Saya punya banyak pertanyaan mengenai kehidupan. Salah satu yang paling menggelitik adalah : mengapa bocah kalau libur MasyaAllah rajin banget bangunnya, sementara kalau sekolah SubhanAllah tekadnya untuk tetap menutup mata?
***
Di ruang tengah saya menemukan Mbarep sudah mengeluarkan semua koleksi legonya dan sedang di tahap membuat mega proyek kota metropolitan. Kaki saya tak sengaja menginjak salah satu potongan lego yang berserakan. Rasa sakit menjalar sampai ke ubun-ubun. Untung saya tidak terbiasa mengumpat.
“Ibu…Ibu…Ibu kan sudah besar. Harusnya bisa lebih hati-hati dong. Masa lego segitu banyaknya nggak kelihatan?”, kata Mbarep sambil menirukan gaya saya menasehati dia. Lengkap dengan gelengan kepala dan goyangan jari telunjuk. Bedanya dia menasehati dengan muka datar. Saya terlalu sibuk melompat-lompat meredakan rasa sakit sampai lupa merasa kesal.
“Oh iya Ibu, aku punya pertanyaan.”, Lanjut Mbarep setengah detik kemudian, mengabaikan saya yang masih meringis kesakitan. “Siapa sih yang punya ide bentuk lego itu kotak-kotak? Eh, kalau gedung ada nggak yang bentuknya kayak bola? Oh ya Ibu, tadi malem yang menang bulu tangkis siapa? Kita hari ini mau pergi kemana?”, Selesai mengeluarkan rentetan pertanyaan tersebut, Mbarep menatap saya mengharapkan jawaban.
Saya merasa seperti sedang ikut mencongak. Kegiatan harian setiap jam 07.00 pagi, saat saya duduk di bangku SD 30 tahun lalu.
Ragil melompat-lompat diatas sofa.”Ayo Ibu, jawab dong pertanyaan Mas!”, katanya menyemangati. “Bentar Ibu minum dulu baru mikir”, kata saya sambil beranjak ke ruang makan. “Ih Ibu mah, kan udah besar, masa pertanyaan begitu saja harus mikir dulu!”, kata Mbarep. “ Iya, ih Ibu mah orang dewasa kan harusnya tau semua”, tambah Ragil.
Hari libur ini baru berjalan selama 5 menit tapi saya sudah merasa lelah.
***
“Ibu, Ibu, kapan kita ke Luar Negeri?”, Kata Ragil tiba-tiba. “Ya Insya Allah nanti, kalau ada rezeki ya”, respon saya sesuai standar jawaban emak-emak di negeri Konoha, yang memegang teguh prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. “Ke Luar Negeri perlu uang banyak tau Dek. Iya kan Bu?”, kata Mbarep membantu. Saya mengangguk.
Ragil berpikir. ”Aha! Aku punya iden (ide). Ibu ambil uang aja lewat ATM. Kan di Bank ada banyak uang.”, kata Ragil. “Iya tapi bukan uang Ibu”, kata saya. “Ooh, punya ayah?”, lanjut Ragil. “Bukan, punya Ayah Ibu ada sih, tapi cuma sedikit, yang banyak punya orang lain”, jawab saya.
Alhamdulillah.
Tapi lalu saya ingat kalau sedang bicara dengan anak 5 tahun. Lagian sampai sekarang pemahaman ekonomi saya hanya berdasarkan konten-konten semenjana di Tiktok, Instagram reels, dan Youtube short.
Hiburan yang saya konsumsi untuk melupakan permasalahan hidup yang nyata.
Batal jadi ekonom dadakan, saya berusaha mencari penjelasan yang lebih age appropriate untuk bocah. Tapi sebelum ketemu cara yang pas, Mbarep sudah memotong. “Aku tau! pasti Ibu kerjanya males-malesan. Makanya uangnya sedikit. Ibu kerjanya yang lebih rajin lah. Kalau rajin kan uangnya lebih banyak”.
”Nanti aku tanya sama orang yang aku bedah, jahitannya mau bentuk apa? Labubu atau Cinnamoroll? Eh Bunga mawar juga bisa sih. Kalau orang besar perempuan kan biasanya suka bunga mawar”, lanjut Ragil.
“Aku nggak sabar jadi orang dewasa. Soalnya orang dewasa boleh ngapain aja!”, seru Ragil mengakhiri monolognya.
Saya tentu saja tidak sampai hati memberitahu Ragil kalau orang besar justru banyak larangannya. Apalagi dokter yang berkesenian terhadap tubuh pasiennya. Bisa masuk penjara.
Tapi daripada jadi pelatih renang buaya mendingan jadi dokter seniman kayaknya. Masih ada waktu sekitar 30 tahun kalau Ragil mau jadi spesialis bedah. Siapa tau tren berubah ya kan. Bekas operasi yang estetik. Supaya kalau timbul keloid malahan bagus jadi 3D.
***
Mbarep mendekati saya yang sedang menggoreng otak dengan doomscrolling Social Media. “Ibu coba denger ini, ibu tau nggak ini lagu apa?”, tanyanya dilanjut dengan menggumamkan suatu nada. “Enggak, lagu apa itu?”, jawab saya. “Aku pernah denger di Youtube, sekarang aku mau denger lagi tapi lupa”, lanjut Mbarep. “Ya sudah cari lagi aja di youtube. Baru kasih tau ibu lagi nanti. Coba cari di history”.
“Ya, kan…”, tiba-tiba saya kehabisan kata-kata. Entah mau menyalahkan siapa. Saya dan Mbarep kemudian sama-sama terdiam. Saya memikirkan ketidak sempurnaan Google sementara Mbarep mungkin memikirkan ketidak sempurnaan ibunya.
“Aku dengerin lagu yang lain saja deh”, kata Mbarep akhirnya. Saya pun kembali menggoreng otak saya. Mumpung libur. Mumpung bisa.
***
“Dek tidur siang yuk”, bujuk saya pada Ragil. Saya jarang punya kesempatan tidur siang.”Nggak mau, tidur siang itu buat BA..YI. Buat BA..LI…TA. Lagian tidur siang itu menyebalkan”, jawab bocah yang baru 6 bulan lalu lepas dari status balita dan sampai nanti tua pun pasti akan tetap jadi bayi buat saya.
***
Ditulis untuk memenuhi Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Mei dengan Tema Unpopular Opinion.