusing. 

Sebetulnya tak ada salahnya punya tradisi kaya rasa asal tidak kelabakan sendiri untuk memenuhinya. Contoh saja Thailand dengan tradisi makanan yang juga penuh rempah. Tak jadi masalah bagi warganya karena pemerintahnya eling

Revolusi agrikultur di negara Gajah Putih tersebut sudah berlangsung semenjak lama, sehingga swasembada pangan sudah bukan lagi impian. 

Permasalahan pangan ini sebetulnya berpengaruh ke hal lainnya.

Sudah selesai dengan dirinya sendiri, Thailand mampu promosi ke negara-negara lain. Membuka keran pendapatan, seperti pariwisata, yang sangat menghasilkan. 

Selain pariwisatanya, makanan Thailand juga terkenal di seantero dunia. Apalagi bumbu-bumbunya mudah didapatkan sehingga membuka restoran Thailand tidak jadi hal yang rumit. 

Bumbu halal yang beredar di luaran biasanya asalnya dari Thailand. Padahal negaranya bukan negara muslim. Langkah jenius untuk membuka pasar ke negara-negara Timur Tengah yang masih menjadi sumber uang.

Industri pangan Thailand memang mengagumkan. Import buahnya menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Bahkan orang taunya Durian itu buah asli dari Thailand!

Kebalikan dari Thailand, dengan permasalahan pangan yang belum rampung dan semakin ruwet, Indonesia tidak bisa move on ke permasalahan lain yang lebih genting. 

Masalahnya menunggu pemerintah Indonesia jadi eling untuk mengelola agrikultur dan kebijakan impor kan hanya mimpi belaka. Pemerintahnya juga masih punya masalah perut, jadi siapa yang bisa kasih makan akan lebih diutamakan. 

Tidak ada yang tahu kan kalau bawang putih di Indonesia itu harus impor dan selama ini importirnya hanya ada satu orang saja? Sus banget kalau kata anak Gen Alpha.

Tapi bangsa Indonesia kan definisi nyata dari When Life Gives You Tangerine. Alias bisa mengambil hikmah yang baik dari segala kejadian. Makanya tidak ada yang ngamuk kalau tidak bisa makan. Kalau tidak terbeli itu protein dan lemak, paling tidak ada karbohidrat yang bisa diandalkan. 

Menurut salah satu penelitian yang saya baca, diet seseorang mempengaruhi status mentalnya. Mungkin diet orang Indonesia tanpa sadar membuat orang-orangnya jadi cuek saja!

***

Ditulis sebagai tulisan pertama Tantangan Blogging Level Up Mamah Gajah Ngeblog Periode Satu.



Read more ...

Tuesday, March 18, 2025

Memahami Teori Tentang Perubahan: Tenang Saja, Tidak Seserius yang Dibayangkan.

Tentang Perubahan

Hidup itu penuh perubahan. Mulai yang besar seperti perubahan tempat tinggal atau pekerjaan, hingga yang sepele seperti perubahan jadwal tayang sinetron kesayangan atau kemasan snack kesukaan. 

Seperti kata agama: “manusia boleh berencana tapi Tuhan jualah yang menentukan”, seringkali terjadinya perubahan sifatnya mendadak, seperti anak yang tiba-tiba sakit saat sudah berencana berpergian keluar kota. 

Tapi tak jarang juga, perubahan seperti seperti batu yang retak karena ditetesi air terus menerus. Tidak terjadi secara serta merta melainkan bertahap. Seperti angka viceral fat di timbangan: pelan-pelan jadi buncit atau keriput di muka: pelan-pelan jadi tua. 

Apapun jenis perubahannya, biasanya perubahan memantik emosi. Bisa emosi negatif tapi tak jarang positif. Kebijakan efisiensi oleh pemerintah memantik emosi khawatir dan kesal, sementara perubahan kebijakan THR untuk para Ojek Online membuat penerimanya bersukacita. 

Begitupun dengan perubahan jam deadline tantangan Mamah Gajah Ngeblog yang membuat banyak pesertanya nestapa. 

Walaupun cukup terlambat, memahami emosi menjadi salah satu tujuan saya di tahun ini. Karena emosi sangat terkait dengan hormon yang berpengaruh pada upaya saya untuk punya badan yang lebih sehat. 

Kenapa saya bilang terlambat? Karena memahami emosi seharusnya menjadi basic skill yang harus dimiliki setiap individu dan harus dilatih semenjak kecil. 

Supaya waktu besar sudah tidak kaget dan gampang emosian. 

Semakin tua, banyak perubahan yang terjadi di sekeliling saya. Daripada emosi sendiri, lebih baik saya mencoba memahami pengaruhnya pada diri sendiri. Supaya lebih kalem dan tidak gradakan. Lebih slay kalau kata anak sekarang.

Untungnya karena perubahan sudah terjadi semenjak Adam dan Hawa diturunkan ke Bumi, sudah ada banyak orang yang mempelajarinya. Tapi dari sekian banyak teori mengenai perubahan, ada satu yang menurut saya cukup menarik untuk diketahui karena sifatnya individual. 

Teori lainnya bukannya tidak menarik juga untuk dipelajari, tapi karena kebanyakan lebih mengarah pada manajemen perubahan organisasi, rasanya terlalu grande untuk diterapkan sehari-hari. 

Dengan belajar sedikit mengenai teori ini, paling tidak kalau sedang menghadapi suatu perubahan, kita bisa sedikit paham hal yang kita rasakan. Apalagi jika perubahan yang terjadi menyebabkan rollercoaster emosi.

Agar kita lebih percaya diri berkata, habis gelap terbitlah terang. Karena literally di teori ini digambarkan setelah turunan ada kenaikan. 

Kurva Perubahan 

Dicetuskan oleh seorang psikiater bernama Dr. Elisabeth Kübler-Ross, The Change Curve atau Kurva Perubahan menggambarkan reaksi manusia terhadap perubahan. 

Teori ini merupakan pengembangan dari teori Dr. Elisabeth Kübler-Ross lainnya: “5 Stages of Grief” atau lima tahapan kedukaan yang dirumuskan untuk memahami tahapan emosi dalam menghadapi kehilangan/kedukaan. 

Seiring berjalannya penelitian yang dilakukan, Dr. Elisabeth Kübler-Ross memutuskan jika teori 5 Stages of Grief bisa digunakan untuk memahami reaksi individu terhadap berbagai macam perubahan, bukan hanya saat merasa kehilangan. Perubahan apapun, bahkan sesederhana warung langganan yang tutup ketika kita kehabisan gula. 

Berbeda dengan teori lainnya, kurva perubahan tidak memberikan saran atau cara menghadapi perubahan, melainkan memberikan penjelasan terkait tahapan reaksi individu dalam menghadapi perubahan tersebut. 

Dengan memahami tahapan reaksi, diharapkan individu bisa memilih cara yang baik untuk menghadapi emosi yang muncul dari reaksi tersebut. Tujuan akhirnya tentu saja mengelola perubahan dengan lebih sehat. 

Serius amat ya, kayak silabus kuliah.

Untuk menambah keseriusan mari kita tampilkan grafik kurva perubahan yang saya maksud. Siapa tau ada yang berminat mengingat-ngingat cara menghitung volumenya menggunakan rumus-rumus integral.

Kurva perubahan terdiri atas 4 tahap besar: 1. Shock dan Denial, 2. Frustation, 3. Depression, 4. Exploration, 5. Decision dan Integration

Perlu diingat bahwa kurva perubahan ini tidak bersifat linear. Setiap tahap bisa berulang, tidak dilewati, atau bahkan berubah urutan. Semuanya sangat tergantung dari sifat individu yang mengalaminya. 

Contoh Cerita Kurva Perubahan

Supaya lebih mudah memahami teori ini mari kita gunakan cerita: 

Suatu pagi ketika akan berangkat menjemput anak-anak ke sekolah, mobil Rita mogok. Saat itu Rita tidak bisa menelepon siapa-siapa karena smartphone-nya mati kehabisan baterai. Kebetulan di rumah mati lampu sehingga Rita berencana mengisi daya baterai smartphone-nya di mobil. 

1. Shock dan Denial (Terkejut dan Penolakan) 

Dengan panik Rita berkali kali mencoba menyalakan mobilnya tanpa hasil. Dia juga mencoba menyalakan smartphone-nya. Siapa tau ada setitik daya yang masih bisa digunakan. Smartphone-nya bergeming. Rita kembali mencoba menyalakan mobilnya hingga akhirnya menerima kenyataan bahwa mobilnya tidak bisa dinyalakan. 

Kebanyakan individu akan terkejut saat menghadapi perubahan. Seberapa kecil maupun besar perubahan tersebut. Setelah hilang keterkejutannya, biasanya secara refleks individu akan berusaha keras mencari cara yang bisa membuktikan bahwa perubahan tersebut tidak terjadi atau tidak diperlukan.

Sampai kenyataan yang baru menghampiri. 

2. Frustration (Frustasi) 

Mungkin kuncinya yang rusak, mungkin akinya habis. Berbagai kemungkinan berseliweran di kepala Rita membuatnya menyalahkan semua hal di sekitarnya. Kenapa mobilnya harus mati ketika suaminya sedang pergi keluar kota, kenapa PLN harus melakukan pemadaman listrik hari ini, kenapa rumahnya tidak punya fix line. Kenapa dan kenapa lainnya membuatnya semakin marah dan frustasi. 

Di tahap ini individu akan berjuang untuk menerima informasi dan kenyataan baru akibat perubahan. Rasa bersalah, kemarahan, dan penyesalan menumpuk menjadi satu.

3. Depression (Kesedihan dan Keputusasaan)

Rita perlahan menjadi putus asa. Perasaan depresi menyelimuti otak dan hatinya. Bagaimana kalau begini, bagaimana kalau begitu. Belum lagi kalau mengingat anak bungsunya yang mungkin kebingungan dan menangis mencari-cari dirinya yang belum menjemput. Rita merasa pening.

Kewalahan dengan perubahan yang terjadi membuat individu tidak bisa memahami bagaimana cara menghadapinya. Hal-hal buruk membayangi. Tahap ini adalah yang paling sulit dilewati. Banyak yang terpuruk dan tidak bisa bangkit melewati tahap ini. Disini kepercayaan bahwa di balik kesulitan ada kemudahan sangat diperlukan. 

4. Exploration (Eksplorasi)

Waktu berlalu, setelah minum dan menenangkan diri sejenak, Rita berhasil memikirkan beberapa opsi yang bisa dilakukan: (1). Menembus hujan menggunakan payung dan pergi ke pangkalan ojek dekat rumahnya. (2). Mengetuk pintu rumah tetangganya dan meminjam telepon untuk menelepon taxi. (3). Pergi ke minimarket di seberang gang untuk menumpang mengisi daya baterai. 

Mulai terbiasa dengan situasi yang dihadapinya, individu mulai mencoba mencari alternatif solusi dari permasalahan yang ada. Perlu latihan untuk bisa meninggalkan tahap depresi dan masuk ke eksplorasi secara cepat. 

5. Decision dan Integration (Keputusan dan Penerimaan)

Rita menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Setelahnya dia mengambil payung kemudian memutuskan langkah selanjutnya. Walaupun berbagai hal masih perlu dia lewati, paling tidak Rita menjalaninya dengan lebih optimis. Meskipun sudah pasti dia akan terlambat menjemput anaknya, paling tidak dia sudah punya berbagai rencana yang bisa dicoba. Lain kali dia tidak akan lupa meminta suaminya, memeriksa kondisi mobilnya sebelum pergi ke luar kota. 

Individu mulai menerima perubahan. Pikirannya sudah mulai beradaptasi dengan kenyataan baru dan sudah memiliki cara untuk meghadapinya. Bahkan jika beruntung malah bisa berpikir perubahan tersebut membawa hikmah atau kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. 

Penutup 

Kebanyakan individu melewati hal yang sama ketika menghadapi perubahan seperti yang ditunjukkan oleh Kurva Perubahan Kübler-Ross. Melalui contoh kasus Rita yang menghadapi mobil mogok, dapat dilihat bagaimana seseorang merespons perubahan secara emosional dan mental. Pemahaman terhadap tahapan ini membantu individu mengenali emosinya, beradaptasi lebih baik, serta mencari solusi dengan lebih cepat dan efektif.

Kesadaran akan reaksi terhadap perubahan dapat membuat seseorang lebih tenang dan tidak mudah terpancing emosi. Dengan memahami cara merespon reaksi, seseorang bisa lebih cepat beralih dari keterpurukan menuju penerimaan dan solusi. Pada akhirnya, pemahaman terhadap perubahan membantu kita menjalani hidup dengan lebih stabil dan percaya diri.

Paling tidak kita paham kenapa kita suka ngamuk-ngamuk kalau ada perubahan yang terjadi. Termasuk saat harga cabai merangkak naik. It's okay, ternyata amukannya masih manusiawi. 


Read more ...